Pukul sepuluh pagi tangisan Sivan tak berbunyi lagi. Rasa pening mengetuk-ngetuk kepalanya. Takut kunang-kunang kembali datang, Sivan bangkit dari depan pintu menuju meja belajar. Ditaruhnya kepala yang mulai memberat di atas permukaan meja. Sivan berniat ingin melanjutkan tangisannya di sana. Jika kunang-kunang nakal itu datang dan ia pingsan, setidaknya Sivan tak akan menghantam lantai keramik yang keras. Namun, Sivan memilih menahan air matanya sesampainya di sana. Di luar jendela, alam sedang melukis pemandangan indah sekaligus menyeramkan.
Hujan abu sampai di wilayah tempat tinggal Sivan. Erupsi Gunung Merapi semalam jarak luncurnya sangat jauh. Awan panas menyembur tinggi hingga lima kilometer lebih di atas permukaan laut. Sesampainya di titik tertentu langit, gumpalan hitam itu akan menyebar dan berubah menjadi awan mendung yang menjatuhkan abu di sekeliling lereng Gunung Merapi. Sivan sampai mendongak untuk melihatnya. Ia menganggap butiran-butiran abu seperti salju yang indah. Entah kenapa titik-titik abu itu sedikit mengurangi kecemasan Sivan.
Sivan menyentuh hidungnya. Menyadari sesuatu basah mengalir dari sana. Jantung remaja itu bergemuruh hebat. Ternyata sesuatu basah itu lagi-lagi cairan berwarna merah pekat. Sivan tidak pernah menyimpan cadangan kotak berisi tisyu di dalam kamarnya. Persediaan benda yang selalu menjadi penolongnya itu habis. Ia berusaha berdiri, berpegangan pada pinggiran kursi, dan mencoba berjalan hati-hati. Sial, kunang-kunang itu mendadak mengerubungi. Seketika mengaburkan penglihatan Sivan.
"Jangan sekarang ... Aku mohon jangan sekarang ...." harapnya sembari memijjat kening. Berharap dengan cara itu bisa menghilangkan nyeri yang semakin menyiksa. Sivan benar-benar merasa sudah muak. Kenapa rasa sakinya selalu datang di saat ia sedang berada dalam situasi tidak baik-baik saja.
"Kenapa kamu sering datang di saat yang nggak tepat! Tolong, jangan membuatku sakit lagi. Kasihan Kakek sama Nenek. Mereka ... mereka akan kesusahan dan kelelahan merawatku. Hari ini, aku sudah sangat mengecewakan mereka. Aku juga mengingkari janji Mama. Dasar beban! Kamu memang beban, Sivan!" Marah Sivan kepada dirinya sendiri. Dengan gerakan lemah memukuli kepalanya beberapa kali.
Jari-jari Sivan yang masih menyisakan getar mencoba meraih selimut yang terlipat rapi di atas bantal. Ketakutan hebat mengendalikan seluruh kekuatan di dalam tubuhnya. Membuat Sivan kesulitan untuk bergerak dengan cepat. Sivan menggunakan selimut berwarna bitu tuanya untuk menghapus sekaligus menghentikan darah yang terus mengalir dari dalam hidungnya.
Pemandangan putih menutupi hampir seluruh lapangan di depan barak pengungsian. Bagai permadani putih yang sangat lebar. Anak-anak ingin keluar bilik untuk melihat secara langsung. Ini abu Gunung Merapi pertama mereka. Para anak perempuan harus merelakan kue tanah mereka tertimbun abu Gunung Merapi. Sayangnya relawan-relawan yang kelewat protektif mencegat perjalanan mereka keluar lebih jauh. Membuat mereka harus kembali berjalan mundur ke tenda pengungsian menemui kedua orang tua mereka.
Kini, tidak hanya Evan yang memakai masker. Janu, Joe, dan Beton menggunakan masker berwarna biru muda pemberian Anita. Korban dengan luka di kepala sudah siuman. Ia bisa diajak berbicara dan tidak kehilangan ingatan. Membuat Evan lega dan lebih bisa fokus mengkhawatirkan keberadaan Sivan. Bukan Evan jika ia menyerah begitu saja. Setelah istirahat siang, Evan lanjut menelepon Sivan lima menit sekali tanpa henti. Dibantu Janu dan tentu saja Juno. Namun, tetap tidak ada satupun panggilan menghadirkan suara lain di seberang sambungan.
"Kita berangkat sekarang saja, ya, Bos?" Beton menawarkan diri. Ia iba melihat kepanikan yang tak meninggalkan wajah sang bos sejak pagi. Joe mendengar suara Beton beringsut mendekat.
"Iya, Bos. Mumpung keadaan pengungsian sudah lumayan kondusif," imbuh Joe sembari melepas masker yang menutup mulut. Ia tidak pernah betah menggunakannya. Beberapa detik mereka biarkan melayang dengan sia-sia. Sampai kalimat bernada tenang Evan tercipta.
"Tidak. Kalian tetap di sini. Gunung Merapi masih erupsi. Fokus ke para pengungsi. Layani mereka dengan baik." Masing-masing tepi bibir Joe dan Betok berkedut. Mereka kompak tercengang. Sedikit tidak puas dengan jawaban Evan. Janu yang sudah dalam perjalanan untuk mendekat menjeda langkah. Merasa bangga dengan keputusan sahabatnya. Ia pikir Evan akan tetap egois di saat seperti ini, namun nyatanya ia rela mengorbankan urusan pribadi.
"Janu!" Panggilan dari belakang menahan Janu yang hendak melanjutkan langkah. Cara berjalan Anita terlihat semangat meskipun wajahnya sudah tidak lagi cerah. Panggilan tugas mendadak di tengah malam membuatnya tak sempat memoles wajah.
"Semuanya aman, kan?" tanyanya memastikan.
"Aman. Kecuali Evan."
"Itu yang mau aku tanyakan. Dari pagi aku lihat dia menelepon terus. Wajahnya juga kelihatan panik gitu. Ada apa dengan Pak Evan?"
"Kamu lumayan kepo juga, ya?" Pertanyaan yang dijawab pertanyaan membuat dokter umum itu cemberut.
"Sivan nggak datang ke pengungsian dan sampai sekarang dihubungi nggak ada jawaban," jelas Janu yang langsung mengundang atensi penuh Anita. Dokter itu ikut merasakan kehilangan tenaga. Ia membayangkan berada di posisi Evan dan mencoba memahaminya.
Tidak tahan dengan serangan panggilan dari lokasi pengungsian, Nenek nekat membawa gawai Sivan menaiki tangga. Menuju lantai dua tempat kamar Sivan berada. Kakek kelelahan memarahi Sivan tertidur di dalam kamar. Nenek benar-benar dikejar waktu. Sesampainya di depan pintu kamar Sivan, ia melupakan kunci untuk membuka pintu. Nenek kembali menuju tangga. Berjalan menurun sampai kembali masuk ke dalam kamarnya. Kakek menaruh kunci kamar Sivan di atas nakas samping tempat tidur. Memakai gerakan senyap, Nenek berhasil mengambilnya tanpa menghasilkan suara apa-apa.
Dada kiri Nenek terasa tersengat ketika jari-jarinya memutar kenop pintu kamar Sivan. Saat berhasil membuka pintu kamar Sivan, nyeri itu semakin mencengkeram erat jantung Nenek. Rasa nyeri itu segera Nenek tepis, kala mendapati tubuh Sivan duduk di atas tempat tidur menghadap jendela. Punggung sang cucu duduk membungkuk membelakangi Nenek. Sivan sama sekali tidak mendengar langkah Nenek yang kian mendekat. Ia terlalu fokus menenangkan diri setelah berperang melawan ketakutan melihat darah. Selimut sengaja ditaruh Sivan di bawah tempat tidur. Ia berniat akan mencucinya sendiri ketika situasi sudah kembali normal.
"Sivan," Nenek langsung memeluk tubuh sang cucu begitu sampai di samping Sivan mengistirahatkan tubuhnya. Sivan tidak menjawab panggilan Nenek, namun membalas pelukan hangat sang Nenek. Getaran-getaran hebat kembali menjalar di dalam rengkuhan Nenek.
"Sivan minta maaf. Maafin Sivan, ya, Nek," pinta Sivan merintih.
"Iya, nenek terima permintaan maaf Sivan," jawab Nenek sembari mengelus lembut rambut Sivan. Terdengar embusan lega dari dalam wajah yang terbenam di pundak rentanya.
"Sivan pasti punya alasan melakukannya, kan?" Sivan menganggukan kepala. "Apa alasannya? Coba ceritakan semuanya ke nenek. Nenek janji nggak akan marah."
"Sivan capek, Nek ...."
"Capek sama latihan Kakek?" Sivan tidak menjawab. Kepalanya semakin ia tenggelamkan di dalam kehangatan pundak Nenek. Hal itu sudah cukup menyakinkan dugaan. Nenek memilih tidak melanjutkan pertanyaannya sebentar. Membiarkan Sivan sampai merasa tenang dalam pelukannya.
"Nenek," parau Sivan.
"Iya?"
"Nenek marah nggak kalau Sivan menjadi dokter?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...