Sebuah ruangan khusus dengan banyak pembatas putih transparan mengurung Sivan dari dunia luar. Para penjaga Sivan hanya bisa melihatnya melalui jendela berukuran tinggi satu meter dengan lebar dua meter. Untuk bisa masuk ke dalam ruangan itu mereka harus menggunakan pakaian khusus, sarung tangan steril, pelindung kepala, dan masker penutup mulut. Penampilan mereka akan sama seperti beberapa dokter dan perawat yang menangani Sivan.
Anita tidak berhenti memberikan berbagai saran dan masukan. Kakek terus menerus bertanya tentang prosedur transplantasi tulang belakang yang akan diberikan kepada cucunya. Beberapa kali Anita menangkap pertanyaan yang sama. Dokter itu merasa kondisi mental Kakek Sivan tidak seperti biasanya. Kakek Sivan sedang tidak baik-baik saja. Satu-satunya manusia yang masih terlihat cukup tenang adalah Renjana.
Menggunakan mobil Haris, Juno diajak Renjana pulang ke rumah. Mereka akan mengemasi pakaian Sivan dan Kakek untuk dibawa ke rumah sakit. Juno berlari menginjak dua anak tangga sekaligus menuju ke kamar Sivan. Ia hafal betul letak baju-baju Sivan. Renjana melangkah tenang menuju kamar Kakek dan Nenek. Ia hanya memasukkan sedikit baju ke dalam tas berukuran sedang.
Juno menaruh tas berisi pakaian-pakaian Sivan di atas meja belajar. Tanpa sengaja menyerempet bingkai foto kecil berisi kebahagiaan Evan menggendong Sivan. Bingkai itu membentur ke lantai cukup keras. Juno tidak akan sadar, jika kaca bingkai itu tidak membunyikan suara pecahan. Ia mengumpulkan kepingan bingkai kaca menjadi satu tanpa membuangnya. Sambil mendorongnya ke pojok meja, perbincangan di lorong rumah sakit berputar lagi di pikiran Juno.
"Kamu yakin mau melanjutkan pengobatan Sivan di sana?" Renjana giat memastikan. Kakek tak menanggapi pertanyaan adiknya.
"Jawab aku, Kak. Jangan diam saja. Kondisi sedang sangat tidak baik-baik saja sekarang."
"Tidak hanya berobat. Aku ingin dia juga tinggal di sana," jawab Kakek begitu pelan.
"Lalu kamu mau melupakan Evan begitu saja? Ayah Sivan masih hidup dan malah kamu penjarakan! Dia berhak tahu kondisi anaknya. Evan lebih mampu dan kaya. Dia bisa membantu menyembuhkan Sivan menggunakan uangnya!"
"Uangku sudah cukup."
"Di sini aku tidak membela kalian berdua. Aku hanya akan membela Sivan. Tak akan aku biarkan kalian membuat kondisinya bertambah parah."
Lamunan Juno terlepas ketika pertanyaan Renjana menggema di dalam kamar Sivan. "Sudah dibawa semua bajunya?" Renjana melihat Juno menuruni tangga dengan lambat. Tidak seperti tadi saat menginjakkan lantai ruang tengah. Mungkin Juno terlalu keberatan membawa tas berisi pakaian-pakaian Sivan.
"Jaket Sivan juga sudah dimasukkan?" lanjut Renjana bertanya. Juno mengayunkan kepalanya ke depan. "Kalau begitu, ayo kita kembali ke rumah sakit sekarang," ajak Renjana. Juno justru menjatuhkan tas berisi pakaian Sivan. Ia sengaja melemparnya kencang ke depan untuk memancing perhatian pria berair muka datar di depannya.
Laju pernapasan Juno memburu. Dadanya bergemuruh. Ia sangat ini mengatakan ini langsung di depan Renjana dan Kakek beberapa hari yang lalu. Juno tidak masalah Kakek membawa pergi Sivan ke Jepang, asalkan itu bisa menyelamatkan nyawa adik kesayangannya. Namun, di sisi lain, Juno menolak, jika takdir harus kembali memisahkan Evan dan Sivan.
"Opa Jana, tolong ... dengarkan aku ...," desis Juno. Renjana ikut meletakkan tasnya di atas lantai.
"Dulu, waktu kecil, aku mempunyai misi. Membuat Sivan bisa tersenyum dan berjalan lagi. Sekarang misi itu sudah berhasil. Dan, aku putuskan untuk melakukan misi lain. Aku ingin membuat Sivan bertemu dengan Om Evan. Tidak ada yang boleh menghalanginya!" teriak Juno dengan napas menggebu. Juno bangkit dan berjalan menggunakan kedua lututnya. Ia bersimpuh di depan kaki Renjana.
"Opa Jana ... aku mohon. Tolong bantu aku. Tolong berikan kesempatan Om Evan bertemu Sivan. Tolong bujuk Kakek Sivan untuk mengizinkan Om Evan memeluk Sivan. Hanya Opa Jana satu-satunya harapan terakhirku. Hanya Opa yang bisa menghancurkan batu besar di dalam hati Kakek Sivan," mohon Juno.
"Aku mohon, Opa! Aku mohon! Kasihan Sivan! Kasihan Om Evan!" Juno meremat kuat kedua kaki Renjana. Tidak tega mendengar isakan tak beraturan Juno yang kian tercekat, Renjana merubuhkan kakinya di depan Juno. Ia menepuk-nepuk kepala atas Juno. Menghentikan seketika aliran air mata deras dari kedua pipi remaja jangkung itu.
"Kamu pasti sayang banget sama Sivan, ya?" lembut Renjana mengelus rambut Juno.
"Iya ... hiks ... Iya, Opa. Sivan sudah aku anggap ... hiks ... keluargaku sendiri ...."
"Terima kasih sudah menyayangi cucu kakakku. Mulai sekarang, tugasmu menjaga Sivan sudah selesai. Aku yang akan menggantikan tugasmu." Jawaban tenang Renjana memecahkan harapan kuat Juno hingga hancur berkeping-keping.
"Maafkan aku. Untuk sekarang, ini lah yang terbaik untuk Sivan. Di Jepang ada metode pengobatan yang bisa menyelamatkan nyawanya. Kamu pasti tidak ingin Sivan kesakitan terus, kan? Kamu tidak ingin Sivan pergi jauh, kan?"
"Kenapa, Opa? Kenapa Opa Jana egois juga? Aku pikir Opa Jana dan Kakek Sivan berbeda ...."
Juno melepaskan kedua kaki Renjana. Berdiri lalu melangkah pelan. Mengambil kembali tas berisi pakaian-pakaian Sivan dengan wajah masih memerah. Melewati tubuh Renjana yang menatapnya penuh kasihan. Juno benci mengakuinya. Ia sudah kalah sejak Renjana datang. Kakek Sivan membuat rencana itu jauh, bahkan sebelum Evan masuk penjara.
Sivan belum melakukan transplantasi sumsum tulang belakang. Sivan belum pergi ke mana-mana. Masih ada waktu. Juno harus terus melakukan sesuatu.
Bunyi klason panjang tidak berhenti ditekan Joe. Di sampingnya, Beton sibuk memperhatikan jalanan sembari menggigit kuku-kuku jari. Itu salah satu cara Beton untuk menahan emosi. Andai hukum sedari dulu mengizinkan, pria tambun itu ingin keluar dari mobil dan menghajar semua mobil di depannya. Agar mobil sedan hitam Evan bisa segera menjemput tuannya. Mereka berdua dalam perjalanan menuju lapas. Akhirnya, bos mereka bebas.
Begitu melepaskan baju tahanan, Evan melemparnya ke sembarang arah. Berlari kencang menuju mobil sedan hitam yang sudah kehilangan isinya. Joe, Beton, dan Janu hampir tertinggal di belakang. Satu bulan lebih Evan menderita insomnia di dalam penjara, tidak mengurangi kelihaiannya mengebut di jalanan. Evan menerobos lampu merah pertigaan tanpa melihat lampu lalu lintas.
Takdir kembali memainkan Evan. Ban belakang mobil setianya meledak. Membuat kepala ketiga pegawainya saling bertubrukan karena rem mendadak. Perjalanan tidak bisa dilanjutkan. Mata Evan menambah ketajaman. Tidak kehilangan cahayanya. Ia membanting pintu mobil dari luar untuk melanjutkan perjalanan. Rumah sakit tempat Sivan dirawat masih lima kilo meter jauhnya. Ditemani jutaan rintik air dari langit, Evan mulai berlari.
"Van! Evan!!!" panggilan Janu teredam suara hujan yang dalam sekejab menjadi lebat. Joe dan Beton hanya bisa memandang nanar punggung bos mereka yang semakin tidak terlihat. Janu membuka layar gawai dan memesan taksi online dengan jari-jari bergetar.
"Sivan ... Sivan ... Sivan ... Sivan!!!" teriakan Evan menggema. Bersahutan dengan deruan hujan. Di tengah-tengah keramaian jalan Magelang, Evan terus berlari kencang ke barat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...