15.

743 84 8
                                    

Jakarta, 2011

Sinta meremat boneka beruang mini yang berhasil diambil Evan menggunakan mesin pencapit. Sang suami sibuk menjaga keseimbangan seonggok daging menggemaskan di atas pundak. Ayah dan anak itu sedang beradu pendapat. Membicarakan badut mall yang terlihat menyeramkan. Kemudian saling melempar tawa, teringat hidung badut yang kebesaran. Hati Sinta menghangat mendengar celotehan mereka dari belakang.

"Sivan mau makan apa?"

"Es krim, ya, Ayah."

"Es krimnya nanti aja. Makan nasi dulu, ya," sahut Sinta di belakang Evan.

"Iya, Ma."

Mereka bertiga mampir di sebuah restoran sederhana. Sinta yang meminta. Ayam goreng paling lezat dipesan untuk Sivan. Evan membelah daging menjadi potongan kecil-kecil. Dengan lembut Sinta memasukkan satu per satu nasi ditambah daging ke dalam mulut mungil Sivan. Putra kecilnya bersemangat mengunyah. Sivan makan dengan bahagia.

Wajah serius Evan menyuir daging ayam, membuat Sivan mengira ayahnya tertekan. Bocah enam tahun itu meminta dengan sopan sendok nasi dari jemari Sinta. Menaruh satu suir daging di atas nasi dan mengantarkan sampai ke depan mulut Evan. Evan memperhatikan sendok yang ditawarkan putranya. Sinta memberi isyarat untuk membuka mulut. Ia pun menurut. Sivan kecil tersenyum bangga.

"Ayah, enak nggak?" Sivan bertanya. Masih menggenggam sendok yang kini sudah kosong.

"Sangat enak," jawab Evan menyingkirkan satu butir nasi di sudut bibir Sivan.

Sejak dalam kandungan, Sinta telah dirancang Ayah menjadi tentara wanita demi masa depan keluarga. Itu bisa jadi masalah besar bagi Evan. Evan adalah putra seorang pengusaha. Besar kemungkinan kedua orang tua Sinta menginginkan menantu prajurit negara. Mengingat Ayah Sinta seorang tentara berpangkat. Evan akan langsung tamat jika itu menjadi nyata. Ia tak punya latar belakang kemiliteran sama sekali. Keluarga Sinta dan Evan sudah bertentangan sejak awal. Evan bisa melihat hamparan bebatuan terjal menanti hubungan mereka di depan.

Tuhan telah menulis takdir Evan dan Sinta untuk tetap bersama. Sewaktu kegiatan study tour ke Bali, tubuh Sinta tersapu ombak tinggi secara tiba-tiba. Gadis itu terseret sampai ke bagian pasir paling dalam. Melihat tubuh kekasihnya semakin menghilang, Evan menceburkan diri ke laut. Ia berenang cepat dari tepi laut menuju ke tengah untuk menyelamatkan Sinta. Sinta lolos dari maut, namun kehilangan kesadaran selama satu pekan. Tujuh hari berturut-turut Evan rutin ke rumah sakit menunggu Sinta siuman.

Kesetiaan dan keseriusan Evan menarik perhatian Haris. Evan memanfaatkan itu untuk memperkenalkan diri sebagai kekasih Sinta. Haris memberi restu hubungan mereka setelah mengetahui bahwa Evan pahlawan yang menyelamatkan putrinya. Tragedi tenggelam itu mengakibatkan paru-paru Sinta rusak parah. Cita-cita menjadi tentara wanita hancur dalam sekejab. Sinta dipastikan tidak akan bisa bertahan jika latihan terus dilanjutkan. Tak ada harapan paru-paru Sinta sembuh seperti sediakala karena kerusakannya cukup vital.

"Janji sama saya. Kamu akan selalu mencintai, merawat, dan melindungi anak saya. Tolong bawa Sinta kemanapun kamu pergi. Jangan pernah meninggalkannya sendiri. Dia sudah terlalu lama sendiri selama aku pergi." Kalimat panjang itu diucapkan Haris dua hari sebelum Evan memasangkan cincin pernikahan di jari Sinta. Terbukti sejak dulu Haris memang memperhatikan Sinta. Pria itu tak pernah merasa tenang meninggalkan putrinya ketika harus pergi demi melaksanakan tugas negara.

"Saya berjanji, Om."

"Sinta adalah alasanku dan istriku untuk hidup. Karena ia satu-satunya darah daging kami."

"Saya bersedia mempertaruhkan nyawa saya untuk Sinta."

Meskipun gagal menjadi tentara wanita, Sinta berhasil menjadi istri setia dan ibu yang baik untuk Sivan. Setelah menikah, Sinta berubah total. Sifat dan gaya berpakaiannya jauh berbeda. Ia menjadi Sinta yang seperti Dewi Sinta. Wanita cantik nan anggun dengan tutur kata lembut dan senyum manis yang memikat. Setiap hari, Sinta memakai gaun berbunga. Sinta tidak lagi tertarik pada balapan liar. Dan, keahlian beladirinya menghilang seiring waktu berjalan.

Tidak seperti biasanya, rumah minimalis bercat abu-abu pucat itu dipenuhi suara. Evan menepati janjinya merayakan ulang tahun pernikahan di rumah. Mengadakan pesta kecil-kecilan bersama dua orang paling berharga di hidupnya. Evan juga mengabulkan permintaan Sivan untuk memakai kostum pahlawan Superman. Demi menyenangkan harta karun super imutnya.

"Sivan, ayah keren tidak?" Evan bertanya sambil memperagakan Superman terbang.

"Keren sekali. Ayah seperti Superman sungguhan." Sivan menjawab antusias diikuti tepuk tangan.

"Itu karena tubuh Ayah berotot, Sivan. Coba kalau tubuh Ayah kurus, pasti kayak orang-orangan sawah." Sinta ikut menyahut sambil mencabuti beberapa lilin ulang tahun yang beberapa saat lalu berhasil ditiup.

"Hahaha! Sekarang, ayo ikut ayah terbang!" Evan menaikkan tubuh mungil Sivan dan menaruhnya di atas pundak. Kedua kaki kecil Sivan menendang-nendang dada Evan dengan wajah girang. Sivan berteriak kencang ketika Evan mulai berlari meniru adegan Superman terbang. Sinta menghentikan kesibukannya memotong kue. Ia mengambil kamera. Mengarahkan lensanya ke wajah Evan dan Sivan.

Selesai memutari ruang tamu yang cukup luas, Evan duduk memangku tubuh Sivan di atas sofa. Mereka berdua sama-sama melihat Sinta, yang kini melanjutkan memotong kue ulang tahun pernikahan.

"Ulang tahun Sivan yang ketujuh tahun besok, Sivan ingin ayah memakai kostum apa?" ucap Evan sambil memaju mundurkan dagunya di kepala Sivan. Wajah girang Sivan mengkerut. Ia menggunakan kesepuluh jarinya, mulai menghitung.

"Umm, Spiderman sudah, Batman sudah, Ironman sudah, Antman juga sudah. Duh, apalagi, ya ... oh, iya!"

"Apa? Sivan ingin ayah jadi apa?"

"Sivan ingin melihat Ayah pakai kostum Gunung Merapi." Mendengar sang putra dengan polos mengatakan itu, Sinta tidak tahan untuk tertawa. Bahkan sampai terbahak-bahak.

"Lho, kok, Sivan ingin ayah menjadi Gunung Merapi? Gunung Merapi itu bukan orang, Sivan."

"Iya, Ayah, Sivan tau. Kemarin, waktu kita ke rumah Yogya, Nenek cerita tentang Gunung Merapi. Kata Nenek, Gunung Merapi tidak pernah ingkar janji. Karena itu, Sivan ingin Ayah memakai kostum Gunung Merapi."

"Kenapa?"

"Karena Ayah seperti Merapi. Tidak pernah ingkar janji." Evan tidak menertawakan alasan Sivan dan terus mendengarkan. Sivan mulai berpikir keras.

"Oya, Ayah, Sivan ingin minta janji lagi boleh?"

"Janji apa?"

"Sivan ingin Ayah berjanji. Mulai hari ini, Ayah nggak akan pergi-pergi jauh lagi. Kalau Ayah harus pergi, Sivan ingin Ayah berjanji supaya Mama sama Sivan juga diajak pergi."

"Dengar, Sivan. Ayah pernah bilang, kan, kalau beberapa hari ini ayah diikuti orang-orang jahat?"

"Hmm."

"Nah, kalau Sivan sama Mama ikut Ayah kemanapun ayah pergi, kalian berdua juga akan diikuti orang jahat. Sivan tidak takut?"

"Nggak. Kan, ada Ayah. Ayah akan melindungi Sivan sama Mama."

"Iya, itu pasti. Tapi, lebih aman lagi kalau Sivan sama Mama berada di rumah. Ada bodyguard Ayah yang akan menjaga Sivan sama Mama."

"Tapi, setiap sore mereka pulang, Yah. Ngomong-ngomong beberapa hari ini ada suara-suara aneh di rumah. Sivan juga beberapa kali melihat bayangan hitam. Sivan sama Mama ketakutan karena Ayah nggak ada di rumah."

"Benar itu, Sinta?"

"Iya. Tapi, mungkin cuma perasaanku aja. Udah, nggak usah dipikirkan. Mungkin aku kebanyakan menonton film Hollywood dan Sivan terlalu kesepian di rumah," terang Sinta. 

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang