82.

251 10 0
                                    



Tak ada yang memberitahu kepulangan Sivan ke Jakarta hari ini. Terlalu dikuasai pesimis membuat Janu lupa mengabarinya via WA. Meski terkejut, pagi ini Juno lebih tak tega mendengarkan penjelasan Renjana tentang kondisi Kakek Sivan di ruang tamu. Ia mengatakan semuanya secara detail. Sesuai dengan apa yang Dokter Retnosari jelaskan beberapa hari yang lalu. Mereka duduk berdua di sofa, menghadap dua gelas teh hangat yang masih mengepulkan asap.

"Sampai sekarang Sivan belum diberitahu keadaan Kakek yang sebenarnya, Opa?" Juno mengambil gelas berisi teh hangat, namun menahan diri untuk langsung meminumnya. Helaan napas berat yang dikeluarkan Renjana membuatnya tak tega mendahului pria itu menyeruput teh hangat.

"Iya. Kami bilang ke dia soal demensia saja," parau Renjana. Ada bayangan hitam di bawah kantung matanya. Beberapa hari ini Renjana menghabiskan malam tanpa menutup mata.

"Terus tanggapan Sivan bagaimana, Opa? Dia nggak merasa bersalah dan nyalahin dirinya sendiri sama kayak kejadian Nenek meninggal, kan?" khawatir Juno.

"Sepertinya tidak. Sebelum masuk dan melihat keadaan Kakek di kamar, Sivan sudah aku dan Evan beritahu sedikit tentang kondisinya. Ia bersedia memahami."

"Om Evan dan Sivan akan pulang ke Jakarta. Apa Kakek Sivan juga ikut dibawa ke sana?"

"Kakakku akan tetap tinggal di sini. Evan sudah mencarikan dua perawat pribadi yang bersedia merawatnya di rumah."

"Aku akan bilang ke orangtuaku juga, Om. Biar kalau ada waktu senggang mereka bisa ikut mengawasi keadaan Kakek Sivan. Ayah dan Ibuku lumayan dekat dengan beliau."

"Terima kasih, ya, Juno."

"Sama-sama, Opa."

Kesepuluh jari Juno bertaut erat. Telapak kakinya naik turun menendang-nendang lantai. Secara otomatis menggerakkan juga dengkul dan paha bagian atasnya. Gerakan-gerakan itu hanya akan muncul apabila dirinya merasa sangat gugup. Janu masih berada di dalam kamar Kakek Sivan. Menemani Evan dan Sivan berpamitan pulang ke Jakarta. Ia berharap waktu berjalan lama. Agar ia mempunyai cukup kesempatan menenangkan kegugupannya.

Setelah memastikan Kakek sedikit merespon walaupun matanya terlihat kosong, Sivan mengangkat telapak tangan Haris yang dingin dan kering. Menyalami dan mencium punggung tangannya dengan lembut. Sivan membiarkan air matanya jatuh di sana. Punggung tangan Haris kembali ke tempat semula dalam keadaan basah.

"Terima kasih sudah merawat Sivan, Kek. Satu minggu sekali Sivan usahain ke Yogya buat jenguk Kakek." Sekuat tenaga Sivan mengatakan itu. Seluruh tubuhnya menahan berbagai macam emosi yang menyerbu. Perasaan sedih, kecewa, dan menyesal berkumpul menjadi satu. Ditambah kenangan-kenangan masa kecil yang tiba-tiba muncul. Menyebabkan Sivan hampir jatuh bersimpuh.

Untung saja sebelum ia masuk dan melihat keadaan Haris, Evan telah berusahaa keras meyakinkann dirinya bahwa semua yang terjadi bukan kesalahannya. Sivan mempercayai ayahnya karena mata elang Evan berkaca-kaca sewaktu mengatakan itu semua. Evan memegang punggung naik turun putranya. Berjaga-jaga jika punggung itu menyerah dan jatuh ke belakang.

"Kakek sehat-sehat, ya, di Yogya." Sivan merasakan sesuatu dingin meluncur dari pipi sebelah kanannya. Ia buru-buru menghapusnya. Namun, Haris telah lebih dulu melihat. Punggung tangan keriputnya yang basah terkena air mata Sivan terangkat. Menggenggam erat pergelangan tangan Sivan yang masih bergerak gelisah. Menghentikan aktivitasnya menghapus air mata.

"Jangan keras-keras ... Nanti bisa terluka ...."Kakek membuka suara. Terdengar lembut dan penuh perhatian. Semua orang yang ada di kamar itu melebarkan kelopak mata. Pertama kalinya usai kejadian pengangkatan senjata, Kakek kembali berbicara. Walau suaranya terdengar berbeda. Walau wajahnya tak menampilkan kemarahan seperti seharusnya. Ketidakberdayaan Haris dan vonis depresi yang dideritanya kini membuat semua orang memahami kemarahannya selama ini.

"Kek ... ini Sivan. Kakek ingat?" Terhitung dua kali Sivan menggunakan kalimat itu untuk mengingatkan Haris. Kakek tak bersuara lagi selain hanya mengedip lambat. Netra renta Haris mulai berkelana. Memandang satu per satu sosok yang mengerubungi tempat tidurnya. Wajah-wajah yang melihatnya tak terasa asing. Namun, Haris tak bisa mengingat nama-nama mereka. Ia berhenti lama saat tatapnya bertemu dengan sepasang mata tajam pria yang masih siaga menjaga Sivan.

Hanya Evan satu-satunya yang masih ia ingat wajah dan namanya. Ia tak bisa mengingat apa saja yang telah ia perbuat kepada pria itu hingga rasa sedih yang mendalam tiba-tiba membuat hatinya tak tenang. Penyesalan Haris rasakan tanpa sebab. Menuntunnya untuk mengatakan sesuatu yang mendadak ingin ia utarakan untuk Evan.

"Evan ...," panggil Kakek. Dari semua pasang mata yang membelalak, pupil Evan menjadi satu-satunya yang paling seram. Ia melepas pegangannya pada punggung sang putra. Merasa was-was sekaligus ragu. Evan menatap Janu untuk memastikan panggilan itu bukan halu. Sahabat setianya merespon mengangguk-angguk.

"Ayah." Pertama kalinya juga Evan memanggil Haris setenang ini. Tanpa merasa menyesal dan dipukul, ditampar, serta ditendang.

"Aku menyesal ...," lanjut Haris. Sivan mulai menangis tak tega mendengar suara kakeknya. Ia masih belum bisa menerima fakta bahwa kakek telah melupakannya.

"Aku juga menyesal Ayah." Evan justru kebingungan sekarang. Apa benar sosok di depannya ini Haris. Ayah mertuanya telah divonis demensia, tetapi kenapa bisa mengingat namanya. Bahkan sekarang berkata menyesal sambil menatapnya juga seperti meminta pengampunan.

"Maafkan aku ...," ucap Haris. Dada Evan bergemuruh mendengarnya. Setelah melebarkan mata bersama-sama, lima pria di ruangan itu menahan napas. Pundak Beton dipukul-pukul Joe karena ia syok sampai tersedak. Pipi Sivan semakin kebanjiran air mata. Ia tak bisa mengambil udara dengan normal.

"Aku yang seharusnya meminta maaf, Ayah," balas Evan mendekatkan diri di samping pembaringan Haris. Senyuman tipis Haris terbit. Menghentikan isakan Sivan yang tak bisa lagi remaja itu kendalikan. Evan memegang lagi punggung Sivan. Membuat gerakan memutar di sana untuk menenangkannya.

"Kau ... kumaafkan ...." Haris tak bisa melihat sosok-sosok asing itu lagi. Kegelapan membawa kesadarannya pergi. Obat dosis tinggi yang diberikan dokter membuatnya mudah tertidur lelap seperti ini. Evan memfokuskan diri kembali pada Sivan yang masih menangis. Ia tak lagi mengelus punggung putranya. Evan harus segera menenangkan dan membawanya keluar.

Janu lebih dulu meninggalkan kamar Haris, membeku di depan pintu. Joe dan Beton memandangnya sinis karena tak kunjung menutup pintu. Renjana dan Juno masih melanjutkan perbincangan di ruang tamu. Membicarakan masalah hipnoterapi Sivan dan Dokter Retnosari yang mengundurkan diri karena penyesalan di masa lalu. Janu ingin segera bergabung dengan mereka. Tetapi, rasa takut kehilangan memakunya untuk berjalan. Sampai pintu kamar ditutup Joe, Janu masih bertahan di sana. Ia belum siap dengan kenyataan yang Juno bawa.

Sama-sama tak memberi kabar beberapa hari menumbuhkan kecanggungaan di antara mereka berdua. Untung saja Renjana tergolong manusia peka. Ia memanggil Janu bergabung di ruang tamu. Untuk pertama kalinya, Juno melihat Janu berjalan kikuk. Tak tega melihat kegugupan Janu, Juno melangsungkan pengumuman. Ia bilang bersedia menjadi putra angkat Janu. Janu tak bisa menganggapi apa-apa. Tetapi, ia kembali berdiri. Duduk di samping Juno.

Juno berada di tengah-tengah dan diapit dua pria berbeda umur. Pria sebelah kanan merangkulnya. Mengucapkan terima kasih berkali-kali. Wajahnya kelihatan bahagia sekali. 

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang