Perjalanan pulang berlangsung damai. Liburan selalu menyenangkan, namun tidak pernah bisa bebas dari rasa lelah. Mobil hitam kembali menyusuri jalan di tengah serangan terik matahari. Sivan terlihat sibuk sendiri di samping Evan mengatur kemudi. Ia membolak-balik kertas foto. Jumlahnya cukup banyak, sampai Evan terpaksa harus membeli map kecil khusus untuk menyimpannya. Foto-foto itu diambil mereka sendiri menggunakan kamera pribadi. Ada beberapa foto hasil tangan dingin fotografer lokasi wisata yang diam-diam menjepret dan mencetak gambar di kertas foto tanpa sepengetahuan mereka.
Tawa Sivan hampir keluar mendapati salah satu foto menampilkan Juno berdiri di pinggir kolam renang mengenakan celana melorot sebelah. Saat membayangkan itu, roda mobil menepi ke sebelah kiri. Mobil berhenti di depan bangunan gedung cukup besar, namun tidak terlalu tinggi. Sivan bisa melihat isi gedung itu dari dalam jendela kaca mobil. Banyak rak memajang buku-buku. Evan mematikan mesin mobil di sebuah toko buku.
"Kalian tunggu di sini jangan keluar mobil," perintah Evan sembari melepas sabuk pengaman. Tidak ada sahutan dari ketiga pria. Energi mereka sedang terkuras. Hanya Sivan saja yang masih sanggup menganggukkan kepalanya. Matanya kesilauan mengamati perjalanan ayahnya masuk ke dalam pintu kaca, lalu menghilang ditelan rak-rak buku besar. Selang lima belas menit kemudian wajah Evan terlihat lagi. Ia menenteng kantong plastik berwarna putih.
Sebelum menarik sabuk pengaman kembali, Evan menaruh kantong plastik putih itu di pangkuan Sivan.
"Beli buku?" tanya Sivan mencoba membetulkan posisi plastik karena terasa berat.
"Ya. Buat kamu baca di pesawat," tukas Evan.
"Terima kasih." Sivan mengintip buku-buku di dalam kantong plastik putih dan berhasil menghitung jumlah mereka. Ada 7 buah buku dan ini berlebihan. Setiap buku memiliki halaman tidak terlalu tebal. Sivan heran bagaimana ayahnya bisa memilih buku secepat itu. Di rumah tidak ada buku novel sama sekali. Semua buku yang ada di ruang kerja Evan adalah buku-buku tentang bisnis dan senjata api.
"Ini semua buku novel," tebak Sivan.
"Kemarin ayah lihat kamu suka baca novel di hotel." Evan tidak pernah gagal mengawasi semua hal yang dilakukan anaknya. Bahkan buku yang Sivan baca pun ia tidak luput dari perhatiannya. Diam-diam Evan membacanya saat Sivan sedang istirahat atau tidak ada di dalam kamar. Novel-novel yang baru saja dibeli Evan memiliki desain cover manis seperti novel Pangeran Kecil yang pernah dibaca Sivan di hotel tempo hari.
"Pinjam satu, Siv." Juno menjulurkan tangan dari belakang. Sivan mengambil acak salah satu buku. Berwarna merah dan putih. Desainnya mirip papan catur.
"Ziggy Zezsya ... zeovienna ... zabrizkie ...." Di samping Juno, pria lain menegakkan punggung mendengar ia terbata-bata mengeja nama penulis buku. Ia pikir Juno sedang melantur sambil membaca mantra. "Nama penulisnya susah amat." Walaupun begitu Juno langsung merobek segel plastik dan mulai membaca kata demi kata bersama Sivan.
...
Seorang pria berusia sekitar tiga puluh tahun hampir terkena serangan jantung karena diinterogasi Evan dengan pertanyaan beranak. Janu berusaha menjelaskan bahwa pria itu adalah salah satu karyawan personalia di perusahaan Hendra. Tanda pengenal yang disangkutkan di kantong kemeja tidak membantu apa-apa. Mungkin saking banyaknya karyawan, Evan jadi tidak hafal dan langsung mencurigainya sekali pandang.
Sewaktu pria itu dipersilakan asisten rumah tangga masuk, Evan dan Janu sedang membersihkan pistol-pistol di ruang tamu. Tubuh pria itu seketika membeku dan cara berjalannya menjadi kaku. Apalagi Evan sama sekali tidak terlihat antusias menyambut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...