Terhitung dua hari Gunung Merapi melakukan kewajiban sebagai gunung api paling aktif. Zona bahaya tidak diperluas karena jarak luncuran awan panas tidak melebar. Kesibukan Gunung Merapi menepati janji, menyebabkan Sivan melanggar jadwal pulang yang dibuat Kakek. Sejak hari pertama Gunung Merapi erupsi, ia pulang diantar Evan dan selalu sampai rumah dalam keadaan gelap.
Pukul sembilan belas seharusnya belum terlalu malam. Bagi Kakek itu termasuk keterlambatan yang tidak bisa ditolerir menggunakan berbagai macam alasan. Sivan mendapatkan hukuman. Berturut-turut diminta push up dan sit up sepulang bertugas di pengungsian. Malam ini menjadi yang terparah.
Setelah push up tiga puluh kali, mendadak tubuh Sivan melemas. Padahal ia selalu menghabiskan makan malamnya di pengungsian ditemani Evan sebelum pulang. Pandangan Sivan juga dipenuhi kunang-kunang. Hingga, ia merasakan lubang hidungnya terasa basah.
Sivan memulai langkah menuju ke kamar mandi. Melewati Nenek yang sedang memarahi Kakek di dapur. Nenek sangat membenci latihan keras yang Haris lakukan kepada Sivan. Cucunya masih anak sekolah biasa. Belum kuat menerima semua latihan berat seperti calon tentara sungguhan. Sembari sayup-sayup mendengar perdebatan Nenek dan Kakek, Sivan membersihkan darahnya sendiri. Matanya bergetar tak terkendali melihat warna merah memenuhi washtafel. Ia mengurung diri di kamar mandi selama lima belas menit, hingga darah di hidungnya tidak tersisa lagi.
Tiga hari lagi kegiatan relawan PMR Siaga Merapi selesai. Anggota relawan PMR ditugaskan hanya selama liburan kenaikan kelas. Sivan akan kembali berurusan dengan buku-buku pelajaran sekolah. Memulai kelas baru menjadi siswa SMA kelas dua belas. Ia tidak ingin menyia-nyiakan tiga hari terakhirnya di pengungsian. Pagi ini, Sivan masih kuat berdiri dan mencoba terlihat biasa saja di depan tenda kesehatan. Padahal semalaman, ia melawan ketakutannya setengah mati.
"Nggak apa-apa. Cuma ngantuk." Sivan melontarkan itu kepada semua orang di pengungsian yang mengkhawatirkan keadaannya. Belakangan ini, ia akui memang ada yang tidak beres pada tubuhnya.
Wajah Sivan sering kehilangan rona. Cara berjalannya menjadi lambat. Suaranya semakin terdengar pelan. Tubuhnya bisa tiba-tiba kehilangan tenaga, melemas seperti orang tak pernah makan. Yang paling membuat Sivan takut adalah kunang-kunang nakal yang kadang muncul di penglihatannya. Karena, jika mereka datang, Sivan akan kehilangan pendengaran, lalu diseret oleh gelap. Sivan masih beranggapan semua itu terjadi akibat kelelahan di pengungsian dan hukuman tambahan yang Kakek berikan.
Evan dan Juno menjadi dua orang paling mengkhawatirkan Sivan di pengungsian. Setiap selesai bertugas, Juno selalu menelepon Sivan melalui sambungan WhatsApp. Selain WhatsApp, Evan rutin mengirim pesan via facebook. Sayang, hampir satu minggu lebih Sivan tidak aktif di sana. Jawaban Sivan tetap dan selalu sama. Ia berbohong menggunakan kalimat yang biasa perempuan katakan ketika marah,"Aku nggak apa-apa."
Pada mulanya, Haris menerima keterlambatan Sivan pulang malam. Ia pun tak pernah membahas Sivan pulang diantar relawan bermasker hitam sampai di depan gerbang rumah. Untuk malam ini, pikiran Kakek merambah ke mana-mana. Hati Kakek memaksa untuk tidak menerima keterlambatan cucunya. Ia tak sepenuhnya menyalahkan Sivan, atau pihak relawan yang menghidupkan kembali kegiatan relawan PMR. Sebagai pensiunan tentara, Kakek tentu mendukung berbagai kegiatan yang berhubungan dengan kemanusiaan.
Yang justru menjadi sasaran amukan Haris adalah sekolah Sivan. Semenjak Gunung Merapi erupsi, diam-diam Kakek mencaci sekolah cucunya. Ia beranggapan, pihak dari sekolah melanggar peraturan dengan membiarkan siswa bertugas sampai malam. Haris belum tahu, bahwa dalam peraturan sesungguhnya, siswa bisa memutuskan pulang jam berapa saja. Asalkan semua tugas sudah diselesaikan. Juga menyesuaikan situasi di masing-masing barak pengungsian.
Tanpa sepengetahuan cucunya, Kakek menculik gawai Sivan untuk menghubungi sang wali kelas. Guru wali kelas Sivan adalah seorang pria muda. Masih berusia pertengahan dua puluh tahunan. Ia merupakan guru baru yang tahun ini diterima menjadi pegawai negeri di sekolah Sivan. Guru itu mengangkat panggilan Sivan dengan gaya milenial yang bersahabat.
"Halo, Siv. Ada apa pagi-pagi sekali telepon bapak?" Suara dari sambungan telepon menyambut ramah. Kakek menelan ludah kelu, mencoba menahan emosi mendengar suara santai sang wali kelas. Suara santai namun penuh perhatian itu terdengar tidak sopan di telinga Kakek.
"Saya bukan Sivan, saya Kakek Sivan."
"Oh, saya minta maaf. Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Guru tersebut memilih memanggil Kakek "Pak" sebagai bentuk rasa penyesalan.
"Saya hanya ingin memberikan sedikit saran. Sebaiknya pihak sekolah tidak membiarkan muridnya mengikuti kegiatan relawan PMR sampai malam. Apalagi sudah tiga hari ini Gunung Merapi sedang erupsi."
"Maaf, Pak. Kami dari pihak sekolah hanya mengikuti aturan dari organisasi relawan. Sebenarnya-"
"Aturan macam apa! Dengan membahayakan keselamatan para murid, peraturan macam apa itu!"
"Mohon tenang dulu, Pak...,"
"Kalau tidak bisa menjaga murid sebaiknya tidak perlu membangga-banggakan murid dengan cara menjadikan mereka relawan! Cari saja murid-murid yang memang bersedia sendiri menjadi relawan!"
"Mohon maaf, Pak. Memang sejak awal seperti itu peraturannya. Para murid yang ikut menjadi relawan PMR Merapi Siaga tahun ini adalah murid-murid yang dengan sukarela, sesuai dengan niat suci hati mereka sendiri, bersedia untuk menjadi relawan. Jadi, sama sekali tidak ada paksaan dari pihak sekolah, Pak. Apa Sivan tidak memberitahu hal tersebut kepada Bapak?"
Kakek menelan jawaban. Teringat akan permintaan izin Sivan beberapa minggu yang lalu. Sivan berkata, pihak sekolah memilihnya untuk menjadi relawan karena sang cucu masuk ke dalam rangking lima besar. Jari-jari Kakek meremas gawai Sivan seperti hendak menghancurkannya. Suara wali kelas di sambungan telepon melanjutkan pembicaraan.
"Halo? Pak? Seharusnya Sivan bilang seperti itu saat meminta izin kepada Bapak. Karena setiap murid kami wajibkan untuk membuat surat pernyataan bersedia mengikuti kegiatan relawan PMR Siaga Merapi sesuai dengan kemauan diri sendiri. Apa Sivan tidak memberikan surat itu kepada Bapak?"
Remasan Kakek kian membrutal. Tidak tahan, Kakek mematikan sambungan bergitu saja. Melempar gawai Sivan sembarang di atas meja belajar. Dentuman gawai Sivan menghantam meja, mengagetkan sang pemilik yang baru saja membuka pintu kamar untuk mengambil tas. Kakek berdiri geram di depan meja belajar. Ia merasakan Sivan mendekat, melihatnya memasukkan gawai ke dalam tas, dan menggendongnya di belakang punggung.
"Kek, Sivan pamit mau berangkat," Sivan mengulurkan telapak kanannya di depan tubuh kaku Kakek. Senyum manis sedikit pucatnya menjeda sejenak kemarahannya. Namun, kenyataan bahwa Sivan tidak memberikan surat pernyataan mengikuti relawan PMR, mengakibatkan bom emosi Kakek meledak sempurna.
Kakek terus memperhatikan telapak tangan putih Sivan. Ia menggerakkan maju telapak tangannya. bukan untuk menggenggam telapak tangan Sivan dan berkata hati-hati seperti biasanya. Kakek justru menampar keras telapak tangan Sivan.
"Mulai hari ini, kamu berhenti jadi relawan PMR. Jangan datang ke pengungsian itu lagi." Final Kakek. Wajah pucat Sivan kehilangan warna sepenuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...