"Halo, Pak Evan. Apa kabar?" sapa Anita ramah.
"Berani juga kamu datang ke sini," ejek Evan tersenyum miring. Anita terkekeh garing.
"Sebenarnya nggak berani. Tapi, karena ada sesuatu hal yang sangat, sangat, sangat penting, aku nekat memberanikan diri ke sini."
"Ada apa? Apa ada hubungannya sama Sivan? Apa anakku sakit lagi?" duga Evan. Anita mengangguk pasrah. Tidak ada gunanya juga ia berbasa-basi di depan ayah seposesif Evan.Pria itu puas dugaannya benar.
"Beritahu aku semuanya!" tanpa sadar Evan membentak. Anita membuka map biru laut yang sedari tadi berada di atas paha. Tiga buah kertas putih berukuran panjang dikeluarkannya bersamaan dari dalam map. Evan menatap sinis kertas-kertas itu sampai mendarat di atas meja. Tabel dengan nama-nama asing dan angka tidak berurutan membuat alis Evan menukik tajam.
"Anemia aplastik. Putramu menderita penyakit itu. Aku turut prihatin ...." parau Anita hampir tidak terdengar. Evan berhenti membaca. Mata marahnya menghasilkan ekspresi kepanikan mendengar perkataan Anita. Jari-jari Evan meremas-remas kertas hasil lab. Tidak tahan ingin merobeknya.
"Keadaan Sivan sekarang ... bagaimana?" tanya Evan terdengar gugup.
Anita menutup mulutnya sebentar mengumpulkan keberanian untuk menjelaskan. Ia khawatir Evan akan mengamuk.
"Hei, kenapa diam! Aku tanya bagaimana keadaan putraku sekarang! Apa dia dirawat di rumah sakit? Apa keadaannya sudah sangat parah?" Dua petugas sipir menoleh mendengar pertanyaan ganas Evan.
"Sivan masih di rumah. Juno menemaninya setiap hari. Aku juga akan rutin memantau kondisi Sivan mulai hari ini. Semenjak Neneknya meninggal, putramu tidak mau bicara. Kata Juno, dia kembali menjadi Sivan waktu kecil."
Evan sukses meremat tiga kertas yang masih ia bawa. Ingin rasanya ia menyobek menjadi dua dan menghancurkannya jika dokter di depannya bukan Anita.
"Tenang, Pak Evan. Ayah mertua kamu sudah memanggil psikiater yang menangani Sivan dulu. Kamu harus yakin Sivan bisa sembuh untuk kedua kalinya," tenang Anita.
"Penyakit yang sekarang menyerang Sivan. Apa kamu bisa menyembuhkannya?"
"Aku mempunyai rekan kerja. Dia dokter dan mengenal banyak dokter spesialis penyakit dalam. Aku yakin dia bisa membantu menyembuhkan Sivan. Untuk sekarang, kami akan memberikan Sivan obat-obatan rutin dan transfusi darah apabila diperlukan. Jika keadaannya memburuk, Sivan akan langsung aku rujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut," jelas Anita tetap tenang.
"Aku mempercayaimu. Lakukan segala cara untuk putraku ...." Pikiran Evan tidak bisa dikendalikan. Kedua tangan terbogolnya tanda sadar bergerak menggenggam telapak tangan kanan dingin Anita.
"Tolong sembuhkan, Sivan. Kalau aku kehilangan dia juga, aku pasti menjadi gila." Anita membalas genggaman Evan. Menyelimuti kedua punggung tangan Evan menggunakan tangan kirinya. Sembari memberikan kekuatan, rambut kecokelatan dokter itu berayun.
"Kami akan melakukan segala cara sebaik mungkin."
"Terima kasih. Aku akan memberikan apa pun yang kalian inginkan jika Sivan berhasil sembuh." Evan menarik pergelangan tangan Anita. Membuat kepala dokter itu maju terlalu jauh. Wajahnya hampir menubruk hidung Evan. Kedua mata elang Evan menyala tajam. Bagai lampu sorot yang tiba-tiba hidup. Membidik sadis kedua mata Anita. Debaran-debaran aneh menusuk jantung dokter berkemeja kelabu. Menyebabkannya mendadak tidak bisa menggerakan lidah.
"Jika aku dan rekanku berhasil membantu Sivan untuk sembuh. Aku minta kamu langsung menemui Sivan dan kamu harus berhasil membawa Sivan pulang ke Jakarta. Kesempatan tidak datang tiga kali, Van."
"Itu sudah pasti aku lakukan." Evan mengakhiri genggamannya. Anita melihat nanar telapak berotot pria idaman di depannya terlepas. Jari-jari lentiknya kembali sendirian. Padahal rasa kehangatan baru saja sampai dan membuai kedalamam hati Anita. Dua makhluk dewasa itu kemudian membisu. Menjelma menjadi patung hidup saling berhadap-hadapan.
"Aku ...," ucap Evan dan Anita bertabrakan. "Kamu duluan," ujar Anita mengusir poninya ke samping.
"Tidak, perempuan yang harus serba duluan." Evan mengalah.
"Tidak, kamu saja!" Anita tidak mau menerima.
"Aku cuma ingin memastikan keahlianmu menangani pasien. Ceritakan sekilas pengalaman kerjamu di rumah sakit."
"Tapi, tadi kamu bilang sudah mempercayaiku?"
"Ya, lima puluh persen." Mulut Anita mengerucut. "Ditambah dua puluh persen, karena kamu berhasil menolong putraku dua kali," tambah Evan tersenyum tampan.
"Aku bukannya meragukanmu. Waktu kecil, aku kehilangan ibuku karena kelalaian tenaga medis. Sejak saat itu aku tidak percaya pada dokter-dokter muda dan tidak mau sembarangan berobat ke rumah sakit. Aku selalu memastikan dulu rumah sakit itu mempunyai dokter-dokter dan perawat terbaik."
Anita terkikik mendengar cerita Evan. Ia teringat teriakan panik dan pertanyaan-pertanyaan konyol Evan di klinik.
"Kenapa tertawa? Ceritaku ini menyedihkan, bukan candaan!" gerutu Evan tak terima. Ia ingin menggebrak meja kalau saja di depannya bukan perempuan. Sejak ibunya meninggal, Evan tidak tega melakukan kekerasan kepada makhluk yang sebagian besar berambut panjang itu. Wanita berambut panjang tak pernah gagal mengingatkannya kepada wajah ibu.
"Maaf, ya. Bukan maksud aku seperti itu. Ngomong-ngomong ini pertama kalinya kita membicarakan tentang keluarga. Selama ini, kita lebih banyak diam satu sama lain."
"Aku tidak pernah suka membicarakan keluarga."
"Kenapa?"
"Karena mereka selalu meninggalkanku dengan cara yang tidak pernah aku suka."
Seekor burung elang menemani perjalanan sepeda motor Juno berhenti di halaman rumah Kakek Sivan. Juno mengenakan jaket cokelat dan sepatu olahraga berwarna hitam. Kedua benda itu diberikan sekaligus oleh Sivan di tahun Juno berusia enam belas tahun. Juno sengaja jarang memakainya. Saking bahagianya, ia ingin menyimpan semua pemberian Sivan sebagai barang berharga. Khusus hari ini, ia ingin memakainya.
Selembar kertas berwarna kuning termakan usia. Dibuka Juno perlahan-lahan saat menemani Sivan di balkon kamar. Terlihat masih rapi meskipun mendapat empat tekukan. Juno tidak menekuknya banyak ketika menyiman di dalam kotak berisi barang-barang kenangan. Delapan kalimat dengan kata-kata indah mengisi permukaan kertas. Empat baris atas tulisan Sivan dan empat baris bawah tulisan Juno. Sebuah puisi kenangan saat mereka duduk di bangku SMP.
Juno menekuk lutut di depan kursi roda Sivan. "Dulu waktu kita SMP, kamu sakit di UKS dan tiba-tiba membuatkanku puisi ini, Siv. Ingat nggak? Aku nambahin empat baris puisi lagi di bawahnya." Meskipun tidak menjawab apa-apa, Juno yakin kalimatnya bisa masuk di telinga Sivan.
"Dengar, ya. Aku akan membacakannya." Ia mengelus kedua kaki Sivan lalu berdiri. Juno membiarkan jaket cokelatnya. Ia ingin Sivan mengingat hal-hal menyenangkan melalui jaket itu, lalu berbicara. Bola mata Sivan berhasil menatap lama jaket cokelat hasil tabungannya untuk Juno. Namun, ia tak merasakan apa pun.
Rasanya, Juno ingin berteriak membabi buta. Menyalahkan semua orang yang sudah melukai sang sahabat kedua kalinya. Ia mulai membacakan puisi dengan suara pecah-pecah. Lapisan di matanya membengkak merah. Tak lama air mata Juno berjatuhan. Tubuhnya meluruh di depan kursi roda. Menyatukan erat kedua kaki sahabatnya. Meloloskan isakan demi isakan yang sempat tertahan di sana. Burung elang setia menemani Juno. Hinggap di salah satu cabang pohon beringin yang tumbuh di seberang jalan. Burung itu mendengar tangisan Juno dari atas pohon dengan kepala menunduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...