17.

681 100 22
                                    

Yogya, 2022

Belakangan ini Sivan terus menerus dihantui mimpi buruk. Membuatnya kehilangan tenang menjelang malam. Sejak bersahabat dengan Juno, mimpi buruk itu tak pernah muncul lagi. Juno yang dipenuhi tawa renyah sukses membuat Sivan tersenyum sepanjang hari. Suara tawa Juno mampu melindunginya dari bayangan trauma tragedi penembakan Sinta yang sering muncul tiba-tiba. Beberapa hari ini, Sivan menyadari trauma itu tak pernah hilang. Ia menetap di bawah alam sadarnya. Trauma itu hanya tertidur panjang, tidak sepenuhnya menghilang.

Remaja berusia tujuh belas tahun itu terbiasa menahan semua beban sendirian. Tak pernah sekalipun ingin membagi lukanya kepada siapapun. Karena ia tidak ingin semua orang ikut merasakan kepahitannya. Cukup ia saja. Maka, Sivan memilih diam. Mencoba melawan semua mimpi buruk yang datang setiap malam. Untuk malam ini menjadi yang paling parah. Sivan sampai kesulitan bernapas. Ia membuka lemari pakaian dan mengacak-acak isinya. Berharap oksigen portabelnya masih ada. Sivan segera mengisinya dengan obat sesuai takaran. Gelembung-gelembung bermunculan tanda obat sudah bisa digunakan. Sivan memasang masker oksigen sendiri di sekitaran mulutnya. Barulah ia bisa bernapas.

Mimpi buruk yang semakin tak bisa dikendalikan memaksa Sivan datang ke rumah psikiater yang pernah membantu pengobatannya. Sivan takut dengan rumah sakit, karena bau obat dan suasana rumah sakit sering membuatnya mengingat Sinta. Psikiater Sivan mengizinkan ia datang ke rumahnya tanpa tambahan biaya. Ia cukup datang membawa surat keterangan dari rumah sakit saja.

"Halo, Sivan. Lama kita tak berjumpa," sapa Retnosari. Meskipun beralis tebal dan berbibir merah cetar, dokter spesial kejiawaan itu mampu tersenyum dengan hangat Dada Sivan berdebar. Ini pertama kalinya ia berkonsultasi lagi setelah beberapa tahun menghentikan terapi pengobatan traumanya.

"Halo, Dok. Terima kasih sudah mengizinkan saya datang ke rumah Dokter," sapa Sivan.

"Kapanpun kamu merasa ada yang tidak beres, datang saja ke sini, oke? Dulu dokter pernah bilang itu ke kamu, kan?"

"Hehehe, Sivan lupa, Dok. Waktu itu, kan, Sivan masih kecil."

"Tidak apa-apa. Bagaimana kabar Kakek dan Nenek kamu? Mereka sehat-sehat, kan?"

"Sehat semua, Dok. Masih bersemangat untuk melakukan aktivitas seperti biasa."

"Kalau teman kamu yang usil itu bagaimana? Siapa namanya dokter lupa."

"Teman?"

"Iya, teman kamu yang sering mengajak kamu main layang-layang itu."

"Oh, Juno."

"Nah, iya. Juno. Bagaimana kabarnya?"

"Juno sedang terobsesi menjadi ketua relawan PMR, Dok. Hari ini ia mengikui pengarahan orientasi di sekolah untuk persiapan pengarahan relawan PMR Merapi."

"Wow, keren. Juno sepertinya sudah bahagia dengan pilihannya. Dan, kamu datang ke sini karena kebingungan, bukan?"

"Dokter tau aja."

"Kita sudah sepuluh tahun lebih saling menanyakan kabar, Sivan. Siap untuk menceritakan semuanya sekarang? Telinga dan hatiku sudah siap mendengarkan."

"Terima kasih, Dok. Sebelumnnya, Sivan boleh minta sesuatu ke Dokter?"

"Minta apa?"

"Tolong rahasiakan pertemuan kita dari Kakek, ya, Dok. Cuma satu hari ini saja. Nanti setelah Sivan menceritakan semuanya dan menurut Dokter Sivan harus mendapatkan penanganan lanjutan, Dokter boleh mengatakan semuanya ke Kakek."

"Boleh-boleh. Tapi, apa alasan kamu ingin menyembunyikan pertemuan ini? Tolong jawab dengan jujur."

"Nenek baru aja sembuh, Dok. Sivan takut nanti membuat Nenek kepikiran dan jatuh sakit lagi." Melihat gurat-gurat sendu di wajah pasien kesayangannya, Dokter Retnosari mengangguk setuju.

[Orang Merapi] Hai, tumben jam 12 malam masih online.

[Sivan Mahaputra] Om belum tidur?

[Orang Merapi] Om suka begadang.

[Sivan Mahaputra] Aku lagi merenungi keputusanku, Om.

[Orang Merapi] Keputusan apa?

[Sivan Mahaputra] Aku jadi ikut relawan PMR Merapi dan besok ada pengarahan beberapa hari.

[Merapi] Bagus-bagus. Ayah ikut...(hapus) Om, ikut senang.

Sivan berusaha membaca balasan dari Evan dengan kelopak mata semakin menurun. Tangan Sivan yang memegang gawai jatuh di atas tempat tidur. Lagi-lagi Evan diminta menunggu. Satu jam berlalu, pikirannya justru tertuju pada sosok remaja laki-laki lain yang mengajak bicara Janu di kantin beberapa hari yang lalu. Ia kelihatan akrab dengan Sivan. Evan tentu akan mencari informasi tentang remaja itu.

"Untuk tugas mengawasi rumah mertuaku dan Sivan aku hentikan sementara waktu. Lagi pula beberapa bukti sudah mengarah jika Ayah Mertuaku mendidik Sivan terlalu keras. Sekarang, aku minta kalian berdua mencari info tentang teman Sivan. Namanya Juno. Untuk alamat rumahnya, kalian bisa meminta Janu." Belum sempat Evan menyentuh sarapannya, ia justru mengatakan itu.

"Baik, Bos," kompak Beton dan Joe. Mereka berlalu tanpa membereskan piring kotor bekas sarapan mereka. Evan menyeruput kopi hitam sedikit gula sembari menatap serius Gunung Merapi yang kelihatan sangat jelas dari jendela vila.

"Kapan kamu akan meletus? Maaf jika aku berharap kamu segera meletus. Aku ingin membawa pulang putraku. Tolong bantu aku. Kamu tidak pernah ingkar janji, kan?" Monolog Evan untuk Gunung Merapi. Pagi ini, Gunung Merapi tak terlihat mengeluarkan apapun di atas puncak. Cuaca yang cerah membuat tubuhnya terlihat gagah sempurna dari arah mana saja. Evan melihat lautan pepohonan di sekitar tubuh Merapi. Bayang-bayang bersama Sinta yang telah berlalu kembali muncul.

"Aku mau anak kita bernama Sivan. Titik!"

"Kenapa harus Sivan?"

"Bilang setuju dulu, baru nanti aku jelaskan alasanku!"

"Oke,oke. Setuju."

"Sivan adalah gabungan nama kita. Si untuk Sinta dan Van untuk Evan."

Sudah sepuluh tahun berlalu, namun semua bayangan itu menetap selamanya di pikiran Evan. Evan tersadar dari lamunan. Ia tidak sanggup untuk terus membayangkan kenangan manis bersama Sinta dan Sivan. Kenangan manis yang berakhir sedih dengan akhir yang sangat tragis. Evan lantas membereskan piring dan gelas sisa sarapan kemudian bergegas menyusul Janu ke sekolah Sivan.

Sebelum terjun untuk membantu para relawan di lokasi pengungsian, para relawan PMR yang kembali aktif akan mendapatkan pengarahan selama tiga hari. Lokasi pengarahan berada di sekolah masing-masing. Lagi-lagi, Evan berencana akan membuat acara penutupan pengarahan di sebuah restoran. Hal itu bertujuan untuk memperkenalkan seluruh anggota relawan PMR dan memupuk kekompakan. Dan, tentu saja, untuk kembali bertemu dengan Sivan.

Kegiatan relawan PMR fokus untuk membantu relawan di pengungsian. Satu regu perwakilan sekolah akan ditempatkan di satu posko pengungsian. Karena status Gunung Merapi masih siaga, mereka akan dijadwal bergiliran, agar tetap bisa menikmati libur kenaikan kelas. Evan sempat mempunyai rencana tentang liburan dengan mengaktifkan otak bisnis gelapnya. Namun, Janu dengan segera kembali membatalkan rencananya.

"Kamu serius nggak mau pulang bareng sama aku, Siv? Jarak restoran ini ke rumahmu lima kilo, lho. Bukan dua kilometer kayak jarak di sekolah," bujuk Juno.

"Nggak usah, No. Itu akan aku jadikan alasan supaya nggak ada kuis pengetahuan militer malam ini, hahaha," kelu Sivan.

"Astaga, udah mulai kuisnya? Kalau begitu hati-hati di jalan. Ingat! WA aku kalau udah sampai rumah. Aku pantau terus, lho!"

"Beres, Kapten. Kamu juga hati-hati, No. Jangan ngebut-ngebut," imbau Sivan.

"Siap, Bos. Sampai jumpa besok di barak pengungsian."

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang