59.

261 19 0
                                    



Meskipun secara segi fisik mirip Kakek, Renjana tergolong lebih ramah. Ia mau diajak mengobrol Juno membawa serta senyum menenangkan. Juno si banyak bicara, menjawab setiap pertanyaan Renjana secara berlebihan. Membunyikan tawa yang meledak-ledak juga jokes-jokes garing ala anak muda. Entah bagaimana awalnya, mereka sampai kepada cerita Evan menyamar menjadi Ivan. Juno yakin Renjana sudah mengetahuinya dari Kakek Sivan. Kenyataannya memang benar. Kakek Sivan selalu terbuka pada adiknya.

Renjana mendengarkan setiap detail Juno bercerita seperti kakek-kakek bijaksana penuh nasihat kehidupan. Ia memberikan jawaban yang menggetarkan seisi pikiran Juno.

"Dari awal, aku sepenuhnya sadar semuanya bukan kesalahan Evan. Kejadian itu terjadi atas takdir Tuhan. Evan tidak mungkin meninggalkan Sinta dan Sivan tanpa pengawal. Aku pikir salah satu dari pengawal Evan mengkhianatinya dan membiarkan para perampok itu masuk ke dalam rumah."

"Wah, Opa Jana sampai berpikir sejauh itu. Aku nggak pernah memikirkan itu sebelumnya," kagum Juno.

"Kenapa? Itu hanya asumsi sementara saja. Masih belum ada cukup bukti juga," bantah Renjana.

"Dari dulu aku diberitahu Kakek Sivan kalau Om Evan sengaja meninggalkan Sivan dan Mamanya di rumah untuk pergi ke Singapura."

"Kamu percaya begitu saja?"

"Iya, Opa."

"Kadang kita butuh berbohong untuk melindungi orang yang kita sayangi. Kakakku orangnya seperti itu. Ia sangat keras. Tidak mudah memaafkan. Sekali terluka, ia tidak akan pernah lupa. Perlu waktu lama untuk meluluhkan hatinya. Aku akui, Evan tidak ahli soal meluluhkan hati sesama pria, hahaha." Renjana mencoba mencairkan ketegangan. Ia tidak tega melihat kegelisahan Juno.

"Sepertinya Om Evan emang lebih banyak action daripada bicara." Juno memandang layang-layang di bawah meja belajar Sivan. Ia teringat curhatan Janu pergi ke pasar pagi-pagi buta demi menemani Evan mencari layang-layang kesukaan Sivan.

"Benar sekali. Sekarang di mana Evan?"

"Sudah hampir satu bulan Om Evan dipenjara, Opa. Kakek Sivan yang melaporkannya ke polisi," lapor Juno.

"Begitu. Hati kakakku sudah menjadi batu rupanya."

"Andai Kakek Sivan seperti Opa Jana."

"Tenang saja. Aku akan mencoba membantu kalian meluluhkan hatinya. Tapi, sebisaku, ya," tawar Renjana. Senyum Renjana memunculkan berbagai macam harapan.

"Terima kasih, Opa." Tawaran Renjana meniupkan angin segar. Akhirnya, ada satu orang lagi yang berpihak pada Evan. Orang yang bisa langsung bisa dipercaya. Juno tidak sabar memperkenalkan Anita kepada Renjana.

Mobil Anita tiba di depan rumah Haris pukul satu siang. Gembok pintu gerbang masih terbuka. Anita mendorong kuat pintu mobilnya. Keluar dengan wajah panik. Menutup pintu mobil kembali dengan membanting. Ia tidak sempat membetulkan jas putihnya yang miring. Rambut cokelatnya tergerai berantakan. Dokter itu berlari cepat tanpa menghiraukan sekelilingnya. Pikirannya tertuju penuh pada Sivan.

"Siapa itu yang datang?" tanya Renjana celingukan.

"Dokter Anita, Opa. Dia dokter yang rutin datang mengontrol keadaan Sivan."

"Masih kelihatan muda sekali." Rencana menangkap wajah penuh kepanikan Anita dari dalam jendela rumah.

Suara berbagai merek kendaraan menjadi musik tanpa akhir di sepanjang jalan Kota Jakarta. Bagi manusia baru yang pertama kali mencicipi Jakarta, mentalnya mungkin rawan cedera. Hanya manusia-manusia berhati besi dan pemberani yang berhasil lulus ospek satu harinya Kota Jakarta. Di tengah-tengah alur kehidupan metropolitan, mobil mewah Hendra membaur bersama mobil-mobil lain yang kelihatan sibuk.

Banyak mobil bergantian menumpuk menunggu sebuah tiang menghidupkan warnah hijau. Sopir mengendarai mobil hitam kesayangan Hendra dengan kecepatan sedang. Hendra yang memintanya. Pria itu sengaja ingin pulang ke rumah terlambat. Tidak ada siapapun yang akan menyambut kepulangannya. Tidak ada yang megajaknya bicara kecuali beberapa asisten rumah tangga dan pengawal. Itulah mengapa ia ingin lebih lama di jalanan. Akhir-akhir ini, Hendra baru mau mengakui. Dirinya kesepian.

Hendra mencoba mengulang kebiasaan masa kecil Evan, mengeluarkan telapak tangan dari kaca untuk merasakan udara jalanan. Kebiasaan itu Evan tiru dari Janu dan sengaja putranya turunkan kepada Sivan. Hendra akui lagi. Ia merindukan putra nomor empatnya. Sudah berbulan-bulan Evan tidak tertangkap kedua matanya. Meskipun cuek, satu minggu sekali Evan sering meyempatkan diri mengirim pesan melalui WhatsApp. Walaupun itu semua ia lakukan atas saran Janu sahabatnya.

"Langsung ke rumah, Tuan? Tidak jadi mampir membeli sesuatu?" tanya Sopir mengamati wajah Hendra dari kaca spion yang menggantung di atasnya. Mata yang senantiasa siaga di balik kacamata hitam, tertarik melihat permainan Hendra membaur bersama udara kemacetan.

"Sudah aku bilang beberapa hari yang lalu. Mulai sekarang panggil aku Pak, jangan Tuan. Aku sudah tua, tidak keren lagi dipanggil Tuan," petuah Hendra mencoba mempermainkan emosi sopirnya. Hendra memang sudah berumur. Namun, wajah dan tubuhnya kelihatan bugar dan segar. Ia masih cocok tampil di sampul majalah pria. Hendra masuk kriteria calon lansia keren kota Jakarta.

"Baik, Pak. Laksanakan," jawab Sopir tanpa menurunkan lengkungan senyumnya.

"Tuan kamu selanjutnya masih di Gunung Merapi. Setelah dia kembali ke Jakarta, layani dia dengan baik, ya," titah Hendra.

"Siap, Pak," sanggup Sopir mengangguk cepat.

"O ya, kamu ada rekomendasi tempat-tempat wisata bagus? Aku ingin langsung mengajak Sivan cucuku berlibur setelah dia sampai Jakarta nanti," antusias Hendra. Ia membayangkan wajah kegirangan Sivan menyetujui ajakan berliburnya. Hendra yakin Sivan akan sangat bahagia berlibur bersamanya. Ia harus memillihkan Sivan tempat berlibur bagus dengan pelayanan terbaik.

Sebuah pantai pasir putih Sopir itu tawarkan. "Kalau liburan ke Pantai Kuta Bali bagaimana, Pak?"

"Boleh juga. Tapi, bukannya itu sering dijadikan anak-anak sekolah lokasi wisata? Nanti, kalau Sivan pernah study tour ke sana bagaimana? Aku ingin tempat yang belum pernah cucuku kunjungi sebelumnya," jelas Hendra.

"Nanti saya tanyakan ke teman saya, Pak. Dia bekerja di perusahaan penyedia jasa travel." Sopir tidak kehabisan ide. Hendra menganggukan kepala mengiyakan.

"Saya ikut senang, Pak. Akhirnya, cucu Bapak bisa pulang ke Jakarta. Kapan Mas Sivan sampai, Pak?"

"Evan belum memberiku kabar. Sepertinya, aku harus lebih bersabar."

"Sabar, ya, Pak. Setiap tahun administrasi-administrasi memang bertambah rumit."

"Tapi, aku ingin mengakhiri kesabaranku sekarang." Hendra menarik kembali tangannya masuk ke dalam mobil.

Senyum sang Sopir seketika runtuh. Gawat, ia terlalu terbuai dengan sisi malaikat Hendra. Hendra mantan pemimpin perusahaan yang seperti pedang. Ia mempunyai dua sisi berbeda. Sang Sopir seharusnya tahu Hendra selalu mempunyai rencana lain di pikirannya. Perasaan tidak sopan membuat genggaman pada setir mobil kesayangan tuannya mengendur.

"Sesampainya di rumah tolong carikan aku tiket pesawat ke Yogya tanggal delapan." Hendar memerintah.

"Baik, Pak. Laksanakan perintah." Sopir menginjak gas lebih dalam agar lebih cepat sampai ke tujuan.

Setelah kaca mobil kembali membatasinya dengan dunia luar, Hendra memilih berseluncur di layar gawainya. Ia mengamati selama lima detik keterangan Evan terakhir online di aplikasi WhatsApp. Selama bernapas Hendra tidak pernah khawatir memikirkan uang. Namun, berhadapan dengan Haris membuatnya kehilangan arah. Kakek Sivan adalah orang militer yang mempunyai banyak relasi dan selalu mempunyai rencana tak terduga. Rencana yang bahkan mantan pemimpin perusahaan seperti dirinya kewalahan untuk mengatasinya.

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang