"Kemarin aku ke rumah Dokter Retnosari lagi, No. Udah beberapa minggu nggak bisa tidur." Sebisa mungkin Sivan melirihkan nada bicara karena waktu hampir menginjak tengah malam. Sekitaran lingkungan rumah Sivan dikuasai berbagai nyanyian serangga malam. Bersahutan-sahutan, suasana heningnya terasa mencekam. Seperti suasana di dalam film horor yang membuat orang-orang ketakutan.
"Akhirnya telepon juga. Lanjutin aja. Aku mendengarkan." Suara Juno dari sambungan telepon tidak sedikitpun terdengar seperti orang mengantuk. Juno memang berpengalaman dan terlatih begadang sampai subuh.
"Mimpi-mimpi buruk itu datang lagi. Semuanya lebih kelihatan nyata seperti waktu kecil. Bayangan kejadiannya, suara tembakannya, darah Mama ... semuanya terdengar ... dan terlihat ... jelas ...."
"Stop. Udah kasih tau Kakek?" putus Juno.
"Belum. Kakek sengaja nggak aku kasih tau. Nenek habis sakit, aku takut Nenek drop lagi."
"Nggak usah kamu pikirin, semua mimpi itu nggak nyata, Sivan. Ingat kata-kataku, nggak nyata. Kamu pasti bisa lawan mereka."
"Aku bingung kenapa mimpi itu tiba-tiba datang lagi. Nggak ada hal-hal yang membuat traumaku terpancing."
"Biar kutebak. Kamu merindukan Ayah atau Mama kamu?" Sivan membisu beberapa detik. Detik itu juga Juno yakin tebakannya seratus persen benar.
"Nah,itu juga bisa menjadi pemicunya, Sivan."
"Beberapa hari ini aku memang kepikiran Ayah. Gara-gara bertemu Om Ivan. Dia memakai parfum sama seperti merek parfum Ayah dan suara tertawanya sangat mirip seperti suara Ayah."
"Om Ivan misterius banget, ya. Setiap hari memakai masker hitam terus."
"Dia punya alergi akut sama udara, No."
"Kalau misalnya, kamu bertemu Ayah kamu sekarang. Apa yang bakal kamu lakuin, Siv?"
"Paling berpelukan."
"Yaelah, dramatis sedikit kenapa. Kalian, kan, udah sepuluh tahun lebih berpisah."
Perbincangan kembali terjeda. Gawai sengaja Sivan lepas dari tangan. Denyutan-denyutan menyakitkan meremat brutal kepala bagian atas. Sivan mengambil lagi gawainya dengan jari-jari tak tenang. Terdengar Juno berkali-kali memanggi namanya. Rasa sakit yang kian menjadi membuatnya mengusap tombol merah. Foto profil WA sahabatnya menjauh. Panggilan Juno lenyap. Kembali hening yang dirasakan. Sivan membungkuk untuk mengambil tisyu dari dalam laci meja belajar. Ia mengelap area bawah hidung. Ada darah keluar dari sana.
Sivan berusaha mengatur napas. Sebisa mungkin tidak panik. Ia menuntun langkah ke kamar mandi. Mengguyur seluruh wajah hingga menyebabkan kerah piyamanya basah. Sivan mempunyai cara sendiri agar tidak pingsan melihat darah. Meskipun malam ini ia meragu cara itu membantunya dalam keadaan mendadak. Ia memejam sembari konsisten menunduk di depan tempat cuci muka. Menunggu aliran darah berhenti dengan sendirinya. Sivan baru bisa duduk di atas tempat tidur lagi tiga puluh menit kemudian.
"Bagus, Sivan. Good job ...." desah Sivan sembari menekan-nekan pundaknya sendiri. Butterfly hug berhasil menolongnya untuk kesekian kali.
Tim relawan PMR Merapi dari sekolah Sivan berjumlah lima belas murid. Pagi ini, mereka telah diterjunkan di tiga barak pengungsian berbeda yang masih satu lokasi dengan sekolah. Sivan yakin bisa melakukan semuanya sesuai rencana karena lokasi posko pengungsian lumayan dekat dari rumah. Tak ada penyambutan yang meriah. Namun, beberapa pengungsi dan relawan dewasa menyambut kehadiran mereka sambil tersenyum ramah. Para warga Gunung Merapi terkenal ramah tamah kepada semua orang.
Belum banyak pengungsi yang tinggal. Jumlahnya masih di bawah angkat seratus orang. Kondisi terpantau aman. Status siaga Gunung Merapi menyebabkan orang dewasa sehat dan para pemuda beraktivitas normal di rumah. Mereka mengungsikan keluarga yang sudah renta, ibu hamil, anak-anak, dan penyandang disabilitas saja. Tenda darudat dipasang untuk keperluan memasak. Hal-hal menyangkut kesehatan untuk sementara dilakukan di bagian belakang barak pengungsian. Dijaga petugas relawan dari Puskemas. Sebuah awal yang cukup menenangkan bagi para relawan. Termasuk Juno, Sivan, dan rekan-rekan.
"Om Janu!" teriak Juno usai memberikan instruksi kepada Sivan dan tiga anggota relawan PMR lain di sudut selatan barak. Masing-masing dari mereka berjalan berpencar. Sivan bersiap berjalan ke belakang menjuju ruang kesehatan ketika suara berat familiar menghentikan tungkainya.
"Sivan!" Evan menjadi pemanggil kedua dari kejauhan. Sivan dan Juno sama-sama diam menunggu perjalanan dua pria.
"Selamat datang dan selamat bergabung menjadi relawan, ya." Janu berdiri menyambut satu meter di depan Juno dan Sivan.
"Makasih, Om. Mohon bimbingannya." Juno membungkuk sopan. Hanya Janu yang membalas sikap sopan Juno. Perhatian pria tegap di sampingnya sepenuhnya terkunci pada wajah Sivan yang terlihat lesu. Bahkan lebih tidak berwarna dari terakhir kali mereka bertemu. Apakah putranya sedang tidak baik-baik saja. Apakah ia mendapat perilaku kasar lagi dari Ayah Mertuanya. Sungguh, Evan ingin menanyakan dua hal itu saat ini juga. Bayangan Nenek kesakitan dan masker hitam terus menghalanginya.
Gunung Merapi masih menahan sesuatu dari dalam perutnya. Para relawan PMR lebih banyak bertugas membantu menyiapkan keperluan obat dan makanan bagi para pengungsi. Jadwal bergilir sudah dibuat untuk para siswa yang menjadi relawan PMR, agar tetap bisa menikmati liburan kenaikan kelas. Sayangnya, Sivan tidak mendapatkan jatah jadwal itu. Namanya tidak tertulis di kertas pengumuman. Juno sengaja menjadikan Sivan tangan kanannya.
Menjadikan Sivan sebagai wakil ketua adalah rencana B yang Juno buat apabila Kakek Sivan tidak memberikan izin cucunya untuk mengikuti kegiatan relawan PMR Merapi. Tapi, ternyata tanpa berpikir lama Kakek Sivan memberikan izin ketika sarapan pagi. Satu hari pertama kegiatan relawan PMR Merapi, Juno lebih banyak berdiskusi dan mengikuti aktivitas Janu. Hubungan mereka cepat sekali dekat. Entah kenapa seperti ayah dan anak.
"Masa memotong kayu saja nggak bisa. Kamu nggak pernah diajari sama Ayahmu?" keluh Janu melihat Juno kesulitan memotong sebatang kayu untuk bahan bakar memasak. Juno menggeleng sambil mengelap beberapa keringat yang menetes di samping pelipisnya.
"Nggak, Om. Sejak bayi aku yatim piatu," ungkap Juno. Panah penyesalan menancap dada Janu.
"Maaf, ya." Janu menghentikan gerakannya mengayunkan kapak.
"Santai, Om. Santai." Juno sudah terbiasa menanggapi orang-orang simpatik macam Janu.
"Terus, kamu dirawat siapa?"
"Sama Bulek, adiknya ibukku. Aku juga punya kakak angkat, lho, Om. Dia cantik sekali, tapi sayang udah punya suami." Ringkas Juno kemudian mengambil satu per satu kayu.
"Kalau saja kakakku belum menikah, aku mau menjodohkannya sama Om," canda Juno. Juno mengikat kayu-kayu menjadi satu. Janu kembali dihantam rasa iba. Ia melempar pandang pada Evan dan Sivan yang sedang bersiap membagikan makan siang dari tenda dapur. Sebuah keinginan tak masuk akal aneh lahir di dalam kepalanya.
Sambil menjalankan tugasnya sebagai ketua relawan, Evan berusaha lebih dekat dengan putranya. Ketika kondisi pengungsian stabil, ia menyempatkan diri mengajak Sivan berbicara. Evan meminta Sivan menemaninya membantu para relawan lain di tenda dapur. Selesai menata nasi ke dalam sterofom, Sivan bersama Evan memasukkan satu per satu nasi bungkus ke dalam kardus putih. Tanpa kesusahan, Evan membawa satu kardus penuh berisi makan siang para pengungsi diikuti Sivan dari belakang. Pria itu menikmati perannya sebagai ketua relawan sekaligus ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...