43.

265 21 0
                                    



Hujan abu mengurung orang-orang di dalam rumah. Bertahan bersama keluarga dengan mata dan pikiran tetap was-was. Atau melamun di depan jendela. Melihat jutaan abu berbaris yang bau, namun terlihat indah seperti salju. Jalan-jalan sepi. Mobil menjadi penguasa yang sering menampakkan diri. Sesekali sepeda motor menyusul dengan membawa tubuh pengendara berlapis mantol tebal. Lantunan azan terdengar dari kejauhan, Sivan merasa perlu menghentikan langkah.

Perjalanan Sivan terhenti lima meter di depan sebuah kedai boba. Pemiliknya menutup kedai sementara untuk mempersilakan Gunung Merapi melaksanakan janjinya. Tempatnya tidak besar. Akan tetapi tidak pantas disebut kecil. Meskipun berukuran sedang, kedai boba itu mempunyai teras panjang menjurus ke depan. Cukup untuk menampung orang-orang kehujanan. Tidak ada pilihan lain bagi Sivan. Hanya kedai itu satu-satunya tempat familiar yang bisa menampungnya sementara.

Langit yang semakin tak bercahaya memaksa Sivan duduk di lantai dingin kedai boba. Sivan membersihkan tubuh dan rambutnya yang sedikit putih terguyur abu. Tidak lupa, ia mengelap gawainya menggunakan bagian kain baju yang tidak terkena abu. Layarnya tetap hitam gelap, meskipun Sivan tidak sengaja mengetuknya dengan keras. Beberapa saat yang lalu, gawai itu kehilangan sinarnya karena kehabisan baterai.

"Juno pasti khawatir," batinnya sambil meniup layar gawai. "Nenek juga pasti sangat khawatir." Sivan menghentikan elusannya pada permukaan gawai. Kemudian menggenggam gawainya dengan jemari yang sedikit gemetar. Menangis seharian membuat tubuh lemahnya mulai kedinginan. Sivan menempelkan dahinya di layar gawai yang masih sedikit terpapar abu. Satu bulir bening lagi-lagi keluar dari sudut matanya.

"Ayah ... khawatir juga nggak, ya ...."

Berulang kali jeep Evan hilang kendali. Hampir menabrak mobil dan menyerempet tiga pejalan kaki. Sepuluh kali Juno meneriaki Evan agar mengendalikan jeep lebih hati-hati. Telinga Evan menuli dalam keadaan seperti ini. Ia tidak akan pernah bisa menurut dengan baik, jika putranya saja sedang tidak baik. Rintihan isak tangis Sivan yang tiba-tiba menghilang dari sambungan telepon, menyebabkan kekhawatiran Evan mencapai puncak dan meledak. Juno terus menerus meyakinkan pria itu jika Sivan pasti ditemukan. Sivan anak baik-baik yang tidak pernah melakukan hal macam-macam. Sebelum ia mengetahui sendiri keadaan sang putra, hati Evan menolak untuk percaya, bahkan jika Janu dan seisi dunia ikut mengatakannya.

Semasa kecil Sivan anak yang sangat penurut. Melakukan semua perkataan Kakek, Nenek, dan Juno tanpa menuntut. Juno berharap kejadian apa pun yang membuat Sivan menjadi seperti hari ini tidak menghilangkan sisi penurut dalam hatinya. Sambil terus mengarahkan jalan untuk Evan, Juno berdoa semoga Sivan tidak melakukan tindakan berbahaya. Semoga Sivan duduk manis di depan kedai boba ketika ia datang.

"Ambil napas, tahan, embuskan. Ambil lagi, tahan lagi, embuskan lagi. Om Evan harus ngelakuin ini juga. Ayo lakukan, Om," bujuk Juno menepuk-nepuk dadanya sendiri. Ia tampak seperti orang dewasa yang berusaha tabah menghadapi cobaan berat.

"Kenapa aku harus melakukannya?" Evan tak mengindahkan arahan Juno. Semua anak sekolah adalah bayi tanpa pengalaman di matanya.

"Om Evan kelihatan panik banget. Cara ini aku dapatkan dari dokter Sivan dan sering aku lakukan untuk menolongnya ketika panik."

"Kamu juga panik."

"Iya. Makannya kita lakuin sama-sama. Biar sama-sama tenang juga."

"Aku tidak pernah memakai cara itu. Panikku bisa hilang sendiri."

Juno ingin menemukan pemandangan Sivan dalam keadaan baik-baik saja dan sedang minum boba kesukaannya. Plang iklan kedai boba menyambut mereka di depan mata. Juno meminta Evan menurunkan kecepatan mobil jeep. Evan melakukannya dengan sepasang mata elang yang tetap melihat apa pun di sekelilingnya. Sama seperti Juno, ia khawatir putranya melakukan tindakan berbahaya. Tak lama meninggalkan mobil jeep, Juno berhasil menangkap tubuh meringkuk Sivan di teras kedai.

"Itu Sivan, Om," ucap Juno lumayan keras. Evan mempercepat melepas sabuk pengaman yang melilit tubuhnya. Keluar dari mobil, bersiap berjalan untuk menyeberang jalan. Namun, Juno mencegat langkah pria bemasker hitam berjalan lebih jauh. Lama-lama tingkah Juno mirip sekali seperti Janu.

"Tunggu! Om Evan tunggu di sini dulu. Biar aku yang menjemput Sivan." Evan memincingkan mata, tidak terima dengan keputusan sepihak anak kecil di depannya.

"Kenapa aku harus menunggu di sini? Biarkan aku yang menjemput sendiri anakku."

"Aku mohon, Om!"

"Jangan seperti Janu. Kamu ini sudah tahu, kan, kalau aku ayah kandung Sivan?" Juno mengangguk cepat agar kelihatan meyakinkan. Sekilas bibirnya menyungging ke atas. Ia mencoba memahami perasaan Evan. Ayah angkatnya pernah sepanik Evan ketika ia pulang malam kesasar akibat mengejar layang-layang putus di jalanan. Juno maklum. Semua ayah di muka bumi pasti akan sepanik Evan apabila putranya menghilang.

"Dalam keadaan seperti ini pikiran Sivan lagi nggak tenang, Om. Dia mudah sekali panik. Sivan butuh ketenangan. Kalau Sivan melihat Om Evan ikut bersamaku, aku khawatir dia jadi semakin panik." Evan meluruhkan tatapan tajamnya. Bayangan Sivan sesak napas di tenda kesehatan beberapa hari yang lalu membuatnya mengikhlaskan kepergian Juno.

"Kalau begitu lakukan secepatnya," putus Evan.

"Siap, Om. Laksanakan!" Juno menyempatkan diri berhormat sebelum berlari kilat menuju teras kedai boba. Kedua bola mata elang Evan menyipit. Tidak untuk mengawasi Juno berlari. Pandangan Evan terpaku dalam, memperhatikan tubuh kedinginan Sivan yang kini menyatukan kedua lutut dan memeluknya di teras kedai.

Juno menjatuhkan lutut di depan tubuh Sivan. Menepuk pelan pundak sang sahabat untuk memanggil namanya. Evan cukup terkesan dengan cara Juno memperlakukan Sivan. Putranya menerbitkan mata lebih dulu menatap Juno. Juno membuka masker berwarna biru muda pemberian Anita. Hanya beberapa saat setelah Juno melepas maskernya, tubuh Juno rubuh. Sivan memeluknya hingga terhuyung ke belakang.

"Kenapa kamu bisa ada di sini, Siv? Kita semua di pengungsian panik nungguin kamu."

"Maaf ... maaf ... maafin aku ...."

Kedua kaki Evan bergerak-gerak tidak sabar ingin segera melangkah. Terlihat Juno menepuk punggung Sivan untuk memberikan kekuatan. Pundak dan punggung Sivan bergerak naik turun tidak teratur. Juno menengok jeep Evan untuk meminta tambahan waktu. Evan memajukan kaki kanannya sembari mengangguk. Beberapa waktu selanjutnya, Sivan lebih tenang di dalam pelukan Juno. Juno mengeluarkan masker baru dari dalam saku, lalu memasangnya di daun telinga Sivan.

"Kita pulang sekarang, ya. Aku anterin."

"Nggak ... jangan ... aku nggak mau pulang ... jangan ... jangan ke rumah ... kak ...."

Evan melompat dari dalam jeep, menyeberangi jalan secara brutal. Kedua mata putranya menutup erat. Tubuh lemas Sivan bertumpu pada Juno sepenuhnya. Juno menepuk lagi punggung Sivan untuk memastikan keadaannya. Semua yang dilakukan Juno menjadi tidak berguna. Kelopak mata Sivan telah menggelap sempurna. Evan mengambil alih tubuh Sivan. Mendekap erat dan menggendongnya penuh ketakutan. Roda jeep kembali berputar menuju ke utara.

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang