Gumpalan-gumpalan kelabu yang datang tiba-tiba, memaksa sebagian besar relawan berteduh di bagian-bagian tertentu barak pengungsian. Sebagian besar dari mereka memilih berdesakan di dalam tenda. Poin plusnya mereka bisa terhindar dari hawa dingin yang menusuk. Sisanya melipir di teras samping barak. Tak sedikit pula yang bertahan di dalam mobil jeep dan truk badan penanggulangan bencana.
Sial bagi Sivan. Hari pertama melaksanakan tugas setelah beberapa hari izin istirahat karena sakit, disambut hujan deras disertai angin kencang. Segala hal yang telah direncakan, terpaksa dibatalkan. Seusai membantu menata menu makan siang untuk para pengungsi, ia dan Juno berniat membacakan dongeng untuk anak-anak. Namun, melihat Beni tidur nyaman meringkuk bersandar lengan sang kakek, Sivan tak jadi merasa menyesal membatalkannya.
Hujan mengandung irama seperti lagu tidur. Beberapa anak yang mengungsi menutup mata dengan nyaman, menempel di tubuh orang tua masing-masing. Sivan mendadak iri. Ia rindu tidur seperti itu lagi. Dihimpit dua orang yang paling ia sayangi. Sivan selalu berada di tengah menjadi guling kecil yang diperebutkan kedua orang tuanya. Sisi kanannya Sinta, sementara sebelah kirinya Evan.
"Malam ini aku yang akan tidur meluk Sivan," titah Evan.
"Enak aja. Semalam kamu rebut Sivan dari lenganku!" Sinta tak terima.
"Tapi, kan, dua hari yang lalu kamu sudah meluk Sivan terus, Sinta." Evan tetap melawan. Walau hati terdalamnya sudah menyuruh mengalah. Tak tahan mendengar perdebatan orang tuanya, Sivan memasang badan. Menjadi dinding kecil yang memisahkan tubuh Evan dan Sinta.
"Stop! Biar Sivan sendiri yang nentuin mau tidur dipeluk siapa."
"Pilih ayah, ya, Nak," bujuk Evan dengan nada memohon yang dibuat-buat.
"Sivan, besok mama masakin semur telur ekstra kecap, deh. Pokoknya harus pilih mama!"
"Buatin Sivan susu sekarang. Yang rasanya menurut Sivan paling enak, nanti malam tidur meluk Sivan."
"Gampang itu, mah!" Sinta berlari mendahului Evan menuju dapur. Tak mau kalah, Evan melempar jas kerjanya ke sofa, menyusul istrinya berlari.
"Ayah juga jago bikin susu!" teriakan Evan mengisi seluruh penjuru rumah.
Kini semua itu hanyalah kenangan yang kadang muncul di kala hujan. Sivan tak mengerti mengapa hujan selalu berhasil menghadirkan kenangan-kenangan di masa kecil dengan begitu jelas.
"Jangan melamun." Suara berat Evan menyadarkannya. Pria itu baru saja berkeliling barak bersama Janu. Memastikan kondisi pengungsian masih stabil dan tidak ada sesuatu yang membahayakan pengungsi.
"Om Ivan sudah selesai mengecek?" sapa Sivan ramah.
"Sudah."
"Juno di mana, Om?"
"Dia lagi makan siang sama Janu di teras barak. Om ke sini mau ajak kamu makan. Teman-teman PMR kamu yang lain juga makan di sana." Evan heran, mengapa anaknya suka memisahkan diri dari gerombolan.
"Aku nggak lapar, Om."
"Om nggak akan biarin kamu nggak makan. Makan atau pulang."
"Tapi, perutku masih kenyang."
"Makan satu suap saja. Ayo." Evan mendorong punggung kaku Sivan. Anaknya masih menolak untuk mengambil jatah makan siang mereka. Evan tentu tak akan diam saja. Pagi tadi setelah sarapan pagi, nyeri-nyeri menyakitkan itu kembali menghampiri. Padahal dua hari kondisi Sivan sudah membaik. Sivan tak mengerti mengapa rasa sakit sering menyerang tiba-tiba setiap hari. Rasa nyeri itu membuat Sivan mual melihat makanan.
Begitu mendudukkan diri di ubin teras, Sivan merengutkan wajah. Memancing Evan meledakkan tawa karena ekspresi kesalnya sangat mirip dengan Sinta. Di sana semua orang sudah hampir menyelesaikan makan siang mereka dan Evan bilang kalau ia juga selesai makan. Sivan tetap tak ingin menyentuh nasi kotak jatah makan siangnya. Namun, rayuan maut sang ketua PMR alias Juno selalu berhasil membuatnya luluh. Sivan diancam dikeluarkan dari anggota PMR jika tidak mau makan. Benar-benar tega.
Suasana semakin tenang ketika jam makan siang selesai. Evan, Sivan, Juno, dan Janu bertahan di teras barak. Beberapa kali kepala Sivan tertunduk menahan kantuk. Hingga suara gas mobil yang menderu-deru membuat semua yang ada di teras kompak memutar kepala ke arah utara. Sebuah mobil jeep merah memasuki halaman pengungsian. Diikuti mobil Avanza biru yang ukurannya lebih besar. Sepertinya membawa banyak orang, terlihat dari bayangan sekumpulan kepala.
Dari semua orang di teras, hanya Juno saja yang langsung mengembalikan posisi kepalanya seperti semula. Ia sudah tahu siapa yang datang.
"Lho itu, kan, Mas Ibra?" bisik Sivan begitu mobil jeep mengeluarkan penumpang.
"Siapa mereka?" sahut Janu.
"Yang keluar dari mobil jeep itu Mas Ibra, Om. Dia temanku dan Sivan. Kalau yang ada di dalam mobil Avanza aku nggak tahu siapa mereka," jawab Juno cukup membayar rasa penasaran Janu.
"Mereka mahasiswa yang akan melaksanakan baksi sosial," tambah Evan.
"Kamu udah tahu, Van?"
"Pihak badan penanggulangan bencana memberitahuku kemarin. Acaranya masih lusa. Mereka datang ingin menyerahkan surat izin."
"Mas Ibra WA aku semalam," ucap Juno menghadap Sivan. Menutupkan mulut Sivan yang semula terbuka. Ibra mendorong pintu mobilnya dengan gestur bangga. Mungkin di kampus ia menjadi bahan ejekkan karena tak bisa mengendari sepeda motor. Namun, di lereng Gunung Merapi ini, ia seolah menjadi penguasa sejati. Ibra menjadi perwakilan kampus untuk melakuan kegiatan bakti sosial. Ia yang lahir dan besar di Gunung Merapi, tak pernah absen dipilih untuk menjadi penunjuk jalan.
Mobil Avanza menurunkan lima penumpang lainnya. Masing-masing tiga perempuan dan dua laki-laki. Mereka berenam mahasiswa dengan jurusan dan angkatan yang tidak sama. Ibra menjadi angkatan paling tinggi yang seharusnya dihormati. Tetapi, ia tak pernah ingin diperlakukan seperti senior yang harus selalu dipuji.
Ibra tak menyadari ada empat pasang mata memandang ke arahnya dari teras barak. Ia berjalan paling depan memimpin rombongan mahasiswa menuju ke gudang yang sudah disulap menjadi ruang pertemuan. Salah seorang tim dari penanggulangan bencana menyambut mereka. Menawarkan jabatan tangan sembari tersenyum hangat. Ibra membalas sapaannya sembari mengedarkan pandang ke sekitar. Mencari-cari keberadaan duo tetangga pecinta layang-layang. Juno dan Sivan.
"Relawan PMR sudah. Dokter relawan sudah. Mahasiswa yang akan melakukan bakti sosial sudah. Kira-kira besok siapa lagi, ya, yang datang?" tanya Juno.
"Mungkin bantuan dari pemerintah," sambung Sivan. Ia masih berusaha mempertahankkan kepalanya yang mulai memberat.
"Aku penasaran, No. Misalnya, Gunung Merapi nggak jadi meletus. Apa pengungsi akan dibubarkan?"
"Setahu aku, sih, kalau udah naik ke level siaga, biasanya tetap meletus, Om."
"Oh, begitu."
"Om Janu nggak pernah nonton berita di televisi?"
"Dia cuma suka nonton pertandingan catur," sungut Evan yang diiyakan Janu.
"Kalau Om mengikuti berita Gunung Merapi dari dulu, nggak pernah ada berita Gunung Merapi batal meletus. Tapi, kemungkinan letusan tahun ini berbeda dari letusan tahun 2010."
"Iya, kalau soal itu aku sudah tahu."
"Kalau misalnya nggak meletus, pengungsi akan pulang ke rumah masing-masing dan ronda malam tetap rutin dilakukan untuk memantau aktivitas Gunung Merapi. Kita semua udah terbiasa, Om. Kalau sudah berjanji mau meletus, Merapi nggak pernah ingkar janji," lengkap Juno.
Kalimat terakhir Juno meremas ulu hati Evan. Ia melirik Sivan yang juga mengarahkan pandang kepadanya. Keduanya saling menatap tak sengaja. Memikirkan satu kalimat panjang yang sama. Merasakan sesuatu dari masing-masing bola mata yang memancarkan kesedihan.
"Ayah seperti merapi. Tak pernah ingkar janji."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...