Setiap penyeberangan lampu merah atau melihat tanda putar arah, Evan berhenti untuk mengendalikan perjalanan udara menuju paru-parunya. Hujan hanya menemaninya selama tiga puluh menit pelarian. Ia datang secara cepat dan tiba-tiba, namun menghilang seperti tidak pernah ada. Evan sempat kebingungan. Satu kali menengadahkan wajah ke langit. Memastikan hujan benar-benar selesai. Bukan berhenti mengguyur untuk manjatuhkan air hujan baru.
Tiga puluh menit selanjutnya, tubuh tegap Evan terguyur semburat kekuningan. Cukup menghangatkan tubuh Evan yang mulai kedinginan. Namun, cahaya itu tak begitu ampuh membuat baju dan celana basah Evan mengering seperti semula. Hawa sekitar mulai terasa aneh. Cahaya senja dengan jalan-jalan basah menimbulkan suasana tidak biasa. Sisa-sisa bau petrichor merasuki indera penciuman Evan ketika dirinya berjumpa pepohonan.
"Sivan ...." Nama itu tidak pernah putus Evan dengungkan di dalam hati. Setiap kali ia menambah kecepatan berlari, maka intonasinya terdengar semakin tinggi. Satu kilometer lagi, Evan sampai di rumah sakit tempat sang putra dirawat. Sebuah rumah sakit daerah yang sudah beroperasi puluhan tahun di Yogyakarta.
"Kenapa Sivan harus berada di dalam ruangan itu, Dokter?" protes Juno, membuka botol air mineral 300 ml yang selama satu jam ia genggam. Sambil menunggu Anita mengeluarkan penjelasannya, ia menghilangkan air di dalam botol itu dan menyisakan setengahnya saja. Anita menghentikan tarian jari di layar gawai, lalu melempar senyuman ke wajah Juno.
"Kamu pasti khawatir sekali, ya?" Bibir Anita kembali tersenyum tulus karena handphone Evan telah aktif. Evan mengirim pesan melalui WA Anita. Memberitahukan perjalanan berlarinya ke rumah sakit kepada dokter tiga puluh tahun itu. Setelah membaca pesan, Anita tak berhenti mengucap syukur pun hatinya merasa sejuk. Ia jadi ingin tersenyum kepada orang-orang yang lalu lalang di depannya.
"Udah jelas," Juno menjawab lesu. Tidak ceria seperti biasanya. Semenjak Sivan sakit, Juno seperti kehilangan semangat hidup. Ia menjadi sosok remaja kelas tiga SMA yang bebeda. Pendiam dan murung namun terlihat lebih dewasa.
"Ruangan itu adalah ruangan khusus untuk pasien seperti Sivan. Penyakit yang diderita Sivan rentan terhadap infeksi. Jadi, Sivan harus berada di ruangan itu untuk mencegah terjadinya infeksi yang dapat menyebabkan komplikasi." Dengan senang hati Anita menata kalimat yang mudah dipahami orang awam. Juno mengangguk walau tak paham. Ia ingin menghargai ucapan berharga yang keluar dari bibir kering Anita.
"Tapi, ruangan itu membuat Sivan jadi kelihatan seperti pasien parah, Dok." Juno masih tidak terima Sivan menjadi orang baru yang menghuni ruangan itu. Kalau saja Juno diperbolehkan ikut masuk.
"Tenang aja. Svan hanya sementara berada di sana. Jika hasil tes kecocokannya sudah keluar, ia akan langsung menjalani transplantasi sumsum tulang belakang lalu bisa segera kembali ke ruang rawat inap biasa," tambah Anita tanpa menyudahi lengkungan di bibirnya. Jawaban kedua Anita menambah sedikit kesegaran di tengah kepungan suasana penat rumah sakit.
"Itu semakin menakutkan." Lagi dan lagi pembicaraan dua Kakek hadir kembali. Perihal rencana Kakek membawa Sivan pergi ke Jepang menjadi topik yang memenuhi kepala Juno berhari-hari. Menghancurkan kemampuan tidur cepatnya hampir setiap hari. Terlalu menyedihkan membuatnya memilih untuk menahannya sendirian. Juno tidak ingin menambah beban untuk semua orang terutama Evan. Ia tak ingin membuat suasana menjadi semakin runyam.
"Berdoa saja yang terbaik untuk Sivan. Kamu percaya Sivan bisa menang, kan?" hibur Anita.
"Aku harap dia nggak nyerah. Kalau Sivan sembuh, aku akan memberikan apa pun keinginan yang keluar dari mulutnya. Meskipun itu aneh-aneh." Juno kelihatan berjanji secara sungguh-sungguh.
"Harusnya dari dulu aku udah tahu ada yang nggak beres sama Sivan," tuturnya menaikkan sebelah alis Anita.
"Kamu pernah melihat Sivan sakit?"
"Sejak kecil ia gampang sakit, Dok. Tiap upacara sekolah sering pingsan. Sebelum separah ini beberapa kali aku sempat melihat Sivan mimisan."
"Maaf, tapi semua yang kamu katakan memang termasuk gejala-gejala penyakit yang diderita Sivan," sedih Anita ikut menyesal. Apabila Sivan sampai tak bisa bertahan rasa sesal itu kemungkinan akan menghantuinya selamanya. Sama seperti saat ia tak bisa menyelamatkan nyawa-nyawa pasien yang ditanganinya. Walaupun semua terjadi atas izin Tuhan, Anita membutuhkan waktu lama untuk bisa terlepas dari perasaan bersalahnya.
Pandangan Juno merayap ke permukaan jendela kaca yang membatasi dirinya dan sahabat tercinta. Entah mendapat bisikan dari mana ia ingin mengubahnya menjadi berkeping-keping. Juno bangkit berdiri di depan kaca. Melihat wajah lemah Sivan, telapak tangan berkeringat Juno menghantam kaca cukup keras. Selain ingin menghancurkan jendela yang memisahkannya dengan Sivan, Juno juga ingin menyingkirkan selang oksigen dan mencabut selang-selang lain yang tertanam di lengan sahabatnya.
Kakek mengelap barisan keriput di keningnya dengan kasar. Di sampingnya, Renjana menatap langit sambil sesekali merapalkan sesuatu. Mereka berdua menenangkan diri masing-masing. Duduk di kursi panjang rumah sakit. Mereka sama-sama berwajah tidak bahagia. Mereka berdua sama-sama mendengar kenyataan menyakitkan dari dokter yang menangani Sivan. Hasil tes kecocokkan sudah keluar. Tidak ada satu pun sumsum tulang belakang mereka yang dinyatakan layak untuk didonorkan. Usia dan penyakit bawaan adalah salah satu faktor penyebabnya. Kakek dan Renjana telah gagal menjadi penyelamat.
Langit sore menyisakan gumpalan kecil awan mendung sisa badai hujan. Terlihat cerah dan indah seperti wajah perempuan cantik habis menangis. Kontras dengan pemandangan di bangku panjang sisi rumah sakit. Penampakan dua kakek itu tampak semakin menyedihkan.
"Tidak ada pilihan lain. Kali ini tolong turunkan sedikit egomu," permintaan Renjana kepada kakaknya. Kakek sedikit terpancing pada perkataan sang adik. Ia tahu ke mana kalimat Renjana mengarahkannya.
"Apa maksud kamu berkata seperti itu?" sergah Kakek.
"Kenyataannya kita bukanlah satu-satunya keluarga Sivan. Dia masih mempunyai seorang ayah." Renjana mengatakannya dengan lancar. Wajah sedih Kakek menampakkan emosi tidak terima.
"Masih ada Juno. Dia pasti bersedia menolong Sivan."
"Juno masih terlalu muda. Aku sendiri saja tidak tega."
"Kemarin, dokter itu tidak membahas soal umur."
"Kamu yakin orang tua Juno setuju? Kalau aku di posisi orang tua Juno, aku tidak akan mengizinkan putraku melakukan itu. Bahkan dengan tawaran uang jutaan sekalipun." Kakek tidak menghentikan sementara pembicaraan. Diam dengan wajah marah yang tetap tak mereda. Renjana sekali lagi menemui langit. Mencari kalimat apa lagi untuk membujuk kakaknya. Kebiasaan sejak kecil itu tidak pernah hilang sampai sekarang.
"Aku mohon kurangi sedikit saja. Satu persen tidak apa-apa. Sebelum semuanya terlambat. Atau, kita akan kehilangan Sivan selamanya." Hati Kakek tertusuk sesuatu akibat kalimat terakhir yang diutarakan oleh Renjana. Sudah seharusnya Kakek mengendurkan egonya sejak lama.
Dari sisi kanan muncul brankar didorong dua perawat. Kecepatan rodanya berputar kencang kencang. Di atasnya, tergeletak seorang wanita dengan badan penuh luka akibat kecelakaan. Brankar itu meluncur di depan Kakek dan Renjana. Tubuh wanita berdarah itu seketika berubah menjadi tubuh Sinta saat dinyatakan meninggal. Kakek menepuk keningnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...