32.

452 57 18
                                    

Warna biru yang mendominasi kamar luas itu memberi efek menenangkan. Temaram lampu tidur yang redup, perlahan-lahan menuntun Sivan meninggalkan dunia sementara. Pemandangan indah alam mimpi yang mulai tercetak terusik gema suara yang seperti terkubur di tanah. Ritme getaran-getarannya membuat tubuh Sivan tak nyaman. Hingga sekejab kemudian membuka paksa penglihatannya. Getaran suara itu terdengar lebih keras saat tubuhnya dimiringkan ke arah kanan.

Tubuh yang masih lemas membuat Sivan tak bisa cepat meraih gawainya. Jari-jatinya butuh waktu lama hanya untuk menggenggam, lalu menempelkannya di telinga.

"Ya?" gumam Sivan pada seseorang yang segera menyambutnya dengan pertanyaan-pertanyaan menggelegar.

"Halo, Siv! Sivan! Gimana keadaan kamu? Udah mendingan? Besok udah bisa berangkat ke pengungsian?"

"Menurutmu?" Sivan mendesah lelah.

"Nggak jelas suaranya!"

"Apa suaraku menunjukkan bahwa aku udah kuat bangun dari tempat tidur?"

"Kamu nggak bisa bangun dari tempat tidur, Siv?"

"Bangun, sih, bisa. Tapi, buat jalan masih nggak kuat."

"Ya udah. Kamu istirahat dulu di rumah! Berangkat lagi kalau udah benar-benar sembuh dan kuat!"

"Iya, No. Thanks, ya, udah nanyain."

"Besok malam aku telepon lagi, ya. Kalau pagi sampai sore aku sibuk!"

"Dih, sok sibuk banget ...."

"Bye!"

Jemarinya tak mengantar gawai kembali ke nakas. Namun, dibaringkan di samping bantal. Si kunyuk Juno memang akan sering menelepon ketika dirinya tidak baik-baik saja. Hal itu selalu rutin dilakukan remaja itu sejak mendapatkan handphone baru dari kedua orang tua angkatnya. Sivan merasa beruntung dipertemukan manusia random seperti Juno. Pemuda jangkung itu adalah salah satu makhluk berjasa yang membuatnya keluar dari zona gelap. Senyum dan tingkah aneh Juno tak pernah gagal menaikkan kedua ujung bibirnya.

Andai dulu Juno tidak berani masuk ke pekarangan rumah Kakek seperti maling, mungkin Sivan masih menggunakan kursi roda sekarang. Andai Juno menyerah mengajaknya bicara dan tak mau bermain dengannya, mungkin garis bibir Sivan akan terus datar. Andai Juno tak pernah mengajaknya bermain layang-layang, mungkin Sivan tak pernah bisa menikmati kebebasan.

Sembilan tahun lalu ....

Punggung kurus yang selalu bersandar lemah itu. Wajah putih pucat tanpa senyum itu. Hembusan napas berat yang tidak pernah terdengar itu. Juno tidak akan pernah membiarkan semua itu kembali lagi pada Sivan. Selama hampir sepuluh tahun, ia mati-matian berusaha setiap hari untuk menggandeng tangan Sivan. Mengajaknya melangkah pelan-pelan. Sedikit demi sedikit meninggalkan kesedihan yang membelenggunya.

Juno ingin menjadi kakak Sivan. Keinginan itu mendadak muncul sewaktu bertemu Sivan pertama kali. Musim kemarau waktu itu, Juno harus lebih jauh berlari mengejar layang-layang kesayangannya yang tiba-tiba putus. Layang-layang itu bergerak seperti ular dibawa angin, hingga turun dan mendarat di sebuah halaman rumah biru berlantai dua. Halaman rumah Kakek Sivan waktu itu sedang dipenuhi bunga matahari yang sangat cantik.

Beberapa kali Juno mengucap salam, tidak ada yang menjawab. Waktu semakin sore memaksa Juno nekat masuk ke halaman rumah untuk mengambil layang-layang. Melangkah dengan mengendap-endap, ia berhasil menemukan layang-layang bergambar kepala Ultraman kesayangannya. Layang-layang itu tidak jatuh di tanah atau di rerumputan hijau yang menyelimuti halaman. Melainkan mendarat di atas pangkuan anak kecil yang sedang duduk di kursi roda.

Anak itu terlihat diam saja, seperti robot rusak tidak bergerak. Meskipun layang-layang Juno berada di pangkuannya, kepalanya tetap menghadap ke depan. Juno disergap penasaran, segera mendekatinya.

"Hai," Juno menyapa ceria Sivan tanpa menyadari wajah pucatnya.

"Anu, aku Juno. Tadi, layang-layangku jatuh di halaman rumahmu dan itu layang-layangku," lanjut Juno sambil menunjuk layang-layang miliknya. Sivan tetap diam. Mata sayu tidak berbinarnya menatap lurus ke depan. Tidak kunjung mendapatkan jawaban, Juno memberanikan diri menatap wajah anak kecil di depannya. Ia membungkukkan badan sedikit untuk mengunci kedua mata Sivan.

Perasaan sedih menghujam hati Juno. Baru pertama kali ini, ia melihat wajah murung yang membuatnya sampai ingin menangis. Wajah murung Sivan bahkan lebih mengerikan dari wajah kakak angkat perempuannya ketika menangis. Juno tak pernah bertemu anak dengan wajah menyedihkan seperti ini sebelumnya. Selama ini, ia dikelilingi teman-teman bahagia yang selalu membuatnya tertawa.

Juno memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Menggunakan cara itu untuk menahan perpecahan air mata. Sivan mengedip lemah menatap kosong wajah Juno beberapa senti di depannya.

"Kamu sedang sakit, ya? Ka ... kalau kamu mau ambil aja. Layang-layang itu aku berikan buat kamu," ucap Juno dengan napas bergetar.

Selain ingin menangis, Juno juga ingin memberikan sesuatu untuk anak berkursi roda itu. Beruntung layang-layang kesayangannya mendarat di sini. Pelan-pelan Juno memberanikan diri menyentuh punggung tangan Sivan. Tubuhnya kembali tersentak, telapak tangan Sivan terasa sangat dingin seperti air hujan. Juno semakin mengkhawatirkan anak kecil asing yang beberapa menit baru dilihatnya.

"Kamu sakit apa? Cepat sembuh, ya." Sivan mulai menyadari sosok di depannya bukan Nenek. Wajahnya nampak gelisah, menatap ketakutan layang-layang di atas selimut yang menutupi kakinya. Sivan memegang pelan layang-layang Juno dan mulai menangis.

"Kok, kamu menangis?" Juno refleks menjatuhkan kedua lutut di depan Sivan. Untuk melihat lebih jelas wajahnya, karena kepala Sivan semakin menunduk.

"Hai, ada apa? Kenapa kamu nangis?"

Juno teringat cara kakak angkat perempuan menghiburnya ketika ia bersedih. Ia mulai memasukkan kedua jari telunjukkan di kedua ujung bibir dan menariknya. Mulutnya sukses melengkung panjang. Membentuk seperti bulan setengah. Tidak lupa, Juno juga menjulurkan lidahnya. Wajah Juno sepenuhnya terlihat konyol seperti badut. Tangisan Sivan justru semakin kencang. Jantung Juno berdebar hebat karena khawatir.

"Ada apa ini!!!" Kakek terlihat berjalan cepat, keluar dari pintu teras di samping rumah. Di belakangnya, Nenek berjalan tergopoh-gopoh. Berusaha sekuat tenaga menyamakan kecepatan Kakek berjalan. Mereka berdua sama-sama kaget mendengar suara tangisan Sivan dari dalam rumah. Nenek langsung mematikan kompor, sementara Kakek memutus sambungan teleponnya dengan Hendra yang setiap hari menanyakan keadaan Sivan.

"Pak, tenang. Tidak perlu membentak-bentak," bujuk Nenek sambil memegang lengan Kakek. Juno ketakutan melihat wajah garang dan suara marah Kakek Sivan. Ia masih terduduk sambil mengelus kedua kaki Sivan. Juno mengira Sivan menangis karena kedua kakinya sakit. Tanpa sadar Juno ikut menangis.

"Apa yang kamu lakukan?" pertanyaan kedua Kakek menyadarkan Juno. Bocah delapan tahun itu berdiri untuk membungkuk sopan di depan Kakek dan Nenek Sivan.

"Selamat siang. Saya Juno. Maaf, tadi saya mengejar layang-layang. Layang-layang saya turun di halaman rumah Bapak. Saya sudah mengucap salam tapi tidak ada yang menjawab. Jadi, saya masuk ke halaman rumah Bapak," jelas Juno terisak-isak.

"Masuk ke halaman rumah orang tanpa ada pemiliknya itu perbuatan tidak sopan!"

"Pak, jangan kasar sama anak kecil. Dia cuma mau mengambil layang-layang." Nenek mencoba mengambil layang-layang dari kedua tangan Sivan. Ia berusaha melepaskan satu per satu jari-jari bergetar Sivan dari tubuh layang-layang milik Juno. Namun, jari-jari Sivan justru kembali erat menggenggamnya hingga salah satu bagian robek. Juno semakin kasihan melihat Sivan mempertahankan layang-layang pemberiannya.

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang