Tidak hanya membuat Sivan tersenyum dan tertawa, Juno menambah daftar keinginannya. Ia ingin Sivan bisa kuat berjalan tanpa bantuan kursi roda. Untuk membantu mewujudkannya, Juno harus berjuang lebih keras. Ia rela tidak bermain layang-layang demi ikut mengantar dan menemani Sivan terapi di rumah sakit. Trauma dan syok berat yang dialami akibat tragedi Sinta, berdampak pada syaraf motorik Sivan. Menyebabkan tubuhnya melemas dan tidak kuat berjalan bertahun-tahun lamanya.
Juno menerbangkan robot Ultraman kecil miliknya di depan mata Sivan ke kanan dan ke kiri. Sivan mengikuti pergerakannya, namun tak mengatakan apa-apa. Tersenyum pun tidak bisa. Wajahnya pucat dan bibirnya datar. Semalam Sivan demam karena permintaannya mengunjungi makam Sinta tidak dikabulkan. Nenek sedang di dapur membersihkan piring makan siang Sivan. Juno diminta menunggu di taman sambil menjaga Sivan yang duduk tenang di kursi roda. Ia tidak berhenti mengajak Sivan bermain walau anak itu tetap diam.
"Makasih, ya, udah nemenin Sivan. Sekarang, Sivan mau bobok siang dulu. Juno nggak apa-apa, kan, kalau bermain sendirian?" tanya Nenek mengelus lembut pipi Juno.
"Nggak apa-apa. Juno mau pulang aja, takut hujan."
"Nanti nenek minta Pak Noto anter Juno pakai sepeda, ya."
Juno mengangguk lucu menemani Nenek mendorong kursi roda Sivan menuju ke dalam rumah. Di dalam, Juno tak berani ikut masuk ke dalam kamar Sivan. Ia pernah ditegur Haris menggunakan tatapan tajam mengerikan. Pria itu telah lama membuat aturan, tidak ada yang boleh masuk ke dalam kamar kecuali pihak keluarga saja.
Pemberhentian mendadak Juno di depan kamar menghentikan juga aktivitas Haris membaca buku di meja tamu.
"Hei, No. Kemari." Tanpa takut Juno berjalan mendekati Haris. "Ini susu kotak kamu. Temani Kakek sebentar di sini," pinta Haris sembari memberikan satu kotak susu bergambar kartun sapi.
"Baik, Kek."
"Kamu masih penasaran nggak kenapa Sivan bisa sakit?" bahas Haris.
"I-iya, Kek. Dari dulu Juno ingin tanya tapi takut."
"Mau Kakek kasih tahu sekarang?" Haris mengacak lembut rambut-rambut Juno. Mendengar Haris tertawa, Juno mencoba lebih berani.
"Juno udah cukup besar, Kek?"
"Sudah."
Detik itu juga rasa penasaran Juno mencapai titik tertinggi.
"Yang bikin Sivan sakit adalah Evan. Dia ayah Sivan."
"Ayah nggak pernah jahat sama aku, padahal aku bukan anak kandungnya. Kok, ayahnya Sivan bisa nyakitin Sivan, Kek?"
"Dia membunuh Mama Sivan." Aliran-aliran listrik merayapi kedua tubuh mereka. Baru kali ini Juno merasakan ketakutan luar biasa. Wajah anak delapan tahun itu memucat menatap senyuman seekor sapi pada kotak susu. Kakek menunduk, tak menyesali sedikitpun atas sebuah kebohongan yang sengaja ia keluarkan.
"Nama lengkapnya Evan Mahaputra. Waktu itu, Evan sengaja melanggar sumpahnya. Ia meninggalkan Sivan dan Mamanya berdua di rumah. Suatu malam rumah mereka diserbu perampok. Mama Sivan tertembak dan terluka parah. Nyawanya tidak bisa diselamatkan. Sivan menyaksikan kejadian Mamanya tertembak dan tewas di depan mata kepalanya sendiri.
Sivan syok berat. Tidak mau bicara, tidak mau makan, tidak mau tidur. Yang Sivan lakukan adalah melamun setiap hari. Sampai suatu hari, Sivan beberapa kali pingsan di kamar Sinta. Kakek dan Nenek membawa Sivan ke rumah sakit. Dokter mengatakan Sivan trauma berat dan syok yang dialaminya mengenai salah satu syaraf motorik di otaknya. Setelah Sivan sadar, ia tidak kuat berjalan lama.
Tolong jangan membahas apapun tentang Sinta dan Evan di depan Sivan, ya? Traumanya masih sering kambuh jika mengingatnya."
Juno mengangguk cepat. "Jahat sekali. Seharusnya, Ayah Sivan nggak meninggalkan Sivan dan Mama sendirian di rumah."
"Semuanya memang salah dia. Karena itu, aku tidak akan pernah mengizinkan Sivan bertemu lagi dengan ayahnya dan membawa Sivan tinggal di Yogya."
Tiga tahun yang lalu ....
Juno mengambil tanpa permisi secarik kertas yang tengah dicoret Sivan menggunakan tinta hitam. Sivan yang sudah hafal dengan keusilan sang sahabat hanya bisa mengembuskan napas lelah. Mereka berdua berada di UKS. Di tengah-tengah proses pembelajaran Bahasa Indonesia, Sivan tiba-tiba terserang demam. Juno sigap membawanya ke UKS. Selama mendapatkan penanganan perut Sivan bertubui-tubi berbunyi. Juno kembali sigap mengantri makanan di kantin. Ia baru saja kembali dari sana.
"Jadi, ini yang kamu lakuin selama aku pergi ke kantin?" Juno menyipitkan mata jahil ke wajah pucat Sivan. Sivan malas tertarik pada pertanyaan sahabatnya, kembali berbaring di atas ranjang. Juno duduk di samping Sivan berbaring. Wajah khawatirnya menyala terang.
"Kenapa, Siv? Sakitnya datang lagi?"
"Nggak. Aku cuma ngantuk," bohongnya. Kepalanya masih berdenyut nyeri. Bahkan tadi sempat mimisan sedikit. Sivan membersihkannya terburu-buru. Ia menghabiskan setengah persediaan tisyu UKS untuk menghilangkan darah di hidungnya. Sivan tak ingin Juno bersedih melihat keadaannya.
"Puisinya bagus. Untuk siapa kamu membuatnya?" Juno meluncurkan pertanyaan kedua dan mengembalikan kertas di meja yang menampung teh hangat.
"Untuk Ibu Fitri, lah. Siapa lagi."
"Ya Tuhan, ampunilah sahabatku. Siapa yang ngajarin kamu suka ibu-ibu, Siv? Kasih tahu aku! Biar aku aduin ke Kakek kamu." Sivan mencubit lemah lengan kiri Juno. Sang pemilik lengan pura-pura kesakitan.
"Bukan suka Bu Fitri. Tapi, tugas Bu Fitri. Baru aja tadi Bu Fitri kasih kita tugas membuat puisi. Masa kamu udah lupa, sih?"
"Pelajaran Bahasa Indonesia adalah pelajaran yang mudah aku lupain."
"Terserah." Sivan memejam.
"Eh, jangan tidur. Ayo dimakan dan diminum dulu. Mumpung masih fresh dari kantin, Siv. Nih, aku kasih bonus susu kotak sapi rasa cokelat kesukaanmu."
"Ngantuk banget, No."
"Ish, kebiasaan. Aku habiskan semuanya, lho."
"Makasih."
"Masama."
"Bukan. Bukan soal makanan dan minuman yang kamu beli." Juno menaikkan kedua alisnya.
"Makasih udah mau jadi sahabatku dan makasih buat semua hal yang udah kamu lakuin ke aku. Kalau waktu itu layang-layang kamu nggak mendarat di halaman rumah Kakekku. Mungkin sampai sekarang aku nggak akan bisa sekolah."
"Mulai, mulai. Kebiasaan kalau sakit suka bahas masa lalu."
"Kalau bisa, aku mau bilang makasih ke kamu seribu kali setiap hari. Tapi,kayaknya nggak bakal bisa."
"Iyalah. Gila kali bilang makasih seribu kali sehari."
"Puisi itu buat kamu, No. Nggak jadi aku kumpulin ke Bu Fitri. Disimpan ya ...." Sivan mengambil udara untuk terakhir kalinya. Kedua matanya kembali menutup dengan gerakan pelan. Juno melirik wajah Sivan, memastikan sahabatnya benar-benar terlelap. Ia mengambil bolpoin yang dipakai Sivan untuk menulis puisi. Punggungnya melengkung. Menggunakan pahanya untuk menulis. Ia menambahkan satu bait puisi di bawah tulisan tangan Sivan.
Sejak kamu datang dan hadir di hadapanku
Segala-galanya terlihat indah
Gelap, takut, air mata, kesedihan
Kamu bisa hilangkan itu semua
Sejak aku datang dan muncul di hadapanmu
Segala-galanya terlihat berbeda
Senyum, tawa, bahagia, candaan
Kamu membuatku sadar semua itu berharga
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...