Waktu seperti berlari cepat. Tujuh hari Sivan mengorbankan sebagian waktu liburan kenaikan kelas demi menjadi relawan. Tujuh hari sudah Evan mengawasi aktivitas Sivan di barak pengungsian. Evan selalu di belakang Sivan ke manapun ia pergi. Bahkan pernah menunggu sang putra di depan kamar mandi. Kedekatan mereka sudah seperti magnet. Terkadang Evan melontarkan jokes bapak-bapak yang ia dapatkan dari Janu.
Joe belum sempat mengajari Sivan bermain gitar. Ia terlalu sibuk mengurus administrasi relawan dan pengungsi. Beberapa hari ke depan barak pengungsian akan kedatangan relawan dokter dari dinas kesehatan. Sivan memakluminya. Memeluk dan menyentuh tubuh gitar saja sudah membuat hati kecilnya senang. Sivan menjadikan itu kebiasaan ketika waktu istirahat tiba. Tentu ditemani Evan.
Selama melakukan aktivitas relawan, Evan berada di samping Sivan. Dan, entah mengapa hari ini Sivan baru menyadarinya.
"Sebenarnya Om Ivan di sini bertugas sebagai apa?" tanya Sivan sembari memasukkan satu sendok nasi pertamanya.
"Bertugas sebagai relawan. Apa lagi?" Evan membuka nasi kotaknya. Matanya langsung tertuju pada hidangan semur telur.
"Bukan, bukan itu. Tapi, jabatan Om di dalam organisasi relawan apa?"
"Om di sini jadi ketua dari tim relawan MG. Masa kamu tidak tahu?" Ia mulai memisahkan semur telur dari lauk lain.
"Maaf, Om. Aku emang sering telat informasi. Btw, cara kerja Om Ivan memimpin keren sekali."
"Kamu juga keren jadi wakil ketua relawan PMR."
"Sebenarnya itu bukan kemauanku sendiri, Om. Juno tiba-tiba memintaku menjadi wakilnya. Dia menulis namaku tanpa meminta persetujuanku lebih dulu." Evan mengakuinya. Juno memang mirip sekali dengan Janu sewaktu SMA. Jika punya keputusan nekat, tidak bisa diganggu gugat. Diam-diam, Evan pun menyetujui perkataan Janu beberapa hari yang lalu. Bahwa jika Janu mempunyai putra, maka putranya akan seperti Juno.
Masker hitam yang menutupi mulut Evan bergerak naik. Evan tersenyum melihat Sivan mengatakan itu dengan mulut dipenuhi lauk. Mereka mendapatkan jatah makan siang dengan lauk lebih komplit dari kemarin. Sayur acar, semur telur, daging ayam, bahkan kerupuk udang.
"Kalau Om menjabat sebagai ketua relawan, bukannya kerjaan Om banyak, ya? Kenapa Om malah lebih sering bergabung ke tenda relawan PMR sekolahku? Aku baru sadar sekarang. Om selalu mengikuti kegiatan timku terus," cerocos Sivan menujuk-nujuk wajah Evan menggunakan kelingkingnya.
"Itu karena om dan Om Janu kemarin juga yang datang dan merekrut anggota relawan PMR di sekolahmu. Jadi, kami harus selalu mengawasi kegiatanmu dan timmu di sini. Kalian masih di bawah umur," jelas Evan. Sivan mengangguk saja.
"Tidak hanya om saja. Lihat, Om Janu juga mengikuti Juno terus," tambah Evan. Sivan menunduk percaya. Beberapa saat kemudian mulutnya berhenti mengunyah. Evan menggelindingkan semur telur miliknya ke dalam kotak makan Sivan. Semur telur adalah makanan idola Sivan. Evan tidak mungkin melupakannya. Selamanya tidak akan pernah.
"Nggak usah, Om. Itu semur telur milik Om Ivan."
"Om sudah kenyang."
"Sudah kenyang dari mana? Om sama sekali belum makan nasi kotaknya."
"Iya, karena om sudah kenyang."
"Terserah Om saja," rengut Sivan. Evan membunyikan tawa ringan. Merasa geli dengan wajah marah putranya. Sudah lama sekali ia tidak melihat Sivan merengut dengan mulut manyun seperti itu. Sudah lama sekali. Sepuluh tahun lamanya. Dulu, Sivan sering berwajah lucu seperti itu ketika ingin dibelikan mainan baru.
"Iya, iya. Om makan sekarang," sambung Evan mulai membelah tumpukan nasi.
"Nah, gitu dong, Om." Terlalu gemas dengan kepolosan Sivan, Evan lupa melupakan masker hitam yang menutupi bagian bawah wajahnya. Ia membuka masker, melipatnya, bahkan menaruhnya di samping tempat duduk begitu saja. Sivan fokus memecah semur telur pemberian Evan menggunakan sendok. Tidak menyadari Evan melepas maskernya. Janu terlanjur lengah mengawasi Evan. Ia terlalu asik makan berdua dengan Juno di bawah pohon.
Sivan berniat mengambil minum untuk dirinya dan juga Evan. Kotak makan siang ia letakkan di sebelah kiri, sehingga memunggungi tubuh Evan. Evan melihat Sivan berjalan ke tenda dapur dan tegur sapa sebentar dengan petugas relawan dapur. Petugas itu memakai penutup kepala hitam yang menyatu dengan mulut. Penampilannya seperti pencuri di dalam sinetron televisi. Evan sontak menepuk wajah bagian depannya.
Sial! Hampir saja ketahuan.
"Siv, udah selesai makan siangnya?" Juno merangkul pundak Sivan, membuat tubuh kurusnya membungkuk ke depan. Hampir mengenai tumpukan kursi yang tertata rapi.
"Udah. Rapatnya udah selesai?" balas Sivan sambil mengangkat kursi. Mereka sedang berada di dalam gudang barak pengungian yang telah disulap menjadi ruang rapat relawan. Beberapa saat yang lalu, Juno selesai mengikuti rapat di pinggir lapangan. Rapat dadakan yang dipimpin oleh ketua relawan badan penanggulangan bencana setempat.
Juno melihat Sivan sedikit kesusahan menata kursi-kursi. Biasanya bocah itu bisa melakukannya dengan cepat. Namun, gerakan Sivan mengangkat dan menata kursi tidak segesit biasanya. Juno dengan jiwa abang-abangnya, segera menyadari ada yang tidak beres pada Sivan.
"Kamu beneran udah makan siang, Siv?"
Sivan mengangguk. Kemudian mengelap pelipis sebentar.
"Nasi dan lauknya dihabiskan semuanya, kan?"
"Dihabiskan semua, Mas Juno."
"Terus kenapa kamu kelihatan lemes begitu?"
"Nggak tahu, No. Tiba-tiba aja badanku rasanya capek. Ngantuk banget pingin tidur." Sivan menyentuh perutnya yang sedikit buncit karena kekeyangan. "Jangan-jangan ...."
"Jangan-jangan?"
"Aku berisi, No."
"Berisi gundulmu! Mana ada cowok hamil, cah ngganteng! Aku pithes, nih!"
"Lho, kok, ngamok?"
"Udah nggak beres kamu. Kamu duduk aja di sana. Biar aku yang melanjutkan menata kursinya," kesal Juno menunjuk pojok ruangan. Ia segera merebut kursi yang dibawa Sivan dengan wajah khawatir. Kejadian Sivan pingsan di pinggir jalan beberapa minggu lalu telah membuat Juno trauma.
"Nah, begitu, dong. Kenapa nggak dari tadi, sih. Katanya nganggep aku adek. Dasar kakak jadi-jadian nggak peka!" dumel Sivan, berjalan menuju pojok ruangan.
"Kalau nggak kuat bilang. Nanti aku kurung kamu di tenda kesehatan," sahut Juno. Sivan hanya memanyunkan bibirnya.
Kursi-kursi itu akan digunakan untuk menyambut para relawan dokter dan psikolog dari dinas kesehatan. Mereka disambut di ruangan itu lebih dulu, untuk kemudian mendapatkan pengarahan di lapangan. Tenda khusus untuk tim relawan medis sudah dibangun Beton dan kawan-kawan. Sivan benar-benar duduk anteng di pojok ruangan. Menyaksikan Juno sendirian menata kursi dengan wajah mengantuk.
Evan memeriksa satu persatu nama dokter di kertas yang diberikan Joe. Ia tidak memerdulikan gelar ataupun nama mereka. Perhatian Evan lebih tertuju kepada rumah sakit tempat mereka praktik. Relawan dokter dan psikolog di barak pengungsian Evan berjumlah delapan orang. Lima orang dokter dan tiga orang psikolog. Sampai pada dokter dengan nomor urut lima. Kelopak mata Evan melebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...