67.

263 16 0
                                    



Evan memilih istirahat berjuang sementara demi kesembuhan sang putra, orang-orang terdekatnya justru terus mengibarkan bendera perjuangan kedua. Mereka tak akan membiarkan Evan jatuh ke dalam jurang keputusasaan lebih dalam. Dipimpin oleh Janu, mereka akan melaksanakan misi menyatukan ayah dan anak yang terpisah karena kesalahpahaman. Walau awalnya menjadi manusia paling netral, Janu bersyukur Renjana bersedia membantunya.

Semalam Evan tak bisa mengistirahatkaan tubuh dan pikiran lelahnya. Terngiang-ngiang akan teriakan Janu beberapa saat yang lalu. Ia meledak-ledak gembira mengatakan bahwa proses pembuatan paspor Haris tertunda karena akta ayah mertuanya hilang. Namun, Janu tak membeberkan rencana diam-diamnya bersama Renjana yang ingin memperlama proses pembuatan akta baru. Janu ingin Evan fokus menenangkan diri. Ia yakin Evan tak berniat meletakkan perjuangannya begitu saja.

"Van!!! Evan!!! Evan!!!" Teriak Janu menggelegar menuruni tangga. Semua orang di dapur melempar pandang kepadanya dengan mata membulat. Termasuk Evan yang mengerem spatula untuk membalik salah satu semur telurnya.

"Ada apa?" Evan berhasil membalik satu telur sebelum bertanya. Tak sempat mengatur napas, Janu terbata-bata mengatakannya.

"Besok ... hah ... kita ... hah ... ke rumah Kakek Sivan!!!"

"Maksud kamu?" sahut Evan mematikan kompor. Beton memandang wajah Joe meminta penjelasan. Pria tambun itu yakin Joe juga ikut terlibat. Mantan pemain band itu belum menyentuh sate kesukanaannya satu tusuk pun di meja makan. Itu pertanda ada sesuatu yang pria itu sembunyikan dalam diam.

"Kamu bisa bertemu Sivan!!!"

Evan menyingkirkan selimut yang menutupi area dadanya. Ia memiringkan tubuh ke kiri mengambil gawai yang sedari tadi layarnya mati. Ia tak memperdulikan keterangan terakhir Sivan online di Facebook. Dengan tatapan hangat membayangkan jika Sivan benar-benar ada di depannya. Evan menuliskan beberapa pesan untuk sang putra.

Orang Merapi: [ Sivan, sebenarnya ini ayah. Maafkan ayah karena jadi pengecut yang harus berpura-pura demi bertemu kamu. Ayah sayang kamu. Sebentar lagi kita akan bertemu. ]

Evan tak memacu mobil jeep melebihi kecepatan normal. Ia ingin mempersiapkan kemungkinan terburuk kedua. Gunung Merapi menyambutnya dari utara. Memperlihatkan lautan hijau pepohonan juga jutaan pasir di atas puncaknya. Setiap lima menit sekali senyum Janu mekar. Masih tak menyangka Renjana ikut membantu mereka. Sementara Juno yang duduk sendirian di belakang diserang kegugupan. Ia menyesal telah menyamakan Renjana dengan Kakek Sivan.

Mereka diminta Renjana datang ke rumah usai mobil Haris meninggalkan halaman untuk mengurus pembuatan akta kelahiran. Lebih tepatnya pukul setengah sepuluh pagi. Tak lupa Renjana memastikan sang kakak menghubungi via WA apabila hendak pulang, agar ia bisa segera memberikan sinyal kepada Evan dan para ajudannya untuk meninggalkan rumah. Waktu mereka tidak banyak. Tak sampai tiga jam kemungkinan Haris menampakkan lagi batang hidungnya.

Langkah Evan menapaki halaman Haris memelan dengan sendirinya. Beberapa pot berisi aneka tanaman hias menghadirkan bayangan Sinta. Wanita tercintanya sedang menyiram tanaman kesayangannya dan ibu mertua. Tiba-tiba muncul bayangan lain. Bayangan yang berukuran lebih kecil dan berlari aktif melewatinya. Binar di kedua mata elangnya bergetar menyaksikan Sivan kecil memeluk pinggang ramping Sinta dari belakang. Mereka berdua tertawa bahagia lantas tersenyum kepada Evan.

"Van ...." Panggilan Janu melenyapkan dua bayangan itu seketika. Pot-pot penuh bunga indah di depan ternyata juga ilusi semata. Evan menatap nanar kebun kesayangan ibu mertuanya yang nyatanya gersang. Sebagian besar tanaman hias mati karena terlupakan. Jika Sinta masih hidup ia pasti akan marah sampai menangis.

"Evan." Panggilan kedua Janu memberikan tenaga. Evan mendorong langkah mendekat ke pintu masuk. Angin yang berembus terasa lebih dingin. Evan akui ia tak tenang. Namun, kalimat sambutan Renjana di pintu masuk seketika menggerakkan kakinya dua kali lipat.

"Sivan masih tidur di dalam kamar. Hati-hati, ya, jangan terlalu keras," imbau Renjana.

Hal pertama yang Evan lakukan begitu berhasil masuk ke dalam kamar Sivan adalah melihat wajah sang putra tanpa mengedipkan mata. Tak juga mendapat respon apa-apa, Evan mengelus dahi Sivan, menyalurkan semua kerinduannya. Kening Sivan berkedut merasakan sentuhan dingin jemari Evan yang mulai mengelus permukaan keningnya.

"Sivan ... ini ayah ...." Sapanya lembut. Sang putra setia memejam. Maka. Evan beralih membuka selimut Sivan, mengeluarkan salah satu lengan sang putra. Lalu, menggenggam telapak tangan hangatnya. Kedua alis Sivan sedikit terangkat merasakan sensasi dingin pada salah satu tangannya. Namun, ia belum mau melihat siapa sosok asing yang kini berada begitu dekat dengannya.

"Tolong buka mata kamu. Sebentar aja nggak apa-apa ...." Evan terus meremat sela-sela jari Sivan. Hingga hangat tubuh sang putra menjalar ke telapak tangan yang lebih besar.

"Ayah datang lagi. Lihat ayah, Sivan ... Tolong bangun ...." Dahi Evan ikut menunduk hingga menyentuh kelembutan poni Sivan. Tepat saat itu terjadi, Sivan membuka netranya pelan-pelan. Ia menatap sayu wajah terkejut Evan tanpa mengucapkan apa-apa. Mengagetkan Evan hingga berdiri dari pinggir ranjang.

Renjana mendekat dan berusaha menjelaskan trauma psikis yang kembali menyerang Sivan untuk menenangkan pria tiga puluh lima tahun itu. Evan mencoba menerima semua penjelasan karena waktu semakin mengikis pertemuan mereka. Renjana beberapa kali mengecek layar gawai, memastikan Haris tak lupa mengirim pesan.

Setelah sepuluh tahun akhirnya Evan bisa menyuapi Sivan. Dilanjutkan mengelap wajah dan kaki Sivan mengunakan air hangat. Lalu, membantunya meminum obat. Satu jam kemudian menemaninya jalan-jalan melihat tanaman-tanaman kering berona cokelat di halaman. Juno sengaja membawa layang-layang untuk menghibur Sivan. Sambil melihat Juno dan Janu bergantian mengatur arah senar, Evan tak henti mengelus kepala putranya hingga tertidur.

"Besok datang lagi ke sini, akan aku kabari jika kakakku sedang pergi," kata Renjana ditujukan kepada Janu. Janu menjawab lama karena tak tega melihat Evan belum mau menghentikan kursi roda. Sivan telah tertidur bersama Evan yang masih setia mendorong di belakang. Juno berhenti mengikuti, membawa layang-layang yang beberapa saat lalu berada di langit.

"Evan, kita harus pergi sekarang." Evan tak menampik perkataan Janu. Renjana bersiap menggantikan posisi Evan. Genggaman Evan pada kursi roda memang terlepas, namun tak langsung meninggalkan tempat begitu saja. Ia meraih pundak Sivan dan mengapit kedua kaki lemas putranya. Membawanya berjalan menuju ke dalam kamar. Semua mata di belakang membiarkan Evan melakukannya.

"Sivan masih terguncang. Itulah sebabnya ia diam dan tidak mau bicara. Ia merasa bersalah karena kabur dari rumah. Menyesal tidak bisa melihat nenek untuk yang terakhir kalinya. Semuanya terjadi secara mendadak," jelas Renjana, mengulang penjelasan Dokter Retnosari tempo hari.

"Aku khawatir Evan akan menjadi seperti itu juga," respon Janu.

"Jangan khawatir, psikiater Sivan sudah menanganinya sejak kecil. Aku yakin dengan beberapa terapi, ia bisa sembuh seperti dulu lagi. Yang harus kita lakukan sekarang adalah terus menemaninya setiap hari."

Evan membaringkan Sivan perlahan di atas tempat tidur. Meraba kening sang putra begitu lama. Menarik selimut dan merapikan rambut Sivan yang berantakan dipermainkan angin di halaman.

"Istirahat yang nyenyak. Besok ayah datang lagi."

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang