57.

252 18 0
                                    



Angin sejuk memainkan rambut Evan. Membuat punggung tegapnya bangun tak terarah. Pria itu menggaruk kepala. Hanya beberapa detik lantas menghentikannya. Merasakan sesuatu lain di bawah kaki. Sesuatu itu terasa halus. Berwarna kuning dan bersinar menyerupai emas. Evan ingin berteriak. Namun, yang ia lakukan justru mempertahankan emosinya. Evan sadar ini mimpi. Karena di depannya kini, ada Sinta berdiri memandangnya sinis.

Sinta memakai gaun terakhir sebelum meninggalkan Evan dan Sivan selamanya. Berwarna kuning cerah dengan motif renda-renda. Wajahnya tak menua. Ber-make up dan tidak pucat seperti hantu gentayangan. Mungkin pengaruh pemandangan cerah pantai, wajah Sinta menjadi kelihatan lebih hidup. Sinta menendang-nendang pasir putih di bibir pantai. Evan ingin memeluknya dari belakang. Logika berbisik istrinya tidak nyata. Sinta hanya ilusi mimpi semata.

"Jahat! Jahat! Jahat banget!" marah Sinta ditujukan untuk Evan yang masih duduk termenung di hamparan pasir. Meskipun mimpi, Evan bisa merasakan kemarahan Sinta.

"Tumben kamu datang ke mimpiku." Evan mengela napas, memandang sendu semburat biru langit yang seperti menyatu dengan laut. Baru kali ini, Evan bermimpi bertemu orang mati dengan pemandangan seindah ini.

"Tega sekali kamu buat Sivan jadi kayak gini!" teriakan Sinta tidak juga mereda. Tetap enggan memandang suaminya. Evan mengamati permainan angin laut menggerakkan ratusan helai rambut di bahu Sinta. Wajah datarnya punggung sang istri penuh perasaan kerinduan yang mendalam.

"Maafkan aku, Sinta. Aku gagal mempertahankan Sivan," sesal Evan. Kepalanya menunduk. Hatinya benar-benar hancur.

"Kamu harus lebih banyak belajar untuk jadi ayah! Katanya dulu janji bakal jadi ayah yang baik." Suara renyah Sinta mengeras.

"Ya. Aku memang belum pantas untuk menjadi seorang ayah. Aku ayah yang jahat. Sangat jahat. Mumpung aku belum bangun, ayo marahi aku sepuasnya." Jawaban Evan menghentikan dentuman di kaki Sinta. Wanita itu berhenti menendang-nendang pasir. Tubuh rampingnya memutar pelan seperti gerakan menari. Gaun kuningnya mengembang terisi angin pantai.

"Satu kali." Wajah Sinta berhenti tepat di depan hidung sang suami. Ia menyentil dahi Evan menggunakan jari telunjuknya. Bahkan warna cat kukunya pun masih sama seperti saat kejadian penembakan. Sentuhan Sinta terasa dingin.

"Aku beri kamu kesempatan satu kali lagi. Jika kamu gagal, aku akan menjemput Sivan dan membawanya pergi bersamaku," ancam Sinta. Perkataan Sinta terdengar seperti petir menggelegar di dalam telinga Evan. Bagai mendapat kabar mengejutkan, Evan mengakhiri posisi duduknya. Buru-buru menegakkan badan untuk menatap tajam dua bola mata sang istri.

"Jangan! Jangan, Sinta. Jangan pernah kamu lakukan itu," mohon Evan mengiba. Ia tak sadar menggenggam kedua lengan dingin istrinya. Sinta tidak mengatakan apapun lagi. Matanya menangkis peluru tajam Evan dengan bola mata hitam nan kosong.

"Kumohon! Jangan bawa Sivan pergi! Aku masih mempunyai banyak janji yang belum aku tepati!" Evan terus mencegah. Ia tak akan membiarkan sang istri melakukannya. Karena apabila itu menjadi nyata, Evan tak akan mampu mencegahnya walau dengan beribu cara. Ia tak akan rela Sivan pergi selamanya. Sivan adalah satu-satunya harta berharga yang ia punya. Satu-satunya yang membuatnya bertahan melawan perasaan bersalah.

"Sivan harus tetap bersamaku! Dia tidak boleh menyusulmu!"

Teriakan berujung igauan keras Evan membangunkan Janu, Joe, dan Beton. Kepala mereka menyamping, menuju tubuh sang bos yang meringkuk di bagian utara. Janu yang paling dekat, bergegas menyelamatkan Evan. Ia memanggil nama lengkap sahabatnya. Pada panggilan keenam, barulah kedua mata elang Evan menyala. Evan menyuruh mereka melanjutkan tidur. Keesokan harinya, ia tidak menceritakan mimpinya kepada siapapun.

Hendra melunasi semua denda penjara Evan. Termasuk hutang-hutang penjaga sipir yang meminjamkan Evan gawai untuk menghubunginya diam-diam. Pemberkasan dan administrasi benar-benar membuat mereka harus melipatkangandakan kesabaran. Heran memang. Zaman semakin canggih dan serba digital. Untuk urusan kertas-kertas memerlukan waktu berhari-hari bahkan hampir satu bulan lamanya.

Selagi menunggu Evan dan lainnya menghirup udara bebas, Juno dan Anita berusaha merawat dan menjaga Sivan sekuat tenaga. Juno tak pernah absen mengunjungi Sivan setiap hari. Sepulang sekolah, ia setia menemani. Tiga hari sekali, Anita tak pernah datang terlambat mengontrol kesehatan Sivan. Kakek bersedia menerima bantuan dari Anita. Tidak seperti Evan. Kakek tidak pernah meragukan kemampuan semua dokter yang telah diberi sumpah dan bersertifikat.

Dokter Retnosari berkunjung satu minggu sekali. Ia cepat akrab dengan Anita karena mereka berdua mempunyai banyak relasi. Beberapa kali mereka berkonsultasi bersama rekan dokter Anita. Seorang dokter spesialis pembuluh darah yang akan menangani Sivan selama proses pengobatan.

"Masih belum mau bicara?" Anita rutin bertanya seperti itu seusai mengobservasi tubuh Sivan. Pertanyaan yang selalu dijawab Juno dengan gelengan kepala tak membahagiakan. Mereka berdua selalu mengakhiri perbincangan dengan saling meratapi dinding kamar Sivan. Wajah mereka kelihatan tidak pernah bahagia.

Berbagai macam cara menyenangkan sudah Juno lakukan. Segala metode medis pun Anita praktikan. Ia sempat mendiskusikan perihal penyakit Sivan dengan seorang profesor senior di almamater kampusnya. Profesor tersebut mengatakan, Sivan membutuhkan waktu sebagai salah satu penyembuhnya. Karena trauma Sivan telah mempengaruhi kondisi fisiknya.

Aktivitas Gunung Merapi tidak lagi berbahaya. Ia kembali menjadi gunung api aktif yang bisa didekati dari jarak normal. Barak pengungsian sepi dtitinggal satu per satu penghuninya. Para warga yang dulu menetap sementara di keluarga Yogya sebelah selatan, kembali pulang. Hewan-hewan ternak pun lebih lahab memakan rumput di kandang semula. Tempat-tempat wisata ramai didatangi pengunjung yang belum pernah mampir ke Gunung Merapi. Semesta ikut menyembuhkan kesedihan warga. Memberikan kesuburan tanah dan pasir.

Satu bulan Sivan menjadi pangeran murung yang tak pernah bicara. Saat cahaya matahari sore melukis dedaunan hitam di wajah Sivan, Juno mendadak teringat sesuatu. Ada satu cara menyenangkan yang belum ia lakukan untuk memancing Sivan bicara. Hari berikutnya, Juno datang membawa layang-layang biru yang sengaja ia gambari kepala Ultraman menggunakan tangannya sendiri.

Juno mendorong kursi roda Sivan sampai di tempat dulu sahabatnya biasa berjemur waktu kecil. Tempatnya telah diubah Kakek menjadi jalan setapak bermotif batu-batu besar seukuran bola basket.

Kaki Juno melangkah mundur hingga menabrak gerbang masuk. Juno mengulang kembali kenangan itu. Kejadian ia mengejar layang-layang putus dan bertemu Sivan pertama kali. Juno berjalan lagi ke depan membawa langkah mengendap-endap. Setelah tubuhnya berada di samping Sivan, ia menaruh perlahan layang-layang itu di pangkuannya dari atas. Juno membuat gerakan seolah-olah layang-layang itu benar-benar jatuh dari langit.

"Ehem ...." Pura-pura serak Juno mengatur suara. "Hai." Ia berakting menyapa Sivan tanpa mengubah nada beratnya. Sivan tak merespon apa-apa. Berkedip pun tidak. Ia seperti robot rusak yang memerlukan perbaikan segera. Sama persis seperti sepuluh tahun yang lalu. Hati Juno diserbu kabut kelabu. 

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang