Rumah megah Hendra terlihat lebih berkilau dari biasanya. Setiap dindingnya bercahaya karena dicat warna baru. Warna putih tulang yang menenangkan. Halaman luas yang setiap sudutnya selalu dipenuhi daun-daun kering dan tak pernah diperhatikan, beberapa hari ini terjangkau sapu. Rumput-rumput liar dibasmi pak tukang kebun menggunakan mesin pemotong rumput canggih. ART lain terlihat mondar-mandir di lantai dua membersihkan kamar-kamar yang jarang ditempati.
Semalam pesan WA dari Evan tiba. Walau hanya satu kalimat singkat "Besok aku pulang bersama Sivan ke Jakarta" Hendra merasa bahagia seperti mendapatkan keuntungan besar. Ia merasakan lagi semangat hidupnya. Selesai membaca satu pesan singkat dari putra kesayangannya, ia langsung memerintah seluruh ART dan tukang kebun membersihkan rumah. Kalau bisa Hendra menginginkan rumah besarnya tampak seperti baru.
Evan tak melupakan Janu yang kini telah resmi menjadi seorang ayah. Kamar Janu akan mendapatkan ekstra satu tempat tidur untuk Juno. Evan dan Sivan menempati kamar tidur di lantai dua. Ia sengaja meminta kamar yang bersebelahan karena Sivan masih perlu dijaga. Joe dan Beton diminta mampir sebentar di rumah Hendra untuk menurunkan barang-barang Evan. Mereka telah diperintah bergegas menuju rumah terakhir Sinta. Untuk berjaga-jaga apabila Sivan merengek meminta diantarkan ke sana.
"Sivan ...." Hendra menatap tidak percaya sosok remaja pucat yang dibantu Evan keluar pelan-pelan dari mobil sedan. Sivan tak sengaja melihat tubuh membeku Hendra di depan pintu. Ia tersenyum manis kepada pria yang telah seumuran Haris itu. Sivan masih ingat betul wajah Hendra meski uban telah menguasai kepalanya. Sementara Hendra begitu pakling sampai tak bisa meneruskan kata-kata.
Dituntun Evan perlahan, Sivan menginjak satu per satu anak tangga menuju pintu di mana Hendra menunggu. Para ART dan tukang kebun berkumpul di sudut utara rumah. Salah satu di antara mereka menutup mulut menahan tangisan. Ia merupakan ART setia Hendra yang telah bekerja lama di sana. Ia juga menjadi saksi tragedi yang menghancurkan kebahagiaan putra kesayangan Hendra.
"Yang berjalan sambil menuntun bocah itu adalah Pak Evan. Dia putra kesayangan Tuan Hendra. Remaja laki-laki yang dituntun namanya Sivan. Dia cucu yang telah lama beliau nanti-nantikan kepulangannya," ungkap ART perempuan kepada dua ART lainnya dan dua tukang kebun yang barusan mematikan mesin pemotong rumput.
"Apa ini ada hubungannya dengan cerita yang kamu ceritakan sama kami dulu, Mbak?" sela ART berambut sebahu. Wajahnya terlihat menuntut jawaban.
"Ya. Kalian masih ingat, kan. Tragedi perampokan istri Pak Evan yang pernah aku ceritakan."
"Mana mungkin kami melupakan tragedi semengerikan itu. Diceritakan Mbak saja kami sampai menangis. Nggak kebayang kalau berada di posisi istri Pak Evan dan putranya saat perampokan itu terjadi."
"Yang penting mereka sudah kembali pulang dengan selamat. Itu artinya semua berakhir bahagia."
"Semoga mereka bisa melanjutkan hidup dengan bahagia, ya, Mbak."
"Eh, ada remaja laki-laki lain yang keluar dari mobil. Dia siapa. Mbak?" tunjuk ART berwajah bulat tepat mengenai punggung membungkuk Juno.
"Wah, nggak tahu kalau itu. Mungkin pegawai Pak Evan yang baru."
"Tapi, muda sekali Mbak wajahnya. Kayaknya masih seumuran Mas Sivan."
"Kayaknya juga iya. Sudah, sudah. Ayo kita siapkan makanan dan minuman. Makanan dan minuman kita hari ini harus menambah kebahagiaan untuk mereka." ART senior wanita itu menutup percakapan sembari merapikan kemeja yang dikenakannya. Dua ART lain menyusulnya berjalan mengikutinya juga merapikan baju yang dipakai mereka. Dua tukang kebun menuntaskan pekerjaan yang belum selesai di kebun bagian belakang.
"Sivan pulang, Kek." Senyum Sivan tak memudar meski jarak yang memisahkan antara dirinya dan Hendra hanya tinggal beberapa meter jauhnya. Hendra memulai langkah mendekat. Satu langkah tercipta dan tubuh Hendra langsung melesat.
"Kamu beneran Sivan? Sivan cucuku? Cucu kesayanganku?"
"Iya, Kek. Ini Sivan." Garis melengkung di bibir Sivan kian memanjang. Wajah tampan Sivan berubah menjadi Sivan kecil di mata Hendra. Ia lantas menarik pundak remaja itu. Evan membiarkan sang ayah melakukan semua hal untuk melampiaskan kerinduannya kepada Sivan. Walau sering memilih pekerjaan daripada keluarga, Hendra hampir tak pernah menomorduakan para cucunya.
"Ya Tuhan ... Cucuku ... Sivan." Hendra mencium semua sudut di kepala Sivan. Janu menatap Evan sebelum menyaksikan pertemuan haru Hendra dengan sang cucu. Sahabatnya tersenyum lebar. Senyum lebar penuh ketulusan yang dari dulu Janu nanti-nantikan akhirnya keluar. Juno yang semula menunduk akhirnya menegakkan kepala. Ia ikut terharu menyaksikan penyambutan Henda yang penuh kebahagiaan. Andai Kakek Sivan dari dulu seperti dia.
"Aku nggak nyangka kamu sekaya ini, Siv," takjub Juno duduk di samping Sivan yang membolak-balik layang-layang gapangan berbentuk burung elang. Mereka berada di lantai dua tepat di kamar baru Sivan. Selama perjalanan pulang menuju Jakarta Sivan tidak sabar untuk menerbangkan layang-layang.
"Ayah pinter banget. Minta bantuan Mas Ibra buat bikin layangannya."
"Hmm. Kebiasaan kalau diajak ngobrol duluan pasti ngalihin permbicaraan," sewot Juno sembari mengedarkan pandang ke sekeliling kamar Sivan. Ia masih belum terbiasa melihat perabot-perabot mahal yang menghiasi ruangan. Kamar Sivan seperti hotel berbintang. Kamar mandinya ada di dalam dan di dalam kamar mandi ada bak lumayan besar untuk berendam.
"Besok kita terbangkan di mana, ya, No. Aku udah nggak sabar."
"Diterbangkan ke langit lah. Masa di laut. Btw, kita baru aja nyampai sini. Nggak usah mikir macam-macaam buat main. Istirahat dulu."
"Nggak usah kamu kasih tahu juga aku udah tahu."
"Terserah."
"Kamu nggak jadi mau jawaban soal perkataanmu yang pertama, No?"
"Nggak, ah. Udah terlanjur males."
"Kamu bilang nggak nyangka aku sekaya ini, kan. Aku juga nggak nyangka kamu bakal jadi anaknya Om Janu. Om Janu juga kaya, lho, No. Beruntung banget kamu jadi anaknya."
"Kita sama-sama beruntung, Siv."
Puas memegang dan mengambil foto layang-layang yang tiba-tiba diberikan Evan di dalam mobil. Sivan mengunggah salah satu hasil gambarnya di Facebook. Setelah foto berhasil terunggah, ia sempatkan membuka messenger. Tak ada pesan lain selain dari akun Orang Merapi. Sivan membukanya, membaca semua pesan dari awal dengan sabar. Hingga fokusnya pecah pada kalimat terakhir yang Evan tuliskan di sana.
Evan menulis dirinya pengecut dan Sivan tidak suka. Ia tidak pernah menganggap ayahnya pengecut. Sama sekali tidak. Juno menyadari hawa sekitar kamar sedikit berubah. Penyebabnya adalah Sivan yang tiba-tiba diam di tempat. Tak bergerak dan tak melanjutkan percakapan. Wajah pucatnya merengut. Khawatir ada sesuatu yang mengganggunya Juno lekas bertanya.
"Kok, diem, Siv?"
"Aku lagi ngumpulin tenaga buat marahin Ayah nanti."
"Lho, kamu mau marain Om Evan?"
"Hmm."
"Emang Om Evan ngelakuin kesalahan apa?"
"Ayah nggak ngelakuin kesalahan apa-apa. Aku cuma lagi pengin marah aja." Sivan berbohong. Ia kesal. Sivan merasa ayahnya tidak pantas meminta maaf padanya atas semua perjuangan yang telah ia lakukan demi menjemputnya pulang. Juno menyimpan pertanyaan selanjutnya. Kamar luas yang mereka tempati mendadak panas. AC dalam ruangan gagal menjalankan tugasnya.
"Ayahku bukan pengecut, No."
"Eh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...