"Biar aku bawa Sivan ke rumah sakit. Kamu mau ikut atau tidak?" Juno hendak mengangguk, namun gawai di dalam saku OSIS-nya berbunyi. Ibu Juno memberi kabar jika kakaknya dilarikan ke rumah sakit daerah karena pecah ketuban. Ia diminta untuk menyusul ke sana secepatnya.
"Maaf, Om. Kakakku mau melahirkan. Aku titip Sivan ke Om, ya. Delapan kilometer dari sini ada klinik lumayan bagus, namanya Klinik Kartika. Om tinggal jalan lurus. Tolong bawa Sivan ke sana saja," imbau Juno.
"Oke."
"Jaga Sivan baik-baik, ya, Om."
"Pasti."
Bulir-bulir bening meluncur dari dahi Sivan. Sembari menyetir, Evan berusaha menyingkirkannya menggunakan telapak tangan. Satu perasaan aneh menghantam batin Evan. Setelah sepuluh tahun, ia bisa menyentuh kembali kening sang putra. Evan memelankan sedikit kecepatan jeep untuk lebih bisa memperhatikan wajah Sivan. Putra lucunya kini sudah tumbuh menjadi pria tampan seperti dirinya.
"Apa yang terjadi sama kamu? Kenapa bisa sampai sakit seperti ini, Sivan?" Evan mengelus sekali lagi dahi Sivan, kemudian meninggikan kecepatan jeep. "Setelah sepuluh tahun, kenapa Ayah harus bertemu kamu dalam keadaan sakit."
Mobil jeep berhenti di depan pintu masuk Klinik Kartika. Mendadak napas Sivan terdengar tidak beraturan. Jarak rumah sakit daerah masih terlalu jauh. Evan ketakutan putranya tidak bisa bertahan. Ia keluar mobil tergesa-gesa. Tangannya membuka pintu mobil sebelah kiri, lalu mengeluarkan tubuh Sivan dari sana. Evan kembali berlari membopong tubuh lemas Sivan menuju ke pintu masuk ruang penanganan.
Beberapa petugas medis melihatnya dari kejauhan sudah bersiap mengambilkan brangkar. Salah seorang petugas keamanan bahkan menghampiri Evan sembari membawa kursi roda. Evan tidak memperdulikan keduanya. Ia melesat masuk begitu saja.
"Panggilkan dokter terbaik di sini! Putraku sakit! Aku mau dokter terbaik di sini!" Teriakan Evan menarik perhatian salah seorang dokter yang berada di ruangan sebelah. Seorang wanita berambut cokelat gelap merupakan salah satu dokter yang berjaga, dengan tenang menghampiri Evan.
"Mari ikut saya, Pak!" pinta dokter wanita itu. Ia menyentuh erat punggung Evan, mengarahkannya ke sebuah ruangan pemeriksaan. Ruangan itu merupakan ruangan tempat dokter wanita itu bertugas. Beberapa perawat yang tadi bergerombol mulai masuk untuk membantu. Evan menaruh perlahan tubuh Sivan di atas ranjang pesakitan. Dokter wanita itu membuka kancing seragam Sivan. Evan ikut mengendurkan sabuk putranya. Sivan terlihat masih kesulitan meraup udara.
"Cairan apa itu?" Kedua mata Evan memincing dengan curiga, melihat seorang perawat menyuntikkan suatu cairan di lengan kanan Sivan.
"Ini cairan obat untuk menurunkan demam, Pak," jawab perawat gemetar. Ia sedikit takut dengan tatapan mengintidasi Evan. Perawat lain datang membawa tabung oksigen. Tanpa melihat wajah galak Evan, memasang selang oksigen di hidung Sivan.
"Kenapa dia harus memakai selang oksigen?" Evan meluncurkan pertanyaan kedua.
"Putra bapak sesak napas, Pak. Dokter Anita meminta kami untuk memasangkan nasal canulla."
"Terus, kenapa juga putraku harus diinfus?!" Kedua perawat itu mulai sebal. Mereka tetap berusaha menjalankan tugas dan memastikan semuanya berjalan benar sesuai prosedur kesehatan. Dokter Anita mengamati cara kerja kedua perawat sampai mereka berdua pergi meninggalkan ruangan periksa.
"Apa putraku menderita penyakit parah?" curiga Evan kesekian kalinya.
"Tenang, Pak, tenang. Jangan panik. Putra bapak kelelahan hebat dan juga dehidrasi. Infus itu kami berikan untuk membantu menambah cairan di dalam tubuhnya. Dehidrasinya cukup parah. Itulah kenapa dia demam sampai sesak napas," jelas Dokter Anita tersenyum ramah. Dokter Anita mengeluarkan selimut dari dalam meja kecil. Ia menyelimuti Sivan dengan hati-hati. Selesai memperlakukan Sivan dengan lembut, Dokter Anita tersenyum kedua kalinya kepada Evan. Kali ini diselingi suara tawa kecil yang terdengar renyah.
"Kenapa tertawa? Tidak ada yang lucu di sini," sergah Evan. Ia tidak terima dengan tingkah aneh Dokter Anita. Sudah lama juga ia tidak mendengar suara merdu tawa wanita selain Sinta.
"Maaf, Pak. Bapak lucu sekali. Ini pertama kalinya saya melihat keluarga pasien sepanik bapak."
"Aku tidak sedang melawak dan kepanikan bukan sesuatu yang patut untuk ditertawakan."
"Maafkan saya, Pak. Saya kagum sama bapak. Terlihat sekali bapak sangat mengkhawatirkan putra bapak." Evan tidak terlalu memperdulikan ucapan sang dokter. Matanya fokus kembali memantau kondisi Sivan. Evan menghembuskan napas ringan. Keringat di pelipis Sivan berkurang. Terlihat lebih sedikit dari sebelumnya.
"Kalau ada apa-apa silakan panggil saya. Saya berjaga di samping ruangan ini. Putra bapak bisa pulang setelah infusnya habis. Saya permisi," ucap Dokter Anita dengan sopan. Evan mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari wajah tidak berwarna Sivan.
"Demi Tuhan Yang Maha Kuasa!" Janu berteriak, disusul Joe. Mereka berdua baru saja kembali dari lokasi pengungsian. Beton sudah tidak terlalu kaget. Meskipun begitu kekagetannya belum sepenuhnya menghilang. Ia menjadi saksi utama yang menyaksikan Evan masuk ke dalam vila sambil menggendong Sivan di punggungnya. Sivan masih terlelap, karena pengaruh obat.
Evan menidurkan Sivan di sofa berukuran panjang. Menggunakan selimut Janu untuk menutupi separuh tubuhnya. Evan ingin membawa Sivan ke dalam kamarnya, namun takut Sivan berpikiran yang tidak-tidak. Pria itu kini sedang duduk sambil memijat pelan kedua kaki kurus Sivan bergantian. Teriakan Janu tak juga membuat Evan menyadari kehadirananya. Janu berjalan hati-hati mendekati sofa.
"Kenapa Sivan bisa ada di sini? Kamu menculiknya?" Janu bertanya setengah berbisik sembari menampar punggung Evan. Evan seketika berbalik badan.
"Tadi aku menemukan Sivan pingsan di jalan. Aku membawanya ke klinik. Begitu sadar, dia histeris ketakutan meminta untuk pulang. Jadi, aku bawa dia ke sini," terang Evan. Janu mengangguk lantas menarik pergelangan tangan Evan. Ia mendorong Evan sampai ke dapur vila.
"Kenapa kamu nggak langsung mengantar Sivan pulang? Kalau mertuamu tahu bisa gawat! Baru kali ini aku melihatmu bertindak ceroboh seperti ini!" marah Janu.
"Setelah Sinta, Sivan kini satu-satunya, yang membuatku menjadi manusia lemah, Nu. Aku bahkan bertindak konyol tadi dengan bertanya banyak hal kepada perawat dan dokter yang menangangi Sivan."
"Lupakan soal itu dulu. Sekarang pakai masker ini. Sivan nggak akan mengingatku, tapi bisa jadi dia menyimpan banyak fotomu di rumah mertuamu." Janu menyodorkan masker hitam pekat milik Evan.
"Cukup, Nu. Aku sudah lelah menghindar. Aku ingin mengakhirinya sekarang. Janjiku kepada Sivan sepuluh tahun lalu, aku ingin segera menepatinya."
"Jangan! Jangan sekarang. Aku mohon jangan sekarang, Van! Situasi sedang sangat tidak memungkinan. Ibu mertuamu juga sedang sakit parah. Kamu pasti tahu sendiri alasan satu-satunya dia bertahan adalah Sivan!" Janu menatap Evan nyalang.
"Aku sudah berkata puluhan, bukan, ratusan kali bahwa aku pasti akan selalu menolongmu. Kamu percaya kepadaku, kan, Van? Kali ini lakukan apa yang aku katakan. Percayalah semuanya akan baik-baik saja. Kamu pasti bisa berkumpul kembali dengan Sivan."
"Bos, Sivan sudah bangun." Joe menyembulkan kepalanya dari balik tirai dapur. Evan buru-buru memakai maskernya lalu berjalan cepat keluar dapur untuk bertemu ketiga kalinya dengan Sivan. Sementara Janu masih sibuk membetulkan tatanan rambutnya. Tanpa sengaja, ia melihat kaca mata hitam milih Beton di meja makan. Ia menyambar dan langsung memakainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...