Tepat di urutan nomor tiga puluh, Evan menyudahi hitungannya. Bibirnya mengatup seperti sedia kala. Mengembalikan lukisan tampan beserta garis-garis galaknya. Siapapun yang pertama kali melihat Evan, pasti merasa tertekan. Pria itu tak pernah mau ramah kepada orang-orang asing atau orang yang baru dikenal.
Perkataan Sivan kemarin terkabulkan. Dua truk berisi bantuan-bantuan pemerintah untuk kedua kalinya mampir ke pengungsian. Evan masih harus menghitung karung-karung besar berisi pakaian, selimut tebal, dan makanan instan. Berhenti sejenak dari kesibukan menghitung menyadarkan Evan akan dua hal. Satu bulan ia berjumpa Sivan meskipun melalui media penyamaran. Sudah hampir satu bulan ia menjadi Ivan di pengungsian. Namun, jalan di depan seolah masih dipenuhi bebatuan terjal.
Konflik dengan Haris seolak tak akan pernah habis. Sampai matipun Evan tidak berani yakin Haris memaafkan kelalaiannya, hingga menyebabkan sang istri tiada. Ia tahu betul sifat asli Haris. Pria itu lebih sadis dari tokoh-tokoh antagonis. Haris tak mau menerimas kesalahan. Sekali berbuat salah, pria itu tak segan-segan meluncurkan berbagai macam hukuman. Jika bukan karena Evan berstatus Ayah Sivan, mungkin nyawa Evan ikut menghilang saat Sinta dinyatakan meninggal.
"Haruskah aku membongkar semuanya sekarang? Tapi, apa Sivan akan siap." Evan mengarahkan pertanyaan kepada sosok yang sedang membungkuk di tengah-tengah lingkaran kecil. Putranya dikepung anak-anak pengungsi. Ia sedang memberikan instruksi menyelamatkan diri apabila erupsi Gunung Merapi terjadi. Beberapa hari ini kemunculan asap tebal di puncak Gunung Merapi mengalami peningkatan cukup tinggi.
"Mungkin beberapa hari lagi," keluh Evan sembari melanjutkan hitungan.
Pemuda berkaos hitam, bercelana olahraga, mengendap-endap dari arah utara. Punggungnya membawa tas ransel biru dongker yang terisi banyak beban. Target yang berjalan pelan-pelan, memberinya kesempatan untuk melaju dengan berbagai gaya. Hingga, kedua target itu berhenti. Ia lantas menambah kecepatan berjalan berkali-kali. Dua target tidak menyadari mereka sedang diincar.
"Baaa!!!" Masing-masing telapak tangan pemuda menepuk kencang permukaan punggung dua target di depannya. Dua remaja yang sedang sibuk membawa kardus berisi mie instan terlontar. Salah satu pemilik punggung tidak siap, kehilangan keseimbangan, dan hampir jatuh terjerembab. Juno selalu sigap melindungi Sivan. Menarik pergelangan tangannya yang satu jengkal lagi menabrak tong penuh sampah. Untung saja Evan tidak melihatnya.
"Mas Ibra!!!" Marah mereka berdua. Ibra membuat segitiga di masing-masing pinggang. Gestur bangga kembali ia perlihatkan. Bagaikan guru yang disapa dua murid tercinta. Akhirnya, Ibra menemukan dua murid layang-layang kesayangannya.
"Kaget nggak aku ke sini?" Alis tebal Ibra naik turun sembari bertanya.
"Nggak," judes Juno. Ia benar-benar kesal dengan candaan sang suhu layang-layang yang hampir menyelakai sahabatnya.
"Aku nggak juga." Sivan ikut-ikutan.
"Lho, Sivan udah tahu aku bakal datang ke sini?"
"Dia udah aku kasih tahu kemarin, Mas," ungkap Juno. Mendapat anggukan kepala Sivan.
"Bukannya kegiatan bakti sosialnya masih lusa, ya, Mas? Kok, Mas Ibra udah datang sekarang?" Sivan mencoba mengganti topik yang bisa menjadi kereta panjang jika tidak segera dihentikan.
"Sssttt ... aku ke sini membawa misi rahasia."
"Gayanya rahasia-rahasia segala. Paling-paling ...." Ibra membisukan kalimat Juno dengan membungkam mulutnya. Punggung Juno berontak seperti kucing galak yang diperiksa dokter hewan dengan brutal. Sivan masih bisa mempertahankan ketenangan. Jujur saja, ia penasaran juga kenapa Ibra tiba-tiba menampakkan batang hidungnya tanpa diminta.
"Mau aku beritahu nggak rahasianya apa?"
"Apa, Mas?" Sivan bertanya antusias. Juno berhenti berrgejolak. Namun, Ibra tak juga melepas bungkamannya.
"Kemarin, aku ke sini bukan hanya menyerahkan surat izin kegiatan bakti sosial. Tapi, kami menyerahkan juga surat pembatalan kegiatan bakti sosial."
"Kok, dibatalkan? Kegiatannya saja belum dilakukan." Juno tidak terima mendengar kenyataan dari mulut Ibra. Ia berharap skenario candaan Ibra masih berlangsung.
"Dengarkan baik-baik, ya. Ini benar-benar rahasia yang mungkin belum pernah kalian dengar sebelumnya dan bisa dijadikan pengalaman berharga."
"Cepat beritahu, Mas. Mumpung Om Ivan belum nyuruh kami membakar sampah."
"Jadi, ada unsur politik di organisasi relawan kami dan ketua relawan kampus nggak setuju. Bukan politik pemerintah, lho, ya. Tapi, politik kampus."
"Siapa ketua relawannya, Mas?"
Hening membungkam waktu beberapa detik. Hingga satu menit tercipta. Jari telunjuk Ibra terangkat di udara dan teriakan Sivan Juno menggema lebih keras dari sebelumnya.
"Mas Ibra ketua relawan kampus!!!" teriak mereka tidak percaya. Ibra cemberut merasa diejek, namun ia tetap melanjutkan rahasianya.
"Intinya, ada pihak ketiga yang memanfaatkan organisasi relawan kampus kami demi keuntungan pribadi. Ia memberikan bantuan materi untuk menduduki jabatan penting di kampus. Memberikan sumbangan banyak untuk membeli suara mahasiswa."
"Bisa dijelaskan lebih detail lagi, Mas Ibra? Saya juga ingin mendapatkan pengalaman berharga." Suara berat namun lirih terdengar seperti desisan siluman ular di masing-masing pendengaran Ibra. Bulu-bulu di pergelangan tangan Ibra menegak, menjadi rapi seperti barisan. Rupanya teriakan Sivan dan Juno mengundang kedatangan Evan.
"Maaf sebelumnya, Bapak ini siapa, ya?" tanya Ibra. Membangkitkan keterkejutan dua murid kesayangannya.
"Aku Ev-Ivan. Salah satu anggota relawan MG yang bertugas bersama badan penanggulangan bencana."
"Beliau ketuanya," seru Sivan, melengkungkan bibir Evan di dalam masker hitam.
"Relawan MG? Relawan baru, ya, Pak? Saya belum pernah mendengar."
"Iya. Biasanya kami beroperasi hanya di wilayah Jakarta saja. Dan ini pertama kalinya diterjunkan ikut membantu evakuasi Gunung Merapi. Jelas, ya? Sekarang coba lanjutkan rahasia kamu tadi, saya juga penasaran."
"Ya, mau jelasin apa lagi. Kayaknya semuanya sudah jelas. Saya sadar, saya ini orangnya emang idealis. Mungkin nurun dari almarhum kakek. Acara bakti sosial besok terpaksa dibatalkan, karena jika tetap dilakukan saya rasa nggak akan membawa berkah apa-apa."
Evan memahami maksud dan tujuan arah pembicaraan Ibra. Sementara Sivan dan Juno harus berpikir keras karena belum memiliki pengalaman.
"Sudah kamu pikirkan matang-matang apa dampaknya jika kamu membatalkan kegiatan bakti sosial?"
"Sudah, Pak. Kebetulan sponsor utama kami dari kampus semua. Kami nggak punya waktu buat proposal untuk mencari sponsor dari luar karena waktu kami terbatas."
"Lalu, akan kamu gunakan untuk apa semua bantuan yang sudah terkumpul?"
"Dari pihak yang nakal akan kami kembalikan. Namun, dari sumbangan sukarela mahasiswa akan tetap kami salurkan seadanya untuk pengungsi,"
"Bagus." Evan memberikan tepukan keras pada pundak Ibra. Membuat tubuhnya sedikit miring. Ia lantas melihat Sivan. Wajah putranya terlihat sangat serius mendengarkan. Juno pun sama. Tak berani membantah karena pembahasan mereka bukan masalah gampang seperti menentukan warna layang-layang.
"Saya sebenarnya merasa bersalah karena membatalkannya. Karena itu saya datang ke sini. Saya pribadi ingin membantu relawan di pengungsian ini. Kebetulan rumah saya dekat dari sini dan beberapa warga yang mengungsi berasal dari desa saya. Tidak hanya saya, enam kawan saya yang kemarin datang ke sini juga satu pemikiran dengan saya. Mereka bersedia terjun untuk membantu kapanpun bila dibutuhkan."
Evan tercengang dengan jalan pikiran pemuda dua puluh tahun di depannya. Cara bicaranya tak terlalu indah, tetapi kata demi kata yang keluar terasa cerdas bila diucapkan berulang. Evan berniat menyampaikan keputusan Ibra dan kawan-kawan kepada ketua tim relawan dari badan penanggulangan bencana. Ia akan memberitahu Ibra segera. Mereka pun bertukar nomor WhatsApp.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...