Ada dua jalan yang bisa dipilih untuk terbebas dari luka. Pasrah membiarkan luka itu tetap menganga. Atau berjuang mengobati luka itu dengan segala cara. Sivan belum bisa menemukan jalan yang sesuai keinginan dan kemampuannya. Sementara Evan menggunakan jalan kedua, yaitu berjuang mengobati semua luka Sivan. Luka-luka yang Sivan derita bukan luka biasa. Ia membutuhkan waktu sebagai salah satu penyembuhnya.
Waktu memang bisa menyembuhkan, tapi tidak akan menghilangkan luka. Meskipun orang yang terluka itu berhasil sembuh, ia akan tetap mengingat kejadian mengerikan selamanya seumur hidup. Setelah semua peristiwa mengerikan dan pahit yang terjadi, Sivan tak berniat sekalipun melepas impiannya sejak kecil. Sivan tak berpikir untuk menyerah.
Menjadi dokter adalah tujuan Sivan mempertahankan prestasinya di sekolah. Ia jatuh cinta pada profesi itu gara-gara mengamati dokter pribadi Nenek yang sering datang untuk mengontrol keadaannya di rumah. Sivan kecil bertekad ingin menggantikan posisi dokter itu merawat Nenek. Terlalu rajin belajar dan mengikuti info-info pendaftaran fakultas kedokteran, Sivan melupakan satu kekurangan yang menjadi batu penghalang terbesar. Ketakutannya terhadap darah.
Melihat darah beberapa detik kepalanya pusing dan dadanya sesak. Detak jantungnya berantakan dan yang paling parah Sivan bisa kehilangan kesadaran tiba-tiba. Sekalipun Sivan tak pernah memikirkan kata menyerah. Ia telah memantabkan diri masuk fakultas kedokteran.
"Kamu pasti sembuh di Jakarta. Ayah janji kamu sembuh di sana. Kamu akan berhasil masuk fakultas kedokteran dan kamu boleh kuliah di kampus manapun yang kamu inginkan," bisik Evan usai membetulkan permukaan selimut Sivan yang berantakan. Elusan lembut Evan berikan sebelum meninggalkan kamar.
Sambil menuruni anak tanggal satu per satu. Evan mengamati aktivitas anak buahnya di lantai bawah. Beton dan Joe duduk saling berhadapan di sofa. Posisi mereka seperti dua pemain catur yang sedang bertempur. Janu mejauhi mereka. Berdiri kaku menghadap kaca. Posisinya paling dekat dengan jendela. Evan mempercepat menghabiskan sisa anak tangga yang harus diinjaknya.
"Masih belum ada kabar dari Juno?" tanya Evan pelan. Dengan pelan pula ia menepuk punggung sahabatnya. Hal itu harus dilakukan karena Janu sedang dalam mode emosional. Terdengar helaan napas berat dari si pemilik punggung lebar.
"Belum, Van. Apa aku batalin aja, ya? Ini salahku juga sok-sokan menyembunyikan semuanya dari awal."
"Jangan, kita tunggu saja. Kalau kamu mau tinggalah dulu di sini sementara waktu sampai Juno memberikan kabar. Aku akan ke Jakarta bersama Sivan dan Joe. Beton akan aku suruh menemanimu."
"Nggak. Aku tetap ikut kalian pulang ke Jakarta."
"Kamu yakin tidak menyesal? Sudah banyak prosedur dan kendala yang kamu terobos demi bisa mendapatkan restu orangtua Juno. Apa kamu tega menyia-nyiakan semua perjuangan yang sudah kamu lakukan begitu saja?" Evan menekan kata menyia-nyiakan. Berhasil, emosi Janu mulai terpengaruh.
"Tapi, dia nggak mau kasih kabar sampai sekarang, Itu sudah membuktikan kalau dia tidak ingin aku angkat menjadi anak ...." Lesu Janu. Pelipis kanannya mengeluarkan satu butir keringat.
"Belum tentu. Siapa tahu Juno kebingungan memikirkan keputusannya sendiri. Dia masih remaja. Pasti dia terserang overthinking setiap malam. Jangan putus asa sebelum hasilnya keluar."
Hampir setiap hari berdoa dan sore tadi Juno mendatangi makam kedua orangtua kandungnya. Mencurahkan semua kegelisahan. Pertama-tama ia menyampaikan kegembiraan atas keberhasilan misinya menyatukan Evan dan Sivan. Selanjutnya ia mulai berkata betapa kagetnya dia sewaktu diberitahu Ayah dan Ibu, Janu hendak mengangkatnya menjadi anak. Juno berharap orangtua kandungnya dapat mendengar dari dalam tanah.
Juno menaburi bunga pada permukaan nisan. Satu butir air meluncur dari sudut mata kanannya. Tak lama ia terisak pelan. Guyuran hujan datang menghantam kepala. Beberapa menit kemudian mengepung seluruh tubuhnya. Juno membiarkan semua rambutnya basah. Tak memakai mantol memacu sepeda motornya sampai di rumah.
Pukul sembilan malam ia terbangun merasakan sesuatu dingin menyentuh keningnya. Ia mendengar suara Ibu angkat sayup-sayup mengajaknya bicara. Namun, suara lembut Ibu terdengar seperti gema yang letaknya sangat jauh.
"Ada jas hujan plastik di dalam jok motor. Tapi, kok, nggak dipakai, to, Le?" gerutu Ibu. Juno terkekeh ringan. Ia masih mengumpulkan beberapa persen kesadarannya.
"Demam, kan, jadinya. Untung Ibu tadi masuk ke kamar buat ambil baju kotor. Kalau ketahuannya pagi nasibmu gimana?"
"Cuma demam, Bu. Juno kuat, kok ...." Akhirnya Juno sanggup bersuara.
"Suara lemes begitu masih mengaku kuat. Sok kuat baru Ibu percaya," tegas Ibu. Juno tertawa ringan.
Ia selalu menyukai Ibu dalam model marah seperti itu. Ibu hanya akan marah saat Juno terluka atau sakit saja. Itu berarti Ibu tidak benar-benar marah. Ia menggunakan kemarahan untuk melampiaskan rasa khawatir. Ibu tak ingin memperlihatkan wajah ketakutannya, karena itu ia menggunakan kemarahan untuk menutupinya. Ketika Ibu marah Juno justru merasa diperhatikan.
"Tadi kenapa lama sekali di pemakaman?" tanya Ibu membaluri lengan Juno menggunakan minyak kayu putih.
"Aku curhat panjang lebar sama Ayah dan Ibu," serak Juno.
"Jangan lupa kasih tahu mereka juga soal Om Janu."
"Sudah tentu, Bu. Sivan dan Om Evan juga aku ceritakan ke mereka. Tapi, mereka diam aja nggak pernah mau ngasih tanggapan. Hahaha." Juno menutup mata merasakan denyutan kuat di kepala bagian atas. Ibu menyadari dahi Juno mengkerut menahan sakit. Ia segera memijit-mijit kepala Juno.
"Kalau mereka nanggepin jadi kayak di film horor, No. Kamu masih belum memberikan jawaban ke Om Janu? Kasihan dia kamu biarkan menunggu."
"Setidaknya aku udah ada jawaban, Bu. Cuma tinggal nyingkirin ragu."
"Kenapa ragu? Itu kesempatan besar dan langka buat kamu."
"Juno nggak tega ninggalin Ayah sama Ibu."
"Ada Kakak kamu. Ayah sama Ibu nggak bakal kesepian kalau kamu nggak ada." Ibu mencoba mengajak bercanda. Tapi, gagal karena suaranya malah bergetar. Ibu masih mengakui Rita sebagai kakak Juno. Itu cukup membuat hati Juno semakin tidak ingin pergi dari Gunung Merapi.
"Aku ngerasa durhaka aja sama kalian. Ayah sama Ibu udah bersedia merawatku dari kecil. Memberiku makan, minum, dan baju-baju bagus. Nggak pernah marah kecuali kalau aku terluka atau sakit. Terus tiba-tiba, saat udah besar aku ninggalin kalian gitu aja."
"Kamu pergi demi mengejar masa depan yang cerah. Ayah dan Ibu sama sekali nggak keberatan."
"Tapi ...."
"Uwes, uwes. Intinya kamu mau, to? Sekarang, biar Ibu hubungin Om Janu."
"Jangan dulu, Bu." Juno memegang lengan Ibu. Menghentikan proses Ibu mengetik pesan di gawai. Ia menyadari cara mengetik sang ibu terlihat tidak normal. Kesepuluh jarinya bergerak semua padahal hanya dua jempol yang digunakan untuk menyentuh layar. Ibu menaruh gawai di kepala ranjang. Wajah penuh isakannya menubruk pundak Juno.
"Pergi ikut Om Janu. Jadilah sarjana. Jadilah orang sukses di sana. Kamu bisa tetap datang ke sini kapanpun kamu mau. Selamanya kamu tetap menjadi anak Ayah dan Ibu." Tak hanya jari-jarinya yang bergetar. Suara Ibu juga ikut bergetar. Hati Juno bergetar. Ayah yang menyaksikan percakapan mereka dari awal menutup pintu dengan mata bergetar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...