80.

299 19 2
                                    



"Tolong Mama ... Tolong Mama ...." Sivan meracau dalam dekapan Evan. Tubuhnya menegang. Bajunya berantakan. Kedua matanya memejam ketakutan.

"Ayah janji besok kita jenguk makam Mama. Sivan harus tenang," Evan mengira Sivan seperti itu karena terlalu merindukan Sinta.

Dokter Retnosari belum berani mengembalikan kesadaran Sivan. Barusan uluran tangannya ditolak Evan menggunakan sikutan. Pria itu juga melemparinya dengan tatapan tajam yang mengerikan. Khawatir kejadian tak mengenakkan seperti yang Haris lakukan beberapa tahun silam terjadi lagi. Dokter Retnosari membiarkan Evan menenangkan sendiri putranya.

"Kenapa Sivan, sudah satu minggu lebih keadaan kamu membaik. Kenapa kamu jadi seperti ini lagi. Ayah mohon jangan begini. Tolong jangan begini ...," bisikan Evan menerpa permukaan rambut Sivan. Anak itu menjawab menggunakan dua dengungan kata yang sama. Tolong Mama.

"Ayah jangan pergi-pergi lagi ... tolong bawa Sivan sama Mama pergi ...." Setelah sepuluh tahun berlalu, Sivan mengulang kalimat itu. Rengekan Sivan kecil menyapa telinga Evan. Tarikan napas di dadanya memberat seperti terhantam batu besar.

"Ayah tidak kemana-mana Sivan. Ayah selalu di sini." Evan tak usai meyakinkan.

Sangat keras Sivan mendorong bahu lebar ayahnya. Membuatnya hampir menabrak pinggiran meja ruang tamu dan jatuh dari sofa. Wajah penuh air mata Sivan terlihat mengerikan karena kedua bola kecilnya hampa tak berbinar. Diri Sivan yang sebenarnya sedang tertidur di alam bawah sadar. Tubuhnya kini dikuasai inner child terluka yang meminta untuk disembuhkan.

Masa lalu menyakitkan itu mengelabuhi penglihatan Sivan. Evan yang berusaha membetulkan posisi duduknya berubah menjadi Sinta. Dokter Retnosari menjadi perampok yang memakai topeng badut putih. Janu, Beton, dan Joe yang masih berdiri di dekat tangga berubah menjadi tiga perampok yang salah satunya membawa senjata api.

Dentuman dahsyat senjata api di dalam kepala membuat Sivan semakin tak bisa mengendalikan diri. Ia menutup kedua telinganya rapat-rapat. Dalam kegelapan mata Sivan menyaksikan salah satu perampok menembak Sinta. Evan menggunakan kesempatan itu untuk merengkuh lagi tubuh berontak anaknya.

"Pulang Ayah pulang! Perut Mama ... perut Mama berdarah Ayah!"

"Sivan ...."

"Pulang sekarang!"

"Maafin, Ayah. Ayah minta maaf." Evan menepuk-nepuk punggung tipis Sivan sembari berderai air mata.

Tiga puluh menit Sivan dapat ditenangkan. Sebuah pernyataan mengagetkan diutarakan Dokter Retnosari. Psikiater yang telah berjasa menolong Sivan sejak kecil itu mendadak mengundurkan diri. Ia tidak tenang bila harus melakukan hipnoterapi lagi. Sejak Kakek menghentikan terapi Sivan secara mendadak, Dokter Renosari sudah mengira semua ini akan terjadi. Pikirannya kacau dan tidak pernah sama lagi. Ia merasa sangat bersalah kepada Sivan karena tak bisa meyakinkan Haris agar terapinya terus berlanjut.

Andai terapi Sivan waktu itu bisa dilanjutkan, mungkin kekambuhan Sivan tidak akan separah ini. Ia tak akan dihantui penyesalan dan merasa menjadi dokter yang gagal.

"Maaf, Pak Evan. Hipnoterapi Sivan tidak mampu saya lanjutkan. Sivan harus memulai semuanya dari awal karena terapinya dulu diberhentikan Kakek Sivan secara mendadak. Ini sudah saya pikirkan sangat lama."

"Kalau begitu tolong dimulai lagi dari awal," Evan menjawab cepat.

"Saya yang sepertinya tidak sanggup untuk memulainya dari awal lagi. Sebenarnya, dari dulu saya sudah gagal menangani putra Bapak. Saya gagal menyakinkan Kakek Sivan agar terapi Sivan terus belanjut. Saya merasa bersalah. Sangat bersalah. Beberapa bulan yang lalu Sivan datang ke rumah saya secara diam-diam. Ia menceritakan kegelisahannya karena mimpi buruk dan ketakutannya kembali datang."

Dokter Retnosari membuka tas hitam persegi berisi perlengkapan kedokteran yang selalu ia bawa. Ia mengeluarkan sebuah kartu nama.

"Saya sendiri yang memilih tidak bisa melanjutkan, tapi hipnoterapi Sivan masih bisa tetap dilanjutkan di tempat lain. Anda akan membawa Sivan pulang ke Jakarta, bukan? Saya rekomendasikan Klinik Hipnoterapi Jakarta ini apabila Anda ingin melanjutkan terapinya di sana. Untuk berkas riwayat pemeriksaan Sivan segera saya buatkan."

"Terima kasih, Dokter."

"Sama-sama, Pak Evan. Senang sekali bisa diberi kesempatan dan kepercayaan menjadi dokter pribadi Sivan sejak kecil. Saya senang menyaksikan anak itu tumbuh sampai sebesar sekarang. Jujur, saya terharu."

"Anda dokter yang hebat. Tolong jangan merasa bersalah lagi. Sivan sudah bisa bertemu saya dan saya bersumpah tidak akan membuatnya terluka lagi."

"Terima kasih. Saya titip Sivan. Jika ada waktu luang tolong beri saya kabar mengenai perkembangannya di Jakarta. Sivan adalah pasien spesial sepanjang karir saya sebagai dokter kejiwaan."

"Jika dokter berniat ke Jakarta, dokter bisa menginap di tempat saya."

Tawa kecil Dokter Retnosari pakai untuk menanggapi tawaran Evan sekaligus mengakhiri percakapan.

Proses hipnoterapi Sivan ternyata tak membuatnya membaik. Tetapi justru menunjukkan emosi dan perasaan Sivan yang sebenarnya. Selama ini putranya begitu lihai menggunakan topeng baik-baik saja untuk menyembunyikan luka-luka yang sebenarnya. Luka-luka itu masih menganga dan Evan bertekad ingin menyembuhkannya tanpa bekas.

"Tadi aku teriak-teriak nggak, Yah?" tanya Sivan menyeruput air putih hangat yang disodorkan Evan.

"Kamu nggak ingat apa-apa?" curiga Evan.

"Yang terakhir kuingat cuma waktu Dokter Retnosari memintaku duduk rileks di sofa, mengatur napas, lalu disuruh menutup mata. Setelahnya aku merasakan sentuhan dingin dari tangannya dan aku nggak bisa melihat apa-apa lagi. Tubuhku kayak melayang di udara."

"Nggak apa-apa. Nggak usah dingat-ingat. Maaf, ayah sudah maksa kamu buat cepat-cepat melakukan hipnoterapi. Kata Dokter Retnosari, kamu masih perlu persiapan. Kondisi fisik dan mental kamu belum bisa diajak kerja sama dua-duanya."

"Ayah, aku bener-bener nggak ngomong aneh, kan?"

"Tidak, Sivan."

"Aku nggak ngamuk sampai ngelukain orang-orang, kan?"

"Kamu nangis, histeris, dan manggil-manggil Mama."

"Pantesan,"

"Pantesan apa?"

"Pantesan waktu aku bangun tadi kepalaku berat banget dan dada aku kayak ada yang nindih. Aku kalau udah inget Mama pasti bakal kayak gitu." Evan melayang pada saat Sivan pingsan di pengungsian. Ia pernah menjelaskan hal itu kepadanya.

"Tidur, ya, sekarang. Besok pagi kita pulang ke Jakarta," kata Evan. Tatapannya melembut.

"Serius, Yah? Berarti terapiku hari ini sukses?"

Evan diam. Tetapi, wajahnya tidak pernah bisa menyembunyikan kegelisahan. Sivan sudah merasakannya dari pertama kali Evan masuk ke kamar membawa nampan.

"Sukses, kan, Yah?" ulang Sivan meminta jawaban. Evan menaruh nampan yang hendak ia keluarkan dari kamar di atas nakas. Menatap sekali lagi dua kelereng hitam yang kini sudah berbinar. Napas cukup panjang Evan hempaskan.

"Dokter Retnosari merujuk kamu ke Klinik Jakarta Hipnoterapi Center." Evan menemukan kalimat sedikit tepat. Namun, tak mengurangi intensitas kecurigaan Sivan. Anak itu justru semakin mengkhawatirkan. Sivan membentuk tanda silang menggunakan kedua lengannya. Telapak tangan kanannya mengelus lengan kiri, sementara telapak kanan kiri mengelus lengan kanannya. Sivan terpaksa memeluk dirinya sendiri di depan Evan.

"Aku ... traumaku udah nggak bisa sembuh, ya?"

"Sivan, lihat Ayah,"

"Hinoterapiku tadi gagal, ya?" Sivan melepas tanda silangnya. Ia menggerakkan kedua tangganya ke atas. Telapak tangan berkeringatnya menjambak rambut lalu memukul-mukul kepalanya.

"Sivan ingin kuliah jurusan kedokteran, Ayah. Tolong Sivan ...."

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang