Hasil tes kecocokan sumsum tulang belakang Evan berakhir bahagia. Dokter menyatakan lulus dengan nilai delapan puluh persen kecocokan. Renjana menyambut berita sangat baik itu sambil memeluk tubuh kakaknya. Masih di ruangan yang sama, Evan ditemani Janu menundukkan kepala untuk mengucap syukur. Meskipun beberapa hari yang lalu mereka bertengkar hebat, Janu tetaplah Janu yang tidak bisa membiarkan Evan berjalan sendirian.
Satu jam sebelum melakukan operasi transplantasi sumsum tulang belakang, Evan diberikan kesempatan untuk masuk ke dalam ruangan di balik jendela kaca. Ia telah menggunakan baju khusus rumah sakit dan hanya perlu memasang masker medis di mulutnya. Evan menatap Janu, Juno, Joe, Beton, dan Anita sebelum masuk. Mereka semua tersenyum hingga kelihatan menahan tangis. Beton yang justru pertama kali meneteskan air mata.
Akhirnya, usaha Evan selama sepuluh tahun berhasil. Perjuangan Evan hampir mencapai finish. Evan tidak perlu lagi menjadi Ivan untuk memeluk Sivan. Evan tidak perlu menggunakan masker berwarna hitam untuk mengajaknya bicara. Evan tidak perlu menambah bau wangi parfum hanya untuk menarik perhatian Sivan. Perlahan-lahan, Evan berjalan mendekati ranjang Sivan. Bunyi alat pendeteksi jantung membuat Evan terseret sesaat ke masa lalu.
"Ayah ... jangan pergi ke Singapura, ya ...."
"Mulai hari ini, ayah jangan pergi jauh-jauh lagi, ya ...."
"Sivan ingin ayah berjanji supaya Mama sama Sivan juga diajak pergi."
Kalimat-kalimat Sivan kecil terdengar di dalam ruangan sunyi itu. Evan mengambil napas dalam sembari menyentuh pergelangan tangan dingin Sivan. Ia mengelusnya perlahan, lalu menggenggamnya di samping pipi. Tangan yang lain mulai menyingkirkan rambut-rambut di dahi Sivan. Evan mencium kening putranya sangat lama. Memecahkan celengan kerinduan yang sudah terisi penuh dengan kata-kata yang tak sempat terucapkan.
"Sivan, ini ayah ..., " bisik Evan di samping telinga putranya. Janu dan Juno mendekatkan bola mata ke jendela kaca melihat tubuh Evan merubuh cepat ke depan. Beton menghentikan air mata, Joe mendadak tak bisa mengedipkan mata. Anita kembali menutup mulutnya. Mereka semua menyaksikan Sivan membuka mata. Kepala Sivan bergerak-gerak gelisah mencari sumber suara yang telah membangunkannya.
"Sivan, ayah di sini." Evan menyentuh pipi Sivan, mengelusnya begitu lembut, mengarahkannya pandang untuk saling bertemu. Sivan masih menggunakan selang oksigen untuk membantunya bernapas. Mata Sivan terbuka setengah ketika wajahnya berhasil menangkap bayangan samar-samar ayahnya. Wajah Evan tidak terlihat jelas di dalam penglihatan Sivan. Mengabur seperti lukisan abstrak. Evan menerbitkan senyuman lembut. Senyum paling tulus yang hanya ia tunjukkan kepada orang-orang kesayangannya.
Evan menurunkan masker medis yang menutupi mulutnya. Kedua mata sayu Sivan terbuka lebar.
"A ... yah .... " Evan berhasil mendengarnya dengan jelas. Tulang pipi Evan memerah, hingga tak lama, lapisan-lapisan air membanjir di sana. Evan menciumi telapak tangan Sivan, menaruh telapak tangan sang putra di kedua pipinya secara bergantian. Memberi kesempatan Sivan untuk merasakan wajahnya. Di luar jendela kaca, satu per satu menyusul Beton menangis. Janu paling sesenggukan hebat dan punggungnya harus ditepuk Juno untuk tetap bisa bernapas.
"Udah ...." Perkataan Sivan selanjutnya, membuat Evan menghentikan elusannya.
"Udah lama ... Ayah ... nggak datang ... ke mimpi Sivan ...." Evan menyadari kedua mata Sivan menatapnya tanpa cahaya.
"Ini bukan mimpi, Sivan. Ini kenyataan. Ayah benar-benar ada di sini," terobos Evan hati-hati. Evan meremas sedikit telapan tangan Sivan. Memancing Sivan untuk lebih merasakan kehadirannya.
"Lihat, kamu bisa merasakan tangan ayah, kan?" tanya Evan memastikan. Sivan tak juga mengangguk. Kekosongan hitam di matanya enggan menghilang. Malah bertambah semakin hitam dan gelap. Tidak ada tanda-tanda cahaya datang hingga beberapa menit lenyap. Evan tidak menyerah. Ini kesempatan terakhirnya untuk bertemu Sivan. Ia harus mengatakan semuanya.
"Sivan, maafin ayah. Ayah harus pergi lagi. Tapi, ayah janji, ayah pasti kembali ...." Tidak tahan, Evan melepas semua genangan air di pelupuk matanya. Seluruh air mata tumpah memenuhi pipi Evan kedua kalinya.
"Sivan pernah bilang ayah seperti Merapi. Tapi, ayah meragukannya sekarang. Ayah nggak seperti Merapi, Sivan. Ayah selalu ingkar janji ...." Evan sekali lagi mencium telapak tangan Sivan. Air matanya tidak berhenti mengalir dengan deras.
"Ayah ...." panggil Sivan lemah. Evan buru-buru menerbitkan wajah bersimbah air matanya.
"Iya ... Sivan."
"Semua ... yang terjadi ... bukan salah Ayah ...."
Sivan mencoba membalas genggaman Evan. Walaupun seluruh tenaganya terasa sangat berat.
"Sampai kapan ... pun ... Sivan tetap ... sayang Ayah ...." Lanjut Sivan sebelum menutup mata.
Gerakan lemah jari-jari Sivan membalas genggaman Evan terhenti. Kepala Evan menunduk, tenggelam di dalam lipatan selimut Sivan. Suara tangisan memilukan terdengar mencabik seluruh ruangan. Dua orang perawat yang memantau keadaan Sivan dari sisi ruangan tidak berani menegur Evan. Mereka mengetahui kisah Evan dari dokter yang menangasi Sivan. Salah satu dari mereka menarik tisu dan menempelkannya beberapa kali di sudut mata.
Usai mendonorkan sumsum tulang belakangnya, Evan bergegas meninggalkan brankar. Sebuah kursi roda yang ditawarkan seorang perawat ditolaknya. Evan berjalan tergesa sembari membawa tiang infus menuju ruangan Sivan menjalani transplantasi. Baru sepuluh langkah, rasa sakit di belakang punggung menghentikan kakinya. Evan menyentuh dinding untuk membantunya tetap melangkah. Tak lama, Janu datang menopang tubuh Evan. Membantunya berjalan.
Juno, Anita, Renjana, dan Kakek bersama-sama menyambut kedatangan Evan. Anita buru-buru menghampiri, membantu membawakan tiang infus Evan.
"Sivan masih di dalam," pilu Anita. Evan mengangguk tanpa menatap wajah sedihnya. Ia melanjutkan langkah diikuti Janu dan Anita di belakang. Tiga meter di depan tubuh meringkuk Kakek di bangku pengunjung, Evan menyingkirkan kedua tangan Janu yang telah membantunya. Ia pun meminta Anita menyerahkan kembali tiang infus kepadanya dengan senyuman. Evan melanjutkan perjalanan sendirian sampai di depan Kakek.
"Terima kasih atas kesempatannya, Ayah." Evan berterima kasih dengan tulus. Kakek yang sedari tadi khusyuk berdoa menegakkan kepalanya. Menatap Evan berdiri masih menggunakan baju rumah sakit dan membawa tiang infus. Pergelangan tangan Evan berdarah, karena sempat hampir terjatuh. Beberapa bekas biru tamparan Kakek masih tersisa di wajah Evan.
"Ayah, boleh aku minta beberapa permintaan?"
"Permintaan apa?"
"Tolong kirimkan foto Sivan ketika dia lulus SMA."
"Jika aku tidak lupa."
"Terima kasih, Ayah. Terima kasih banyak telah merawat Sivan dengan baik," jawab Evan lalu berjalan meninggalkan tempat duduk Kakek. Kakek meremas kedua telepak tangannya. Bukan, bukan untuk bersiap memukul Evan seperti yang selalu ia lakukan. Ia sedang bersiap-siap untuk mengatakan sesuatu. Namun, batu besar keegoisan lagi-lagi menghalanginya.
Semalam Sinta mendatanginya lewat mimpi. Menangis sangat sedih memintanya tak membiarkan Evan pergi. Mimpi itu terasa begitu nyata sampai Haris merakan pipinya basah saat terbangun dari tidurnya. Seluruh mata di depan ruangan operasi tertuju pada Kakek dan Evan.
"Terima kasih," lirih Kakek Sivan. Evan tersenyum lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...