47.

250 18 0
                                    



"Sivan minta maaf, Kek ... Sivan minta maaf ...." Sivan berusaha mendekati Kakek dengan tangan masih melindungi pipi kanannya. Gelisah matanya tak sengaja menangkap Evan yang masih menahan amukan.

"Ev- Ivan!" Janu memekik seperti orang gila, menyaksikan Evan melesat cepat menemui ayah mertua dan putranya. Pekikan Janu tidak berhasil menembus gendang telinga Evan. Isi kepala Evan telah dikendalikan amarah. Kali ini, ia tidak boleh kalah lagi. Ia tidak akan membiarkan Sivan menangis lalu pergi. Sepuluh tahun sudah cukup untuk membuat akal sehatnya kehilangan fungsi.

"Sivan cucu Anda. Kenapa Anda kasar kepadanya!" teriak Evan menarik pundak Sivan agar berpindah ke belakang tubuhnya. Sivan hanya bisa pasrah. Tenaganya terkuras dan hampir tak bisa menopang tubuhnya. Sivan membiarkan Evan melindunginya. Benaknya kacau memikirkan kondisi kritis Nenek di rumah sakit. Ia tidak akan siap jika harus kehilangan Nenek sekarang.

"Kamu hanya relawan biasa! Jangan ikut campur!" umpat Kakek tidak terima mendapatkan perlawanan dari pria bermasker hitam di depannya.

"Justru karena saya relawan. Saya bisa ikut campur. Anda baru saja melukai seseorang."

"Om ...." Sivan mencoba melerai dua pria yang saling melempar amukan.

"Tolong, jangan sakiti Sivan." Kalimat perlindungan Evan kedua keluar. Disertai dengan lengan menjulur di depan dada Sivan. Kakek memandang sinis ujung rambut hingga ujung kaki Evan. Lalu menyerangnya dengan kalimat arogan.

"Tahu apa kamu! Sivan, masuk ke mobil sekarang!" Perintah dengan nada tinggi itu sukses membuat tubuh Sivan berjengit. Evan memperketat penjagaannya. Dengan hati-hati, Sivan menurunkan lengan Evan yang masih menjadi perisai di depannya.

"Nggak apa-apa, Om. Aku udah nggak apa-apa. Maaf, merepotkan Om Ivan. Terima kasih banyak sudah menolongku. Aku pamit pulang, ya, Om." Sivan meremas lemah lengan kanan Evan. Tubuh lelahnya mengayun maju. Kini Evan bertukar posisi di belakang sang putra. Kakek mengintimidasi wajah Evan menggunakan mata marah yang masih membara. Seolah-olah Evan adalah pengganggu rumah tangga yang harus segera disingkirkan.

Semenjak pertama kali Sivan meneritakan tentang Evan palsu di rumah, Kakek tidak pernah menyukai sosok Ivan. Sivan terlalu memuji dan memirip-miripkan Ivan dengan Evan. Manusia yang tidak pernah ingin Kakek temui dan paling Kakek benci sampai mati.

"Kalian para relawan memberi pengaruh sangat buruk untuk cucuku. Jangan berani-berani kamu dekati Sivan lagi. Atau akan aku laporkan organisasi kalian ke polisi!" ancam Kakek.

"Kakek ... ayo ke rumah sakit. Sivan ingin lihat keadaan Nenek ...," mohon Sivan. Kakek tidak mengiyakan atau menolak permintaan Sivan. Lelaki enam puluh tahun itu memutar badan. Melangkah panjang menghampiri pintu depan. Tanpa berpamitan kepada Evan dan berterima kasih kepada Juno, ia memutar kenop pintu dan menutupnya kembali dengan kencang. Sivan terpaku di belakang saat suara pintu itu menggema ke seluruh ruangan.

Merasa dilihat oleh ketiga pria berbeda generasi, juga merasa tidak enak atas sikap Kakek, Sivan menjeda langkahnya sebentar. Ia menenangkan perasaan bersalah Juno dengan segaris senyuman. Sivan tahu, Juno pasti berperang hebat melawan emosinya sendiri untuk membawa Kakek sampai ke villa. Selanjutnya, Sivan membagi senyumnya juga untuk Janu. Janu membalasnya dengan anggukan tenang. Terakhir, adalah kedua mata elang Evan. Wajah setengah tertutup masker hitam, membuat Sivan tidak bisa menebak isi hati pria itu.

"Sekali lagi, terima kasih." Ucapan terima kasih itu lebih Sivan tujukan untuk Evan. Sang ayah tidak merespon apa pun. Sivan tetap tersenyum melanjutkan langkah. Tubuhnya menghilang di balik pintu villa. Ruang tamu villa kehilangan seseorang yang sangat berharga.

Ketiga lelaki saling menunduk di dalam ruangan. Hati mereka bertiga sama-sama tidak ikhlas melepas kepergian Sivan. Terutama Evan. Juno menjadi yang pertama kali menegakkan kepala. Ingin meminta ampunan kesekian kalinya kepada Evan. Namun, saat mulutnya sudah mengucap huruf M, Evan memilih pergi meninggalkan mereka masuk ke dalam kamar. Tidak lama, Evan kembali menjinjing jaket berbahan kulit berwarna hitam. Ia tidak ingin melepas Sivan begitu saja.

Emosi Kakek tenggelam menyaksikan Sivan sekuat tenaga mengatur ritme pernapasan. Cucunya mendadak tak bisa bernapas dengan normal. Kakek sengaja mendiamkannya sebagai hukuman kabur dari rumah. Membuka pintu mobil sedan, Sivan kian kesulitan memasukkan udara ke dalam paru-parunya. Tubuh lemasnya terhuyung ke lantai semen sesaat berhasil menutup pintu mobil. Kakek beringsut mengecek keadaannya. Tidak ada luka apa pun di tubuh Sivan. Ke rumah sakit dalam keadaan sesak napas seperti ini baru pertama kali remaja itu alami bersama Kakek.

Biasanya Sivan hanya akan berkeringat dingin. Atau terkena serangan panik. Jika sudah tidak kuat, ia akan berkata jujur dan meminta dipulangkan Kakek. Rumah sakit menjadi hal yang paling menakuti Sivan selain badut dan darah. Bau rumah sakit kerap menghadirkan bayangan tubuh bersimbah darah Sinta di dalam ambulans. Suara rumah sakit membuat Sivan mendengar gema empat tembakan perampok di dalam kepala. Terkadang Sivan melihat brankar tidak kasat mata yang diatasnya terbaring tubuh tak bernyawa Sinta. Membayangkannya, membuat jantung Sivan meminta untuk ditenangkan.

"Tenang, Sivan. Tidak apa-apa. Ikuti Kakek. Ambil napas panjang, keluarkan perlahan. Ambil napas lagi, keluarkan dengan hati-hati," instruksi Kakek sambil mendudukkan tubuh lemas Sivan di kursi besi panjang depan pintu masuk rumah sakit.

"Ma ... maaf, Kek ... Maafin Sivan, ya, Kek ... Sivan memang merepotkan. Sivan bukan cucu yang baik ...." Bahkan dalam kondisi tak bisa bernapas, Sivan masih berusaha meminta maaf. Kakek mengangguk. Tidak tega mendiamkan cucu satu-satunya yang tengah berjuang hanya untuk meraup udara.

Seorang perawat melambatkan jalannya. Menghampiri Kakek membawakan sebuah kursi roda. Kakek mengangkat tangan kanan, menolak dengan halus pertolongan dari perawat. Perawat itu pergi sambil menaruh simpati kepada Sivan dan tetap meninggalkan kursi roda duduk di samping kursi tunggu rumah sakit.

"Kuat berjalan tidak? Kalau tidak kuat, pakai kursi roda saja." Kakek memperhatikan wajah Sivan lebih dekat. Memastikan masih ada cukup energi di sana.

"Maaf ... " Penyesalan Sivan seperti tak ada habisnya. Ia seperti orang sakit yang segera butuh pertolongan. Wajah pucatnya kentara sekali menahan sakit. Kakek melingkarkan lengannya di punggung Sivan. Tubuh Sivan seketika melemas.

"Pusing tidak?" Pengalaman sepuluh tahun merawat sang cucu meyakinkan Kakek jika Sivan terkena serangan panik. Maka, segera ia singkirkan kemarahan berisi ego tak penting.

Sivan masih sanggup mengangguk. "Iya, Kek ...."

"Cukup. Jangan bicara lagi. Fokus mengatur napas dulu. Ayo, bernapas pelan-pelan. Kakek temani sampai kamu tenang." Sivan merasakan telapak tangan Kakek memutari punggungnya. Gerakan mengelus Kakek terlalu kencang, namun Sivan berusaha menyesuaikan. Sambil mencoba menormalkan lajur udara, pikiran Sivan berkelana ke mana-mana. Yang pertama ruangan Anggrek, tempat Nenek dirawat. Yang kedua villa Evan. Ia telah meninggalkan luka kepada tiga pria di sana.

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang