8.

917 104 6
                                    

Janu menatap tidak percaya hidangan di depan meja makan vila. Mood yang hancur karena mengurus laporan relawan dan mengumpulkan berita Gunung Merapi melebur. Gara-gara satu piring besar terisi udang goreng kesukaannya. Tanpa berkata apa-apa, Janu melempar tas yang berisi beberapa dokumen ke lantai. Rompi relawan pun ia sampirkan begitu saja di kursi kayu terdekat. Janu melompat ke kursi makan. Mendekatkan satu piring besar berisi udang goreng dengan wajah lapar.

"Oi, oi, oi, jangan serakah!" umpat Beton menepis tangan Janu.

"Sejak dulu, kalau urusan udang goreng dia jadi jahat, Ton," sahut Joe sambil menghidupkan rokoknya.

"Tumben makanannya banyak, kelihatan enak-enak pula. Ada apa ini? Atau jangan-jangan ...." Janu segera mengganti wajah menjadi curiga. Kedua matanya mengikuti perjalanan tubuh kekar Evan yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Tenang saja, tidak ada misi. Aku sudah meminta ayah untuk meliburkan kita sementara dari urusan kantor, agar kita bisa fokus menjadi relawan di sini," jawab Evan sembari membetulkan handuk yang menutupi area pahanya.

"Dan, jangan lupa membawa pulang Sivan," tambah Janu. Dengan beringas ia memasukan dua ekor udang goreng berukuran cukup besar langsung ke dalam mulutnya. "Gila! Rasanya enak banget! Mirip seperti udang goreng buatan ibuku."

"Habiskan saja semuanya. Tapi, kalau kalian meninggal karena kekenyangan, aku buang mayat kalian ke kawah Merapi!" ancam Evan. Ia masih sibuk mengeringkan rambutnya menggunakan handuk bersih yang akan Janu gunakan untuk mandi nanti.

Janu yang biasanya mengomel, sedang tidak peduli. Ia sudah lama merindukan udang goreng. Bagi Janu, udang goreng adalah makanan terlezat di dunia. Apalagi udang goreng ini rasanya sangat mirip dengan masakan ibunya. Evan tersenyum ringan memandang sebentar wajah bahagia sahabat setianya sebelum masuk ke dalam kamar untuk berganti baju.

"Aku juga mau udangnya!" Beton merebut piring berisi udang goreng, lalu mengambil satu kepal udang goreng untuk dia taruh di piringnya sendiri. Janu berteriak. Memandang beberapa udang yang berhasil Beton rampas dengan wajah tidak rela.

"Udah, Ton. Kasih saja semuanya untuk Janu. Semua makanan enak ini ada juga gara-gara dia," imbau Joe sambil menyesap rokoknya. Joe masih belum mood untuk memakan semua makanan di atas meja. Ia merasa semua makanan ini terlalu berlebihan. Memandangnya saja membuatnya sudah merasa kenyang. Joe jarang sekali terlihat makan, namun anehnya otot-otot di tubuhnya tetap kekar.

"Gara-gara aku? Memangnya aku berbuat apa? Oh, apa gara-gara laporan relawan dan makalah berita Merapiku. Hmm, memang sudah aku bilang, aku ahlinya membuat laporan-"

"Alay! Bukan karena laporan goblok!" Beton menoyor kepala Janu. Untung Janu selalu gesit menghindar. Jadi, ia tidak terbentur permukaan meja yang cukup tebal.

"Alasan Bos memesan semua makanan enak ini sangat aneh, ckckck. " Yang mengatakan itu Joe. Jika Joe sudah berkata aneh seperti ini, berarti benar-benar sedang terjadi sesuatu.

"Kalian jangan membuat aku penasaran. Kasihan para udangku menunggu untuk aku makan. Cepat ceritakan," dengus Janu.

"Bos membelikan kita semua makanan lezat ini gara-gara kamu dari dulu selalu membelikan Bos parfum Ambre Topkapi. Kemarin waktu perjalanan mengantar Sivan, Sivan tiba-tiba membahas parfum itu. Kata Bos, Sivan masih mengingat bau parfum ayahnya." Joe menjelaskan dengan mulut penuh asap.

Mendengar itu, nafsu makan Janu mengecil. Ia menatap hampa udang goreng yang masih tersisa banyak. Janu mengambil satu mangkok kecil kemudian mengisinya sampai penuh dengan udang goreng. Ia akan menyisakannya untuk Evan. Janu tidak pernah lupa jika Evan juga penyuka makanan udang.

Para relawan dari Mahaputra Grup mudah untuk dikenali. Penampilan mereka mencolok dengan rompi berwarna biru muda. Di dalam rompi terdapat kaos cukup tebal berwarna biru dongker atau warna bebas sesuai dengan kondisi para relawan. Jika kaos biru dongker sedang dicuci, mereka boleh memakai kaos warna apa saja, asal tetap menggunakan rompi biru muda. Setiap kaos terdapat lambang perusahaan keluarga Mahaputra.

Para anggota relawan yang tergabung di dalam Mahaputra Grup adalah anak buah Hendra dan juga Evan. Beberapa mantan anak buah bersedia untuk menjadi relawan asal dibayar. Semua relawan Mahaputra Evan bayar sama rata. Tanpa membedakan status pekerjaan atau hal-hal merepotkan lainnya. Janu, Beton, dan Joe bertugas untuk mengurus data administrasi. Namun, sepertinya Janu akan menanggung semuanya. Karena Beton dan Joe kini mendapatkan tugas baru yang lebih penting. Mengawal rumah Kakek Sivan.

Meskipun sudah berdiri selama sepuluh tahun sebagai grup relawan solid, banyak orang tidak tahu jika Mahaputra Grup adalah sebuah organisasi yang sebenarnya belum mempunyai izin resmi. Menggunakan otak pintar, Evan dan Janu berhasil menyembunyikan identitas mereka dengan berbagai cara. Sampai sekarang identitas para relawan masih disembunyikan. Rata-rata mereka semua mengaku sebagai pekerja dan buruh lepas yang ingin mengabdi untuk kemanusiaan.

Biasanya Evan sering ke lokasi pengungsian untuk melihat kondisi saja. Ia lebih memfokuskan diri pada Sivan. Hari ini entah kenapa, Evan membantu banyak hal. Mulai dari menata piring dan gelas, membantu membagikan makanan kepada para pengungsi, menghibur beberapa anak pengungsi dengan streaming youtube menggunakan gawainya dan menggendong seorang wanita renta yang sedang demam ke tenda medis untuk diperiksa.

"Kesambet apa kamu hari ini? Pasti gara-gara kemarin makan udang goreng, kan? Tidak sia-sia aku menyisakan satu mangkuk udang goreng untukmu." Janu duduk di samping Evan yang sedang menyendiri di sebuah tenda tak berpenghuni.

"Menyesal aku mentraktir kalian makanan enak kemarin. Kalian kekenyangan dan tertidur tanpa membersihkan piring-piring kotor di meja. Benar-benar anak buah teladan."

"Tidak hanya teladan, tapi kami juga setia, hahaha. Aku sudah tahu alasan kamu membeli banyak makanan enak kemarin. Well, thanks, Bro. Aku juga berterima kasih karena kamu tetap mau menuruti nasihatku untuk tidak gonta-ganti merek parfum."

"Siapa yang menurut. Tanpa kamu suruh pun, aku tidak akan ganti merek parfum. Merek parfum itu adalah merek parfum pertama yang Sinta berikan untukku sebagai hadiah satu tahun pernikahan."

"Kamu lupa dulu waktu SMA sering gonta-ganti parfum? Duh, si bapak romantis amat, tapi pintar mengelak, ya."

"Najis!"

"Iya, sama-sama. Omong-omong, kamu benar menyuruh Beton dan Joe mengawasi rumah mertua dan sekolah Sivan? Mereka berdua minta uang untuk membeli teropong tadi pagi."

"Iya. Aku merasa Ayah Sinta memperlakukan Sivan dengan tidak biasa."

"Tidak biasa maksudnya?"

"Nanti kita akan segera tahu. Aku harap firasatku tidak benar. Jika sampai itu terbukti, aku akan mengirim anak-anak untuk mengambil paksa Sivan."

"Kalau seperti itu, sebaiknya kamu simpan menjadi rencana terakhir, Van. Ingat kondisi ibu mertuamu. Dia pasti syok melihat banyak anak buah berbadan kekarmu mengepung halaman rumahnya. Dengar-dengar beliau menderita penyakit jantung dan sudah parah."

"Tenang saja, aku akan melakukannya secara diam-diam. Diam, senyap, dan tepat." Pandangan Evan menajam melihat Gunung Merapi dari kejauhan. Status gunung gagah perkasa itu masih siaga. Sampai saat ini aktivitasnya pun terus mengalami peningkatan. Meskipun terlihat tenang, Gunung Merapi sebenarnya sedang menjalankan hajatnya di puncak. Merapi pasti erupsi, karena ia tidak pernah ingkar janji.

Sebuah sepeda motor matik masuk ke lokasi pengungsian. Pengemudi sepeda motor itu seorang remaja berpakaian SMA. Sepulang sekolah, ia diminta sang ibu menyusulkan selimut dan termos untuk nenek dan kakek mereka yang telah mengungsi terlebih dahulu. Untuk kondisi siaga, para remaja, pemuda, dan warga dewasa yang sehat belum ikut mengungsi. Mereka masih beraktivitas seperti biasa di rumah. Melihat remaja itu memasuki bilik pengungsi, otak Evan melahirkan ide cemerlang.

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang