Sebenarnya, Evan punya sebuah rencana. Bukan rencana yang ingin ia simpan sendirian. Bukan pula rencana yang mengandung sesuatu hal besar. Ia telah memikirkan dan mendesain rencana ini sangat lama. Bahkan, sebelum Sivan berhasil kembali dalam dekapannya. Sampai sekarang, Evan belum ada niatan untuk memberitahu semua orang. Rencana itu sempat Evan kubur begitu dalam, karena pertemuannya dengan Sivan adalah puncak dari segalanya.
Gara-gara tidak sengaja melihat sebuah video singkat di layar HP Juno, rencana itu bangkit dari dalam kuburan di pikiran Evan. Video singkat berdurasi tidak sampai satu menit itu berhasil membuat api semangat Evan menyala dengan sendirinya. Apalagi Sivan diharuskan istirahat total beberapa hari ke depan. Ia juga terpaksa mengikuti ujian akhir semester di rumah dan ujian susulan, karena ada beberapa dosen enggan memberikan keringanan.
Evan merasa tidak boleh melewatkan kesempatan ini begitu saja. Di sela-sela waktu menjaga Sivan, ia sempatkan membuka layar HP miliknya. Mengusap-usap hingga sampai ke ikon sebuah aplikasi belanja online berwarna hijau. Evan melihat semua barang yang telah ia masukkan ke dalam keranjang. Ia menekan kolom centang pada satu per satu barang dan tanpa pikir panjang check out saat itu juga.
"Terima kasih." Sivan menerima kebaikan Evan mengambilkan gelas untuknya, padahal letaknya hanya empat puluh sentimeter dari ranjang.
"Lain kali kalau tidak enak badan jangan maksa bekerja," titah Evan.
"Iya. Maaf, Ayah."
"Ayah sudah menelepon dosen yang kemarin ngotot tidak memberimu izin ujian di rumah. Kata Janu, barusan dia berubah pikiran. Soal ujiannya sedang diambilkan Juno sekarang." Evan mengatakan itu dengan berat karena teringat gaya bicara dosen yang terkesan arogan.
"Ayah, lain kali jangan pakai cara kotor," imbau Sivan.
"Cara kotor apa? Dosenmu itu tidak berperikemanusiaan. Sudah dikasih surat keterangan dokter, tapi tetap tidak mengizinkan kamu ikut ujian susulan."
"Dari dulu Ayah tidak berubah, ya." Sivan membelokkan pembicaraan ke arah lain. "Selalu menggebu-nggebu kalau membela kebenaran," lanjut Sivan.
"Ayah tidak membela kebenaran. Ayah membela putra Ayah."
"Iya, iya, iya. Nggak usah ngegas. Aku udah pulang. Tenang, Yah. Tenang."
Evan melihat Sivan menghabiskan air di dalam gelas yang tadi dia ambilkan dari atas meja. Ia mengulurkan tangan, meminta Sivan menyerahkan gelas kembali kepadanya. Sivan justru mendekap gelas bening itu di atas kedua kaki yang berjam-jam tenggelam dalam selimut tebal.
"Aku boleh tanya, Yah?" sulut Sivan.
"Tanya apa?"
"Tapi, janji jangan marah, ya."
"Katakan saja, Ayah tidak akan marah."
"Dulu waktu aku dibawa Kakek ke Yogya, bagaimana hari-hari Ayah selanjutnya?"
Evan tidak buru-buru menjawab. Kaget dengan pertanyaan yang Evan pikir tidak akan keluar dari mulut Sivan. Sivan juga berpikir demikian. Ia ingin bertanya ini sejak takdir kembali mempertemukan mereka. Sivan tidak marah, ia sudah menganggap perpisahannya selama sepuluh tahun dengan ayahnya adalah takdir Tuhan yang membawa serta anugerah. Buktinya, sekarang ia bisa berkumpul lagi dengan Evan. Kasih sayang Evan pun tidak pernah berubah kepadanya.
"Maksudku, Ayah ngapain aja setelah aku pergi? Aku cuma penasaran."
"Ayah ...." Evan ingin mengatakan jika tidak pernah bisa tidur karena setiap malam teringat Sivan, tidak nafsu makan setiap kali melihat makanan yang pernah Sivan makan, tidak bersemangat menjalani kehidupan. Namun, membayangkan Sivan yang lebih terluka membuat bibirnya tetap bungkam.
Harusnya dia mengatakan semuanya. Sejujurnya. Evan memegang tangan Sivan yang masih menggengam gelas. Ia berucap pelan, "Ayah berjanji akan menebus semuanya."
"Nggak perlu, Ayah. Aku yang harus menebus semuanya. Anak harus berbakti kepada orangtua."
Tapi, ayah bukan ayah yang baik, Sivan.
"Sivan, kamu masih marah sama ayah?"
"Maaf, Yah. Mungkin efek obat. Aku mengantuk mau tidur."
"Jangan tidur dulu. Ayah juga mau bertanya."
"Bertanya soal apa?"
"Selama sepuluh tahun ini, apa ada sesuatu atau barang yang kamu inginkan? Ayah akan membelikan semuanya."
"Ada."
"Katakan kepada Ayah."
"Bertemu Ayah. Itu sudah semuanya."
Video seorang ayah yang memberikan hadiah ulang tahun kepada putranya terus berputar di pikiran Evan dan membuat kedua matanya tidak bisa memejam beristirahat. Ia iri dengan sosok ayah di video yang membelikan hadiah sesuai dengan apa yang benar-benar diinginkan anaknya. Berbeda dengan Evan yang sampai saat ini masih mempelajari ulang hal-hal apa saja yang disukai Sivan.
Evan mengecek beberapa kali sampai manakah paket yang telah dalam proses pengiriman. Ia sudah menerka-nerka banyak kemungkinan yang akan terjadi ketika semua paket itu datang. Evan berharap paket-paket itu tidak datang satu hari bersamaan. Jika itu sampai terjadi, ia akan segera memerintahkan Janu untuk perjalanan bisnis ke luar kota. Kupingnya akan kepanasan jika Janu mengetahui semua barang yang dibelinya.
Kamar Sivan mempunyai jendela seukuran dengan gorden putih yang menjuntai sampai ke bawah lantai. Lantai marmernya terlihat mengkilat karena seorang ART baru saja masuk kamar untuk membersihkannya. Permukaan lantai memantulkan semua benda yang ada di dalam kamar Sivan. Di dalam ruangan itu, Sivan duduk di pinggir ranjang. Mengamati wajah lesu yang tercetak di lantai marmer. Meskipun ia sudah satu tahun lebih berada di Jakarta, Sivan merasa sedikit asing karena ia tinggal di rumah besar Hendra. Yang membuatnya semakin aneh adalah Hendra tidak pernah terlihat ada di rumah. Sivan ingin kembali pulang ke rumah sebenarnya. Rumah indah yang dulu menjadi istananya bersama Evan dan Sinta. Rumah itu kini kosong dan dipasrahkan kepada seorang penjaga.
Sivan belum ikhlas toko bunga impian Sinta akan segera tiada. Ia membayangkan jika Sinta masih hidup, sang Mama mungkin akan kecewa berat kepadanya. Namun, Sivan teringat lagi dengan perkataan Evan. Sinta adalah wanita ceria yang mempunyai banyak impian. Setelah menikah dengan Evan pun, Sinta selalu punya hari di mana ia melahirkan impian barunya. Beberapa hari ini Evan belum membahas itu lagi. Ia ingin menanyakannya ketika ayahnya datang untuk melihat keadaannya pagi ini.
Seluruh indra Sivan berhenti bekerja beberaa detik. Selama menginjakkan kaki di rumah ini, pemandangan ini baru pertama kali terjadi. Evan masuk kamar Sivan tanpa mengetuk. Tanpa membawa makanan dan obat yang harus ia minum. Ia membawa banyak tumpukan kardus. Sebagian dibungkus plastik tebal berwarna hitam dan sebagian lagi hanya dilapisi lakban cokelat. Jumlah kardus-kardus itu ada sepuluh buah. Masing-masing ukurannya berbeda. Sivan bangkit dari pinggir tempat tidurnya.
"Jangan berdiri, tetap di situ," perintah Evan.
"Itu semua apa, Yah?" tanya Sivan, sangat penasaran.
"Nanti Ayah jelaskan. Ayah masih mau mengambil yang di bawah," tukas Evan. Ia menaruh semua kardus yang kini terlihat jelas sebuah paket dari toko online hijau itu di meja belajar Sivan. Ada satu kardus paling besar tidak kebagian tempat dan terpaksa Evan taruh di atas kursi belajar putranya. Sivan mengambil salah satu paket yang berukuran sedang. Membaca rincian keterangan barang. Ia menaikkan kedua alisnya bersamaan membaca nama brand mainan.
BERSAMBUNG.
Selamat tahun baru. Semoga tahun 2024 menjadi tahun yang seru. 😊
JPN06/01/2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...