86.

371 16 0
                                    



"Ayah nggak pernah menyuruh kamu buat melupakan Mama. Jadi, jangan minta maaf. Kamu nggak salah apa-apa." Tak lelah Evan menghujani Sivan menggunakan kalimat-kalimat menenangkan.

"Udah sebesar ini, tapi Sivan masih terjebak di masa lalu," sesal Sivan.

"Siapa yang bilang kamu sudah besar? Kamu masih remaja yang pemikirannya berbeda dengan orang dewasa." Wajah Evan terlalu serius mengatakan itu. Menuntun Sivan menerbitkan tawa kecil. Evan melukis senyum sembari mendaratkan telapak besarnya di atas kening Sivan.

"Semuanya butuh proses, Sivan. Setiap orang punya kemampuan masing-masing untuk bisa sembuh dari luka masa lalu."

Sivan berusaha meresapi setiap kata yang keluar dari bibir ayahnya. Semua kalimat itu terdengar mudah memang. Namun, jika dipraktikkan rasanya Sivan seperti mau mati. Sejak dulu jika ada yang mengatakan waktu bisa menyembuhkan luka, Sivan tak pernah mau mempercayainya. Sekarang, bukti telah mengatakan semuanya. Sepuluh tahun ia berjuang melupakan tragedi kematian Sinta. Tak ada yang berubah. Ketakutannya justru bertambah.

Waktu memang bisa menyembuhkan luka, tapi tak bisa menghilangkan kejadian yang menimbulkan luka.

"Ayo kita mulai lagi hipnoterapinya, Ayah," kata Sivan. Terdengar lebih mantab dari beberapa hari sebelumnya.

"Kamu yakin sudah siap?"

"Kalau aku nggak siap-siap. Kapan aku bisa sembuh? Aku nggak mau jadi seorang dokter yang terus-terusan terjebak di masa lalu. Kasihan nanti pasienku." Jujur saja, Sivan mulai ragu dengan kata sembuh. Jika pada akhirnya ia ditakdirkan tidak bertemu titik sembuh, setidaknya ia ingin bisa menerima masa lalu. Ia ingin hidup berdamai dengan masa lalu.

"Besok ayah antar kamu ke tempat terapi yang baru."

Satu gelas kopi telah menunggu selama satu jam, tetapi tak kunjung dihabiskan. Biasanya isinya lenyap dalam waktu lima belas menit. Alhasil, kopi hitam nikmat itu kehilangan hangat dan harum menenangkannya. Di atas bangku besi taman, Evan lebih tertarik membuka lembar demi lembar kertas menguning pada sebuah buku bersampul cokelat yang berdebu.

Buku jurnal milik Sinta tiba diantarkan Beton pagi ini. Lebih tepatnya pukul setengah lima pagi. Tak dibungkus apa-apa dan hanya dibawa menggunakan plastik putih transparan membuat Evan sedikit tidak terima ketika memegangnya. Transaksi penyerahan buku jurnal Sinta dilakukan secara diam-diam di depan gerbang rumah. Tak ada yang mengetahuinya. Terutama Sivan.

Sambil menikmati udara bersih pagi, Evan mengingat-ingat perjumpaannya dengan buku jurnal itu pertama kali. Sebenarnya buku itu tergolong buku tulis biasa pada umumnya. Hanya saja mempunyai sekitar tiga ratusan halaman. Tak ada motif atau gambar-gambar lucu di dalamnya. Permukaan kertasnya pun kasar. Sampulnya polos dan tidak cukup tebal. Terkena beberapa cipratan air sudah bisa rusak. Benar-benar tak ada sesuatu yang membuatnya bernilai lebih.

Akan tetapi, setelah buku itu jatuh di tangan Sinta, ia menjadi sangat istimewa. Sinta menghiasi kertas buku dengan tulisan-tulisan indahnya. Terkadang jika jiwa seninya sedang bergejolak, ia menempelkan bunga yang ia petik dari taman. Tak lupa menaruh pita juga di sana. Lalu, menuliskan keterangan mengapa dan kapan ia memetik bunga. Ketika Sivan lahir, kertas buku itu menjadi berkali-kali lipat lebih spesial sampai Evan berani mengakui bahwa buku itu adalah harta karun berharga.

Sinta mulai menempelkan foto-foto lucu Sivan di dalam buku setiap satu bulan sekali. Ia suka menuliskan keterangan perkembangan Sivan sejak pertama kali anak itu lahir. Di bagian sampul depan, Sinta menempelkan hasil USG terakhir sebelum Sivan tiba di dunia. Evan menyentuh satu per satu foto Sivan yang dulu diambil sendiri oleh Sinta. Karena kesibukannya mengelola bisnis, ia tak pernah sempat melihat dan membaca semua tulisan Sinta. Sekarang, pria itu menyesal. Kenapa dari dulu ia tak pernah mau membacanya.

"Sudah komplit semuanya?" tanya Evan sambil mendorong keranjang belanja yang dipenuhi pakaian dan perlengkapan bayi. Di sampingnya, Sinta mengelus perutnya yang tidak rata lagi sembari memayunkan bibir. Sebelah tangannya yang semula disembunyikan di belakang pinggang menyodorkan sebuah buku tulis bersampul cokelat.

"Beli ini juga, ya?"pintanya manja.

"Buat apa? Emang bayi yang baru lahir bisa menulis?"

"Ih! Bukan itu, Ganteng. Aku mau nulis jurnal di buku ini sampai Sivan lahir nanti. Biar dia tahu perjuangan mamanya mengandung dan melahirkan dia ke dunia"

Evan memutar bola mata malas. Pasti istrinya seperti itu gara-gara terlalu banyak menonton film drama. Tetapi, tak bisa dipungkiri Evan menyetujui jawaban Sinta. Seru juga bila nanti ketika anaknya dewasa membaca jurnal yang dibuat Sinta. Tanpa pikir panjang ia menaruh buku itu di bagian tumpukan belanja paling atas.

"Nggak sekalian beli banyak bukunya? Biar kalau sudah habis, nggak perlu capek-capek beli ke sini." Bahasa cinta Evan untuk Sinta menyala.

"Beli satu dulu aja. Aku nggak akan sering menulis, kok. Cuma kalau lagi bosan aja. Besok bakal aku penuhin sama foto perkembangan Sivan dari lahir sampai dewasa. Semoga aja bisa awet, ya, bukunya."

Memang awet, namun tidak dengan penulisnya. Sinta pergi sebelum sempat merampungkan semua jurnalnya. Ia tak bisa melihat putranya tumbuh sampai dewasa. Terakhir kali yang Sinta tempel adalah foto pertama Sivan mencoba baju seragam sekolah. Di bawah foto itu Sinta menulis, "Tahun depan Sivan sudah masuk SD."

Tulisan Sinta pun terhenti dan tak berlanjut lagi.

Di samping halaman foto Sivan memakai seragam, terdapat goresan sketsa yang cukup indah. Sebuah bangunan rumah mirip toko sederhana. Bangunan itu diberi pintu cukup besar yang menyatu dengan jendela. Bagian depannya terdapat banyak sekali pot bunga berjejeran. Di samping kanan dan kiri toko Sinta sengaja menggambar pepohonan ala kadarnya. Bagaimana Evan bisa lupa. Membangun toko tanaman dan bunga adalah salah satu impian Sinta setelah berkeluarga. Ia pernah berniat mengabulkan permintaan istrinya.

"Pelan-pelan saja, ya, Sivan?" Dokter Purnama adalah salah satu junior Dokter Retnosari selama menempuh pendidikan spesialis. Berkat kejeniusannya ia bisa lulus tepat waktu dan membangun klinik hipnoterapi terkenal di Jakarta. Sebelum Sivan datang ke klinik Jakarta Hypnotheraphy Center miliknya, Dokter Retnosari lebih dulu memberikan informasi singkat tentang Sivan kepadanya melalui WA.

Semua terapi Sivan dimulai dari awal. Dokter Purnama melakukan wawancara singkat terkait kejadian yang menyebabkan Sivan trauma dan takut darah. Tujuan utama Sivan melakukan terapi kali ini adalah menyembuhkan phobia Sivan terhadap darah. Karena tahun depan ia akan mendaftar kuliah jurusan kedokteran. Semua yang Sivan jelaskan seratus persen sesuai fakta yang tertulis pada kertas laporan Dokter Retnosari. Tidak lebih dan tidak kurang. Maka, hipnoterapi Sivan dilakukan saat itu juga.

Evan setia menemani putranya hingga terapi selesai dilakukan. Satu bulan rutin terapi di tempat baru, ada beberapa perubahan yang dirasakan. Sivan tidak mudah terserang panik dan jarang merasa cemas. Terapi Sivan berlanjut selama enam bulan. Dua bulan sebelum pendaftaran mahasiswa baru, Dokter Purnama memberikan Sivan ujian. Ia akan diminta melihat darah secara langsung serta memegangnya selama lima menit.

Ujian itu menjadi penentu hasil hipnoterapi Sivan selama enam bulan. Evan memegang kedua pundak Sivan ketika Dokter Purnama mengeluarkan sebuah tisu yang telah diberi darah sebelumnya. Hal yang dikhawatirkan Evan terjadi. Sivan pingsan setelah jari telunjuknya tak sengaja menyentuh darah.

Untuk kedua kalinya, hipnoterapi Sivan dinyatakan gagal.

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang