71.

288 23 0
                                    



"Ayah di sini. Ayah di sini. Ayah di sini, Sivan ...."

"Ayah ... Ayah ...." Jari-jari kurus Sivan menarik kaos hitam yang menutupi punggung Evan. Membuat sang ayah mengeratkan dekapan. Tak ia pedulikan lagi apabila Haris muncul di depan matanya. Janu tak keluar dari mobil. Ia menyaksikan Juno yang juga menahan diri di belakang kursi roda. Posisi berdiri anak itu tidak berubah.

"Sivan ...." Dalam kepungan air hujan, Sivan terus mendengar suara sang ayah memanggilnya tanpa henti. Ia merasakan kehangatan meski seluruh tubuhnya basah.

Permukaan halaman rumah telah tergenang. Jeratan lengan Renjana yang menahan Haris melemah. Ia mengumpukan udara bersiap menambah kekuatan untuk memblokade kenekatan Haris selanjutnya. Namun, yang terjadi di depan mata basahnya di luar perkiraan.

Kakek memposisikan tubuhnya untuk duduk. Bersimpuh sembari memeluk senapannya. Seluruh tubuh rentanya gelisah minta ditenangkan. Entah kedinginan atau karena efek emosi yang meledak. Jeritan Sivan memanggil-manggil Evan beberapa menit yang lalu menaikkan ritme isak tangisnya.

"Kak ...." Renjana memberanikan diri mendekat. Ia singkirkan jauh-jauh pikiran yang tidak-tidak. Di sampingnya Haris benar-benar terlihat kacau. Sangat berbeda dengan Haris yang biasa ia lihat. Haris yang terkenal sebagai manusia pemarah dan pendendam hari ini menunjukkan kehancurannya di bawah guyuran hujan. Topeng tak kasat mata yang selama ini dipakainya lepas.

Tangisan pria lima puluh tahun itu meraung-raung. "Sinta!!! Sinta!!! Sinta!!!" Tanpa sadar Haris mendaratkan mulut senapan di pelipisnya. Secepat kilat Renjana menyepak. Senjata laras panjang itu terlempar, mengenai salah satu pot tanaman kesayangan Nenek Sivan.

"Kau gila!!!" Satu tamparan Renjana melayang. Haris tak merasakan apa-apa. Ia telah mati rasa. Kewarasannya hilang terenggut paksa.

"Aku sudah mencoba melupakan Sinta. Tapi, kenapa tidak pernah bisa! Kenapa Sinta harus meninggal, Ren! Kenapa harus Sinta yang menjadi korban! Kenapa!!!" Haris mencakar tanah, mencari-cari senjatanya lagi. Renjana menarik kerahnya dari belakang. Meremat kedua pundak kakaknya kuat-kuat.

"Keluarkan! Ayo keluarkan semuanya! Menangislah! Menangislah, Kak!" Renjana memahami perkataan Haris. Sang kakak sedang mengeluarkan beban yang selama bertahun-tahun terendam tanpa sempat diungkapkan. Status abdi negara yang saat itu masih disandangnya, memaksa dirinya untuk tegar menyaksikan tubuh Sinta tertimbun tanah. Walau dunia Haris telah runtuh seketika.

Haris mememegang kedua lengan adiknya dan menariknya kencang. Tubuh Renjana melaju ke depan. Haris membentur-benturkan kepala di perutnya. Meraung-raung semakin keras di sana.

"Tak apa-apa. Menangis saja, Kak. Menangislah ...." Renjana memukul punggung kakaknya.

"Kenapa bukan aku saja yang tertembak! Jangan Sinta! Jangan putri kesayanganku, Sinta ... Sinta ... Sinta!!!" Renjana meringkuk di atas Haris. Menambah kecepatan pukulan pada punggungnya. Ia pun ikut meluapkan emosi yang mengganjal hatinya cukup lama. Penyesalannya bertahun-tahun. Sepuluh tahun yang lalu, Renjana tak bisa menemani Haris memakamkan Sinta karena ia masih menjadi chef baru yang penghasilannya tidak cukup untuk membeli tiket pesawat terbang.

Hujan yang siang itu menjadi saksi tangisan orang-orang terdekat Evan, memberikan jalan untuk mereka meluapkan segenap rasa terpendam yang tak empat diungkapkan. Perasaan mereka sebenarnya.

"Ayah di sini ... Ayah di sini ..." Evan tak mengurangi elusannya. Walau putranya terlihat lebih tenang.

Sivan tak lagi mempunyai tabungan tenaga hanya bisa menumpukan seluruh tubuhnya pada Evan. Menyandarkan kepalanya di bahu tegap sang ayah. Lalu, meluruhkan kelopak matanya di sana. Evan mengubah posisi duduk menyadari Sivanà memberat dalam dekapannya. Jemari yang meremat punggungnya melambat turun. Evan menyangga punggung dan mengapit kaki lemas putranya. Menggendongnya menerobos hujan.

"Sivan sepenuhnya sadar. Ia sudah bisa diajak bicara," kata Dokter Retnosari. Tiga pria yang duduk di depannya mengembuskan napas penuh syukur. Juno menjadi terakhir yang mengelap muka. Hujan dan badai telah berlalu, namun waktu belum memberikan kesempatan untuk mereka bertiga berganti baju.

"Terima kasih sudah bersedia datang hujan-hujan begini, Dokter," ucap Janu.

"Sudah tugasku. Sivan pasienku sejak beberapa tahun yang lalu." Dokter Retnosari tak sengaja melihat bekas darah mengering di atas mulut Renjana. Luka di dalam hidungnya benar-benar terlupakan.

"Apa hidung Anda terluka?"

Janu dan Juno kompak memegang hidung mereka masing-masing. Renjana sendiri justru menampakkan raut wajah kebingungan.

"Bukan kalian berdua, tapi Anda yang di tengah. Siapa nama Anda, maaf, saya lupa," tunjuk Dokter Retnosari tepat mengenai Renjana. Janu dan Juno melirik pria yang duduk di tengah sofa.

"Saya Renjana. Oh!" Renjana buru-buru menyentuh hidungnya. Ia pun merasa kesakitan lagi. "Saya izin ke belakang sebentar," mohon Renjana. Janu menepuk lokasi bekas Renjana duduk. Memberi isyarat Juno berpindah tempat. Namun, bocan itu malah membuang muka ke pintu kamar Haris. Ia khawatir Haris keluar lagi membawa senjata. Sepertinya Juno trauma.

"Biarkan Kakek Sivan beristirahat dulu. Nanti kalau beliau sudah tenang, aku akan melakukan pemeriksaan," imbuh sang dokter.

"Sekali lagi terima kasih, Dokter." Janu mengulurkan telapak tangan dingin yang langsung disambut Retnosari.

"Kalian juga butuh istirahat," balas Dokte Retnosari kemudian mengambil gelas berisi teh hangat buatan Janu. Tanpa diceritakan secara detail pun, psikiater itu sudah tahu jika ada kekacauan yang baru saja reda. Sebelum masuk ke dalam rumah, ia mendapati senjata laras panjang milik Haris tergeletak basah di samping pot bunga. Dokter Retnosari mengambilnya dan menaruhnya di tempat yang lebih aman.

"Minum obat dulu, ya." Evan mendapatkan kembali semua semangat hidupnya. Beberapa saat yang lalu mengelap tubuh Sivan dengan air hangat, mengganti baju sang putra, dan menuntunya ke atas tempat tidur. Membaringkan tubuh Sivan pelan-pelan. Walau nyeri akibat pukulan Haris di tubuhnya masih membuatnya kesakitan. Evan berusaha tak merasakannya. Melihat Sivan yang mau bicara dan telah mengenali wajahnya menghilangkan semua rasa sakitnya.

"Ayah ambilkan obatnya sekarang, ya." Sivan tak melepas genggamannya pada telapak Evan. Tak mengizinkan ayahnya beranjak.

"Sivan kenapa?" tanya Evan melembut.

"Sivan bisa ambil obat sendiri. Ayah tetap di sini." Sivan bangun dari tempat tidur namun segera ditahan Evan.

"Biar Ayah yang mengambil. Sivan nggak boleh banyak bergerak dulu."

"Nggak ... jangan ..." Sang putra mendorong lemah lengan yang lebih besar.

"Sivan ...."

"Ayah nggak boleh pergi lagi ...."

"Ayah nggak akan pergi."

"Sivan mau mastiin ini bukan mimpi ...."

"Ini bukan mimpi, Sivan. Ayah benar-benar ada di sini."

Pelukan kedua Evan menghentikan pemberontakan tubuh Sivan. Ia tak sempat membalas pelukan sang ayah. Kepalanya terlanjur dipenuhi suara-suara bising yang menyakitkan.

"Sivan kaget, ya, tiba-tiba ayah ada di sini? Sampai mengira ini mimpi."

"Sivan takut ini beneran mimpi ...."

"Apa yang bisa ayah lakuin buat buktiin ke Sivan kalau ini bukan mimpi?"

"Jangan pergi. Ayah jangan pergi. Tetap di sini ...."

"Ayah nggak akan pergi ke mana-mana lagi. Harta karun ayah sudah ada ada di sini."

"Janji ...."

"Ayah berjanji."

Tiga puluh menit Evan menunggu Sivan memberinya izin mengambil air minum. Untuk membantu putranya menghabiskan obat terakhir dari rumah sakit. Hingga satu jam berlalu. Sivan tetap melarangnya ke luar kamar. Ia ragu dan ketakutan Evan akan pergi meninggalkan dia lagi kedua kalinya.

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang