Kondisi Sivan memburuk. Tubuh lemahnya menolak apapun. Beberapa hari berubah menjadi hari penuh peluh. Wajah penjaga-penjaga Sivan mulai menampakkan semburat pilu. Sudah satu bulan lebih Sivan mendapatkan penanganan. Fakta lebih sering membuktikan tidak ada kemajuan. Anita memberikan transfusi darah rutin untuk Sivan. Juno menjadi sering menghabiskan malam di rumah Kakek daripada kamarnya yang nyaman.
Bersama seorang pengacara handal, Kakek menambah satu pasal lagi untuk Evan. Membuat pria itu harus lebih lama kedinginan di dalam penjara. Beton dan Joe lebih dulu menghirup udara bebas. Mereka menolak mati-matian dibebaskan, namun Evan memaksa tidak akan memperkerjakan mereka lagi apabila melawan. Kini, mereka berdua bertahan di villa sambil bertukar kabar dengan Juno menggunakan gawai Evan. Janu tidak main-main dengan keputusannya. Setia mendampingi Evan di dalam penjara.
Renjana mengikuti semua aktivitas Juno menjaga Sivan. Meskipun ia lebih banyak pergi keluar rumah bersama Kakek. Entah kemana dua kakek itu menghabiskan waktu bersama. Kepercayaan Juno pada kakek muda itu sedikit demi sedikit berganti menjadi lembaran kecurigaan. Malam minggu yang dipenuhi suara kendaraan, Juno mendengar mereka membahas sebuah rencana yang sudah hampir matang.
Kakek ingin membawa Sivan ke Jepang. Mereka berencana tinggal sementara di apartemen sederhana yang telah Renjana siapkan. Di sebuah kota penuh kedamaian bernama Kyoto. Sivan akan melanjutkan pengobatan di rumah sakit terbaik di sana. Setelah mendengarkan perbincangan mereka, Juno menyegerakan menghubungi Beton dan Joe. Membeberkan rencana Kakek kepada mereka. Joe dan Beton bergegas ke lapas pagi harinya. Evan memukul meja pengunjung hingga punggung tangannya berdarah.
"Sebenarnya apa maunya Ayah. Aku sudah dipenjara. Dipukul, dihajar, dan ditendang pun aku terima!" Evan muak kepada Haris juga dirinya sendiri. Dari dulu ia menjadi yang mengalah, demi bisa memahami Haris. Sampai menjadi suami Sinta pun rasanya tak pernah berhasil. Selalu ada hal-hal yang membuat Haris murka biarpun itu bukan kesalahannya. Apa lagi yang harus Evan lakukan. Ia benar-benar kebingungan dengan jalan terjal yang Kakek ciptakan.
"Kamu sudah lama berteman sama Sivan?" Renjana menyeruput teh hangat manis yang Juno buatkan. Tak mengepul dan sudah dingin namun rasanya tetap lezat di suasana mendung seperti ini. Di sisi depan, Juno telah menghabiskan tehnya sendiri. Mereka berdua bersama-sama menenangkan diri di tengah-tengah suasana buruk yang sedang terjadi.
"Sudah hampir sepuluh tahun, Opa. Aku bertemu bertama kali sama Sivan saat umutku delapan tahun." Sangat berat menjadi Juno saat ini. Ia ingin melihat Sivan sembuh sekaligus menolong Evan bertemu putranya. Semesta belum mau nengabulkan keinginan Juno.
"Syukur Sivan bisa punya teman seperti kamu." Berhari-hari menghabiskan waktu bersama Juno, menyadarkan pria itu akan sesuatu yang selama ini membuatnya terharu. Ketulusan Juno menemani dan menjaga Sivan setiap hari. Menimbulkan rasa iri pada diri pria senja itu. Seumur hidupnya Renjaha tak mempunyai sahabat dekat.
"Aku juga nggak nyangka bisa bertahan sahabatan sama Sivan. Padahal dulu aku hampir nyerah."
"Nyerah karena apa? Dulu keadaan Sivan parah sekali, ya? Katanya sampai tidak bisa berjalan dan harus memakai kursi roda."
"Iya, Opa. Kalau penasaran sama keadaan Sivan dulu, ya seperti inilah keadaannya."
"Mental cucu kakakku pasti tergores cukup dalam. Kasihan sekali Sivan. Di usia yang masih sangat kecil harus kehilangan mama. Lalu, dipaksa berpisah dengan ayah kandungnya."
"Sivan udah nggak kuat, Opa. Makanya dia memilih buat diam. Untuk menahan semuanya sendirian. Ia nggak mau orang-orang ikutan sedih melihat keadaannya."
Seekor burung elang menghinggapi ranting pohon lagi. Letak ranting tempatnya berpijak berada di samping kaca lebar kamar Sivan. Bola mata hitam segelap malam, melihat dengan tajam kepanikan Kakek menggoncangkan tubuh Sivan. Sivan tidak mau membuka mata. Dari dalam hidungnya mengalir banyak darah. Beberapa kali Kakek menghilangkannya, darah itu selalu ada. Renjana hampir gila menuruni tangga. Tangan kanannya menelepon Anita. Tangan kirinya membawa gumpalan tisu bercak merah.
"Sumsum tulang belakang Sivan tidak mampu lagi memproduksi sel darah. Kita tidak bisa hanya mengandalkan transfusi darah. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan Sivan adalah dengan melakukan transplantasi sumsum tulang belakang," peluh membasahi setiap sudut wajah dokter yang baru saja keluar dari ruangan penanganan darurat. Beruntung, Sivan bisa diselamatkan. Sivan masih memilih untuk terus bertahan.
"Apa itu transplantasi sumsum tulang belakang?" panik Kakek, membuat Renjana menolehkan kepala heran. Ia tidak percaya, sang kakak yang terkenal cerdas tidak mengetahui tentang istilah pengobatan medis yang sudah tidak asing diperbincangkan.
"Mari ikut ke ruangan saya. Saya akan menjelaskan tentang prosedurnya," jawab dokter sembari berjalan diikuti Kakek dan Renjana. Tak lama, tubuh Juno dan Anita muncul dari arah belakang. Mereka berdua datang ke rumah sakit bersama-sama menggunakan mobil Anita. Juno berlari lebih dulu dan lebih kencang. Anita berlari sambil membawa suara tangisan. Mereka berdua takut kehilangan Sivan.
"Saya akan mendonorkan! Ambil sumsum tulang belakang saya. Saya kakeknya, pasti ada kecocokkan!" Kakek memohon cepat setelah dokter itu selesai menjelaskan prosedur transplantasi yang akan dilakukan kepada Sivan.
Renjana lagi-lagi menatap datar wajah kepanikan kakak kandungnya. Ia lebih banyak mengetahui transplantasi sumsum tulang belakang daripada Kakek Sivan. Mendiang istri Jepangnya meninggal gara-gara transplantasi tulang belakang karena leukemia. Kakek, saudara kandung, bahkan kedua orang tua penuh cinta pun belum tentu memiliki sumsum tulang belakang yang cocok bagi penderitanya.
"Saya juga bersedia mendonorkan. Tolong periksa kecocokan sumsum tulang belakang saya." Renjana dengan tulus menawarkan diri. Kakek memutar cepat kepalanya. Mendarat tepat di bola mata serius Renjana. Ia tersenyum dengan mata memerah. Senyuman yang membuat Renjana mendengar kata terima kasih meskipun bibir kakaknya terkatup rapat.
"Bagaimana dengan ayah dan ibu Sivan? Orang tua kandung berkemungkinan memiliki kecocokan lebih tinggi dari pada saudara dan kerabat lainnya."
"Mereka sudah meninggal! Kedua orang tua cucuku sudah tidak ada! Tinggal aku dan dia anggota keluarganya!" bentak Kakek menunjuk bahu tegap Renjana. Renjana hanya bisa menundukkan kepala.
Mendengar kembali cerita Juno tentang perjuangan Evan menyusul Sivan. Renjana menepuk pelan punggung kakaknya. Hanya tiga kali tepukan, Renjana tidak kuasa melawan ledakan marah dari kedua mata memerah Kakek Sivan.
"Kapan transplantasi sumsumnya bisa dilakukan, Dok?" sela Renjana.
"Jika sudah menemukan pendonor yang cocok, segera kami laksanakan."
"Tolong lakukan secepatnya, Dokter! Cukup satu kali ini saja aku melihatnya kesakitan. Aku tidak ingin lagi melihat cucukku dalam keadaan kritis!" desak Kakek.
"Baik, kita sudah menemukan dua calon pendonor. Terima kasih. Saya akan langsung memindahkan Sivan ke ruangan khusus. Sivan saya masukkan di sana untuk mencegah terjadinya infeksi. Untuk efek samping dan lainnya, akan saya jelaskan lebih detil setelah hasil tes kecocokan keluar." Dokter mengakhiri sementara percakapannya dengan mengalungkan kembali stetoskop di lehernya. Kepanikan Kakek dan Renjana berangsur sirna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...