74.

282 17 0
                                    



"Tolong bantu aku, Ayah. Aku mau sembuh. Tahun depan, aku ingin mengambil kuliah jurusan kedokteran." Sivan memegang ujung baju Evan usai pria itu berdiri hendak mengambilkan segelas air.

"Iya, Sivan. Ayah akan melakukan segala cara agar kamu bisa sembuh. Sekarang, lanjutkan, ya, tidurnya. Besok Dokter Retnosari datang ke sini. Ayah akan mengatakan semuanya kepada beliau," tenang Evan, melepas pelan jemari Sivan dan meletakkannya di atas lipatan selimut yang menutupi dada.

"Keadaan Kakek gimana, Yah?"

"Kakek sudah membaik. Besok akan diperiksa juga sama Dokter Retnosari."

"Kakek nggak nyakitin Ayah, kan?"

Evan gamang untuk menjawab. Untung saja punggung lebarnya sudah membelakangi anaknya. Butuh waktu beberapa detik sampai suara Evan kembali terdengar.

"Nggak."

"Terus bekas luka di pelipis Ayah dari mana?" Walau masih belum sembuh total, ternyata kejelian Sivan telah pulih. Evan memegang pelipisnya. Menutupi bekas luka yang masih sedikit nyeri.

"Kemarin, ayah terpeleset di jalan dan membentur pembatas jalan." Evan meniru kalimat bohong Sivan saat di villa. Tawa renyah keluar mulut bocah itu. Ayahnya mahir melawak rupanya.

"Istirahat, ya," imbau Evan.

"Ayah nggak mau tahu dari mana aku bisa mengetahui penyamaran Ayah?"

"Nggak usah dibahas lagi. Kamu baru aja sembuh,"

"Sebenarnya, aku udah merasa Om Ivan itu Ayah sejak kita bertemu dan menghabiskan waktu bersama di pengungsian. Dari bau parfum, suara, dan barang-barang yang Ayah beli."

"Sebenarnya, Ayah juga tidak ingin menyamar seperti ini."

"Nggak apa-apa, Ayah. Makasih udah berjuang sampai di sini." Sivan tak memperlihatkan bola matanya lagi. Kembali mencoba merajut benang-benang mimpi. Evan belum beranjak hingga embusan lembut Sivan menggusur sunyi.

"Makasih juga sudah bertahan sampai Ayah datang, Sivan."

Dokter Retnosari tidak tiba sendirian. Ia membawa salah satu teman yang berprosesi sebagai psikolog di salah satu klinik psikologi yang cukup terkenal di Yogya. Dokter Retnosari akan langsung melanjutkan terapi Sivan yang sempat terhenti karena Haris tak menghendaki lagi. Sementara, rekannya akan memeriksa Kakek Sivan untuk memutuskan apakah kondisi kejiwaannya butuh penanganan lebih lanjut.

Empat hari lamanya Kakek Sivan tak meninggalkan kamar. Renjana bolak-balik masuk ke sana untuk memastikan keadaannya. Sang kakak menjadi seperti Sivan sewaktu memakai kursi roda. Diam, pucat, dan tak mau merespon apa-apa ketika diajak berbicara. Pernah satu kali Renjana mendapati Haris mengigau tengah malam. Merintihkan nama sang istri dan Sinta bergantian. Semoga Kakek masih bisa diselamatkan.

"Maaf, saya harus mengatakan ini. Anda harus sabar. Pak Evan. PTSD Sivan kambuh," tutur Dokter Retnosari.

"Sejak kapan Sivan menderita penyakit itu?"

"Saya sudah mendiagnosis Sivan saat umurnya delapan tahun, Pak. Berdasarkan keterangan Kakek Nenek Sivan dulu dan serangkaian pemeriksaan yang saya lakukan. Kejadian perampokan yang menewaskan istri Bapak meninggalkan trauma mendalam dalam diri Sivan."

Evan meremat kedua lututnya. Menyalurkan emosi yang sekuat tenaga ia tahan agar dokter itu tidak mengetahuinya. Ia sadar dirinya sama hancurnya dengan Sivan. Namun, jangan sampai ia ikut diperiksa juga. Sivan tak boleh lagi sendirian. Anak itu masih membutuhkan dirinya.

"Apa masih bisa disembuhkan?"

"Beberapa orang penderita PTSD dapat sembuh dalam enam bulan. Sementara yang lain dapat mengalami gejala dalam waktu yang lebih lama. Pada beberapa orang kondisinya bisa berkembang menjadi kronis. Kasus Sivan termasuk kronis karena sampai sekarang ia masih sering mengingat kejadian yang membuatnya trauma."

"Tolong lakukan semua metode pengobatan. Aku tidak akan mempermasalahkan semua biayanya. Dia ingin kuliah masuk fakultas kedokteran. Tolong bantu anaknya mewujudkan impiannya."

"Saya akan mencoba melakukan hipnoterapi apabila kondisi fisiknya sudah pulih sepenuhnya. Hanya tinggal metode itu yang belum saya terapkan untuk Sivan."

"Apakah itu bisa menyembuhkannya?"

Tatapan Dokter Retnosari melembut. Menyadari Evan yang mulai kehilangan fokus.

"Jika Pak Evan terus mendukungnya seperti ini, saya yakin Sivan bisa mendapatkan cahayanya kembali." Senyuman tulus terbit dari bibir merah Dokter Retnosari.

Psikolog yang memeriksa Kakek telah selesai bertugas. Membuka pintu kamar Haris dan membuat sepasang mata di ruang tamu tertuju ke arahnya. Perbincangan Evan dan Dokter Retnosari berakhir sementara. Renjana menyusul menutup pintu dengan wajah murung. Ia merasa bertanggung jawab penuh pada keadaan kakaknya. Hanya Harislah satu-satunya keluarga yang ia punya.

Satu gelas boba berukuran large yang biasa ia pesan telah habis tanpa menyisakan apa-apa. Ketenangan akibat sensasi kenyang nyatanya tidak juga tiba. Juno memindai area sekeliling kedai boba lengganannya bersama Sivan. Mencari-cari sumber jajanan lagi yang mungkin bisa ia makan. Belum banyak warung jajan buka meski Gunung Merapi sepenuhnya normal. Sesekali lewat sepeda motor penjual bakso goreng. Juno terlanjur malas memanggilnya.

Seseorang yang mengajaknya bertemu akhirnya tertangkap pandang. Janu keluar dari sedan dan langsung melihatnya duduk di meja kedai yang tersedia. Sisa-sisa abu Gunung Merapi menutupi pinggir jalan menuju teras kedai. Hari ini Janu telah memantapkan diri. Ia yakin akan keputusannya sendiri. Urusan memenuhi ekspektasi ia pikirkan nanti. Yang penting Juno harus tahu harapan yang ingin ia beri kepada anak itu.

"Aku udah diberitahu Ayah sama Ibu kemarin. Om Janu nggak perlu ngomong lagi," ujar Juno. Janu tak jadi menarik salah satu kursi kedai.

"Kenapa Om Janu melakukannya sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuanku?"

"Aku nggak bermaksud seperti itu."

"Terus?"

Janu membuang napas melanjutkan tarikannya. Kursi kedai segera ia duduki.

"Aku takut kamu nggak mau. Jadi, aku langsung izin ke orangtuamu."

"Tapi, aku udah bukan bayi atau anak panti yang bisa diambil sewaktu-waktu, Om."

"Juno ...."

"Aku punya orang tua angkat. Yang udah ngerawat aku dari kecil sampai sebesar ini. Dan, tiba-tiba Om Janu datang berniat buat angkat aku jadi anak. Apa Om nggak mikirin gimana perasaan Ayah dan Ibu angkatku?"

"Dengerin penjelasanku dulu."

"Ayah angkatku selalu ceria dan mengajakku ngobrol sambil tertawa, tiba-tiba menjadi pendiam dan tidak mau menghabiskan rokoknya. Masakan Ibu juga jadi terasa berbeda. Itu sudah jadi tanda jika ...,"

"Dari awal mereka setuju atas tawaranku, No. Mereka ingin kamu lanjut kuliah, tapi mereka tak punya cukup biaya."

"Aku nggak mempermasalahkan kuliah. Lagipula nilai sekolahku juga biasa saja."

"Tapi, Ayah dan Ibu kamu menginginkannya. Kamu nggak ingin mewujudkan harapan mereka?"

"Asal Om Janu tahu. Aku nggak pernah satu kalipun berpikir buat lanjut kuliah. Setelah lulus SMA nanti, yang selalu aku pikirkan adalah gimana caranya aku bisa membalas budi kebaikan ayah dan ibu yang telah menjadikanku anak angkat mereka."

"Aku bersedia membantu mereka setiap bulan."

"Om Janu nggak pernah ngerasain gimana jadinya orang susah. Jadi, memandang semuanya hanya dari uang."

"Kamu bisa membalas mereka dengan menjadi sarjana. Apa kamu nggak kepikiran soal itu?" Janu tak menyerah. Ia terus mengupayakan harapan. Kemarahan Juno tak lagi membara. Terserap oleh kalimat terakhir Janu yang cukup mengganggu. Sampai di rumah, Juno masih memikirkan kelimat terakhir itu. 

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang