73.

284 21 0
                                    



Hal penting yang ingin Janu katakan kepada Juno sebenarnya sudah direncanakan dan dipersiapkan jauh-jauh hari. Bahkan sebelum Gunung Merapi sibuk menepati janji. Namun, yang ada di pikiran tak sejalan dengan apa yang ada di hati. Pikiran Janu belum siap, sementara hatinya tidak sabar untuk segera mengungkapkan. Waktunya di Yogya tak lagi banyak dan ia takut kedua orang tua angkat Juno mengubah kesepakatan. Apalagi sang ibu angkat.

"Om Janu tolong matikan mesin mobilnya. Aku nggak bisa keluar," pinta Juno. Janu tak memberi respon. Tangannya masih menggenggam setir kemudi. Tak menaruh curiga apa pun, Juno memberi waktu. Nyanyian serangga malam terdengar meski mesin sedan belum diberhentikan.

"Aku harus segera masuk rumah. Sudah sangat malam. Tolong bukakan pintu mobilnya, Om," pinta Juno kedua kalinya.

Tidak bisa. Janu tidak bisa memberitahunya sekarang. Ia takut anak itu memberi jawaban yang tidak memenuhi ekspektasinya. Atau bahkan melukai perasaannya. Pria itu sangat ingin mengatakannya dari dulu. Namun, ia ingin menyelesaikan misi menyatukan Evan dan Sivan lebih dulu.

"Om," panggilan Juno kian meninggi. Janu melepas kemudi, dahinya mengkerut sembari merogoh saku. Mengeluarkan dompet sekaligus isinya. Sejumlah lima lembar uang kertas berwarna merah.

"Ambil. Buat jajan kamu," katanya.

"Nggak usah, Om," kaget Juno. Ia belum pernah diberi uang sebanyak itu selain dari Ayah. Itu pun untuk keperluan sekolah. Jangan-jangan Janu kelelahan hebat hingga pikirannya tanpa sadar menyuruhnya memberikan uang. Janu tipe manusia terlalu baik yang kadang ceroboh.

"Nggak apa-apa. Aku ingin memberikan dari kemarin tapi nggak sempat." Ekspresi Janu meyakinkan terlihat seperti orang sadar.

"Tapi, aku nggak enak."

"Ambil atau nggak aku bukakan pintu mobilnya."

"Ish! Iya, iya. Yaudah aku ambil uangnya!" seru Juno merampas uang dari telapak Janu. "Makasih, Om. Besok mau aku pakai buat beliin Sivan boba."

"Jangan buat jajan semuanya. Sisihkan juga buat beli buku dan perlengkapan sekolah lainnya." Janu menghimbau.

"Itu udah urusan, Ayah. Kalau uang yang ini lain. Kan, yang memberikan Om Janu." Keceriaan Juno tak pernah gagal membuat pria itu tergelak. Ia ingin meremas rambut anak itu, tetapi kaki kirinya terlanjur menginjak tanah pekarangan rumah. Kepala Juno menjauh dari jangkauannya.

Tak melupakan tradisi, tentu Juno mengajak Janu mampir. Pria itu menolak. Juno menampakkan raut kecewa. Sudah lama ia ingin memamerkan Juno pada keluarganya. Anak itu tak pernah tahu, beberapa kali Janu telah datang dan bertemu dengan sang ibu.

Janu tak bisa melawan rasa malu karena belum memberikan kepastian untuk kedua orang tua angkat Juno. Padahal dirinya sendiri yang menginginkan hal itu terjadi. Dimulai dari bertukar nomor WA di pertemuan relawan PMR, Janu menaruh harapan baru pada anak itu.

"Nah, itu dia anaknya!" Suara kakak angkat perempuan Juno menyerbu begitu melihat adiknya masuk rumah dengan wajah murung. Ibu berjalan tergopoh-gopoh dari kamar mandi. Meninggalkan setumpuk pakaian yang baru mau dicuci. Ayah menaruh korek api yang tadi sempat menyemburkan api.

"Kenapa? Ada apa? Kok, pada kelihatan tegang semua?" Juno mencoba bersikap biasa. Tangan kiri Ibunya memapah menuju kursi makan. Mendudukkan tubuh berbalut kaos olahraga Sivan di depan sang Ayah.

"Duduk dulu. O iya, keadaan Sivan gimana?" Ibu bertanya.

"Hah ...." Juno mengelap muka lelahnya. Seperti ada segerombolan semut mengerubungi matanya. Wajahnya kesemutan menahan air mata.

"Masih parah, ya?" Ibu sangat khawatir sama seperti Juno. Semua anak malang seperti Sivan selalu wanita itu anggap sebagai anak sendiri.

"Nggak, Bu. Sivan udah bertemu Om Evan, ayah kandungnya. Tadi aku melihat sendiri Sivan berjalan dan mengejar Om Evan. Ia juga udah bisa bicara."

"Anak malang ...."

"Bu, bikinkan teh hangat dulu buat Juno," sela Ayah. Entah kenapa iramanya terdengar lebih berat dari biasanya.

"Iya, iya. Tunggu sebentar, ya. Jangan bahas apa-apa tanpa ibu."

"Sebenarnya ada apa, to? Pertanyaanku belum dijawab, lho. "

"Tunggu Ibu selesai bikin teh anget dulu." Kakak perempuannya menanggapi. Tumben sekali tidak menggendong bayi mungil kesayangannya. "Arka udah tidur ditemenin dua guling," jelas sang Kakak, tahu betul isi pikiran Juno.

Dua pegawai setia Evan, Joe dan Beton masih berada di villa. Mereka hanya bisa melakukan komunikasi melalui video call WA. Evan telah meminta mereka membawakan baju miliknya dan Janu. Ia akan tinggal di rumah Haris sementara waktu untuk membereskan kekacauan yang tersisa.

Sivan harus mengonsumsi obat dari Dokter Retnosari. Kondisi fisiknya membaik sangat cepat setelah bertemu Evan. Ia mampu berdiri lama tanpa bantuan kursi roda. Namun, akhir-akhir ini Evan mendapati Sivan sering melamun tanpa sebab. Ia mudah terserang panik hanya mendengar benda kecil jatuh. Setiap malam, tak jarang anak itu mengigau dalam tidur.

Malam ini menjadi yang terparah. Evan sampai memanggil semua penghuni rumah kecuali Haris untuk membantu memenangkan Sivan. Bocah itu diserang mimpi buruk yang sepertinya lebih buruk dari sebelumnya. Tubuhnya bergerak tak terkendali menjejak semua yang ada di tempat tidur. Evan sempat terkena tendangan tak bertenanga dari kaki putranya. Kemarahan Sivan tak pernah menyakitinya.

"Sivan, kamu kenapa?" Evan baru bisa merengkuh tubuh sang putra saat Renjana dan Janu memegang kedua lengan kurusya. Bau parfum Evan menyadarkan Sivan. Kedua lengan yang tak bisa dikendalikan terbujur lemas. Renjana dan Janu tak juga melepasnya. Takut apabila Sivan melukai tubuhnya sendiri.

"Kamu kenapa? Bilang sama ayah, Sivan." Evan menaruh kepala Sivan di atas pundaknya. "Hei ...."

"Ayah." Panggil Sivan lirih.

"Iya, Ayah di sini. Sivan kenapa panik begini?"

"Mama ... Mama, Yah."

Evan memberi isyarat dua pria yang berada di masih-masing sisi Sivan untuk mengakhiri penjagaan mereka. Begitu mereka melakukannya, tubuh Sivan meluruh di pengkuan Evan.

"Mau panggil Dokter Retnosari sekarang?" Panik Janu. Evan menolak. Masih memfokuskan diri menenangkan Sivan. Menggunakan cara Sinta saat menenangkannya waktu kecil. Mengelus bagian belakang kepala dan punggung secara bersama-sama. Memberikan ia kesempatan dulu untuk menumpahkan semua kesedihan. Baru kemudian mengajaknya bicara lagi pelan-pelan.

"Aku ke kamar Kakek Sivan dulu. Kalau ada apa-apa segera panggil aku," Renjana memegang kepala Sivan disusul meremat pundak Evan sebelum meninggalkan kamar.

"Sudah tenang?" tanya Evan menyaksikan kepala Sivan mendongak.

"Tadi cuma mimpi buruk. Maaf ...."

"Mau cerita? Ayah dengarkan."

"Sivan bertemu Mama. Mama memakai gaun sangat indah. Tapi, tiba-tiba tubuh Mama berlumuran darah. Sama persis waktu tertembak."

"Sudah. Jangan dilanjutkan," Evan tak tega.

"Ayah ...." Sivan mendapati pipi ayahnya basah. "Ayah nangis?"

"Nggak. Ayah cuma khawatir. Sivan baik-baik aja, kan, selama Ayah nggak ada?"

"Sivan dirawat Kakek sama Nenek dengan baik. Buktinya, sekarang Sivan masih bisa bertemu ayah."

"Ayah minta maaf karena nggak bisa jemput Sivan lebih awal."

"Kalau Ayah nyusulnya cepat, ayah nggak akan bisa jadi Om Ivan."

Evan melebarkan kedua mata basahnya. Menatap dalam wajah pucat remaja lemas di pelukannya.

"Ayah keren, lho. Bisa nyamar tanpa ketahuan kayak gitu."

Evan menunduk malu.

"Setelah sepuluh tahu, akhirnya kita bisa bertemu. Habis ini Sivan ingin seneng-seneng sama Ayah. Jadi, Ayah jangan nangis." 

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang