46.

247 20 0
                                    



"Sebenarnya kamu kenapa? Ayo cerita. Cerita lagi seperti di barak pengungsian. Keluarkan semuanya. Om akan mendengarkan semua cerita kamu." Lima belas menit Sivan membuka mata, Evan kembali meminta kejujuran kepada putranya. Menggunakan pertanyaan-pertanyaan halus, ia ingin Sivan membagi masalah yang dialaminya. Sesuai fakta yang ada. Bukan bermain menyembunyikan kenyataan seperti ini. Evan tidak pernah bisa menebak kejujuran berdasarkan situasi hati.

Meskipun belum sepenuhnya tenang, Sivan tetap merasa tidak enak. Ia ingin menghargai usaha Evan bersimpati kepadanya. Masih dalam keadaan berbaring, Sivan meraup udara sangat banyak. Agar lebih berani dan agar lebih bisa mengontrol emosi. Ia sudah sangat lelah jika harus menangis lagi.

"Maaf, Om. Sebenarnya, aku nggak jatuh. Pipi kananku membiru bukan karena terbentur besi pembatas jalan," akui Sivan. Evan menaikkan kedua alisnya. Perasaan lega dalam hatinya berpesta karena dugaannya benar. Ia menyuruh Sivan melanjutkan dengan anggukan kepala. Anggukan kepalanya cepat. Evan tidak ingin mengulur waktu untuk membalas siapa pun yang berani menyakiti putranya.

"Kemarin, aku bertengkar sama Kakekku, Om. Gara-gara aku nggak mau menjadi tentara. Kakek menamparku setelah aku bilang ingin menjadi dokter. Apa menjadi dokter itu salah, Om? Bukankah dokter adalah pekerjaan yang mulia? Atau, apa aku nggak pantas untuk menjadi dokter, Om?" Sepertinya Evan memang harus mengulur waktu. Ia tidak mungkin membalas perlakukan Ayah mertuanya saat ini juga.

"Kamu pantas menjadi dokter dan menjadi apa saja, Sivan," sahut Evan. Karena, kamu putra ayah, kamu berhak menjadi apa saja. Telapak tangan besar Evan mendarat di kepala Sivan. Mengumpulkan rambut Sivan menjadi satu, kemudian mengelusnya dengan gerakan memutar. Sentuhan Evan selalu membuat Sivan merindukan ayahnya. Ia memilih memejamkan mata, menahan hati yang ingin mengacaukan pikiran.

"Terima kasih sudah mau jujur dan menceritakan semuanya sama Om," ucap Evan kemudian. Intonasi suaranya terdengar lembut. Anak semata wayangnya hanya mengangguk. Kedua matanya mulai mengantuk. Mimpi kembali mengetuk-ngetuk ingin masuk. Sivan hanya mampu mempertahankan kesadaran selama dua puluh menit. Anita memberikan bocah itu obat berdosis tinggi kemarin. Evan mengambil baskom kecil yang masih dipenuhi air hangat. Mencelupkan handuk putih, memeras, dan mengompresnya di pipi kanan Sivan.

Kepanikan hebat menyerbu Juno hari ini. Tanpa firasat dan tanpa pertanda. Selesai acara penutupan relawan PMR Siaga Merapi, kedua orangtua Juno meneleponnya. Bukan meminta Juno untuk pulang. Dunia masih terang. Matahari membara membagikan cahaya panasnya. Suara Ibu setengah berbisik mengatakan, Kakek Sivan sudah duduk di kursi ruang tamu. Menunggunya selama lima belas menit. Suara Ayah menambahkan, Kakek bertanya terus tentang keberadaan Sivan. Juno pun menaikkan angka kecepatan sepeda motornya.

Mobil sedan silver Kakek menyambut di depan rumah sederhana Juno. Hanya melihatnya saja, Juno sudah merasa dimarahi. Ban mobilnya hampir membentur pembatas jalan. Ayah angkat Juno sering kebablasan, menghentikan mobil Kijang tuanya di posisi seperti itu apabila mengendarainya dalam kecepatan tinggi. Ibu menyambut Juno dengan melambai cepat sekali. Ia merampas tas gendong Juno.

Ibu yang biasanya membawa Juno ke dapur, memamerkan kreasi masakan terbarunya, kali ini mendorong keras punggung Juno sampai kakinya menyentuh lantai ruang tamu.

"Sivan pergi dari rumah. Kamu pasti tahu itu, kan?" Belum sempat Juno menyapa, pertanyaan itu melesat dari mulut Kakek. Hanya beberapa detik setelah wajah Juno hadir di ruang tamu. Juno melirik Ayah angkatnya. Bermaksud meminta bantuan. Namun, posisi duduk sang Ayah kelihatan sangat tegang. Juno tidak tega. Ibu Juno tidak tahan dengan atmosfer seram ketiga pria, berlari kecil ke arah dapur. Tas gendong Juno menemaninya di sana.

"Iya, Kek. Maaf karena nggak langsung memberitahu Kakek," pasrah Juno. Kakek menyentuh dagu tanpa mengangguk. Otak Juno dipenuhi kabut. Tuhan, tolong selamatkan Juno.

"Beritahu aku di mana Sivan sekarang." Selain terguncang, Juno juga diserang dilema berat. Haruskah dia menjawab jujur untuk kedua kalinya. Jika iya, maka ia akan menghancurleburkan perjuangan sekaligus harapan Evan. Jika tidak, ia akan menjerumuskan Sivan ke dalam jurang kesedihan yang panjang. Tuhan, Juno kebingungan sekarang. Ia butuh jawaban keajaiban. Jawaban yang sekaligus bisa menolong ayah dan anak malang yang saling merindukan. Tanpa mengorbankan kebahagiaan keduanya.

"Kemarin, aku menemukan Sivan di depan kedai boba, Kek. Dia kelihatan kurang enak badan. Pas aku mengajaknya pulang, Sivan tiba-tiba pingsan. Nggak sengaja salah satu pembimbing relawan melihat kami di jalan. Ia memberikan kami tumpangan. Karena panik, relawan itu membawa Sivan ke villanya. Sampai sekarang, Sivan ada di villa relawan itu, Kek." Keajaiban tidak berpihak kepada Juno. Maafkan aku, Om Ivan.

"Relawan? Siapa namanya?" selidik Kakek penuh curiga.

"Namanya Om Ivan, Kek."

"Sivan pernah bercerita tentang dia di rumah." Kakek berhenti menyentuh dagu.

"Orangnya sangat baik, Kek. Dia membantu kami selama ...."

"Antar aku ke villa dia sekarang." Potong Kakek. Kewarasan Juno porak-poranda. Hancur berkeping-keping.

Semuanya terjadi begitu cepat. Juno sengaja membuat mobil sedan Kakek kebingungan. Ia mengarahkan ke sembarang jalan, agar mendapatkan cukup waktu mengabari Evan. Tak lupa, Juno juga menyuruh Janu pulang ke villa untuk berjaga-jaga. Ia menulis permintaan maaf sangat panjang ke WhatsApp Evan. Pria itu tidak membalasnya, tetapi dalam satu detik pesan Juno membiru seperti kilat. Hampir setengah jam perjalanan memutar-mutar itu, Juno menunjukkan jalur yang tepat menuju villa Evan. Meskipun berharap Evan memaafkannya, ia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.

Sivan harus terbangun dalam keadaan kaget. Janu mendobrak pintu kamar Evan. Ia membentak, memberitahu perihal kedatangan Kakek Sivan. Evan marah-marah kepada Janu. Dan, suara mobil sedan menderu menghentikan amukan Evan. Sivan bergegas bangun dari tempat tidur. Ia sangat mengenal suara mobil itu. Khusus hari ini, Sivan takut setengah mati mendengar suara mobil sedan Kakek. Diikuti Evan yang masih menggerutu dan Janu yang berusaha meredam emosi sang sahabat, Sivan berjalan turun ke lantai satu. Pijakannya di anak tangga kelihatan tidak stabil.

Jika semesta mengizinkan, Evan ingin membalas tamparan Kakek saat ini juga. Tanpa permisi, Kakek membuka pintu villa Evan. Kemarahan mengumpulkan kekuatan di seluruh tubuhnya. Wajah tegas Kakek menyembulkan otot-otot berisi kemarahan. Juno ketakutan melihatnya. Khawatir tiba-tiba otot itu putus dan pecah. Sivan menyambut Kakek. Berwajah menyesal. Sesampainya di kursi tamu, mereka berdua saling memandang lama.

Kemarahan mendominasi otak pensiunan perajurit negara itu. Dengan mudah ia memerintahkan tangannya bergerak naik ke atas. Evan menyembulkan bola mata. Ia melihat dengan kedua mata yang hampir keluar. Putra yang sedang ia perjuangkan terluka. Untuk kedua kalinya, Kakek menampar pipi kanan Sivan. Perjuangan Evan semalaman mengobati pipi Sivan menggunakan air hangat sia-sia.

"Maafin Sivan, Kek ... Sivan sangat menyesal ...." Rintih Sivan memegang pipi kanannya yang kembali nyeri. Juno membenci dirinya sendiri. Ia gagal melindungi Sivan. Kekagetan luar biasa, mengunci pergerakan kakinya. Janu satu-satunya manusia yang masih bisa mengontrol emosinya memfokuskan pandang pada Evan. Sahabat terbaiknya kelihatan bersiap untuk meledak.

"Nenek masuk rumah sakit terkena serangan jantung. Puas kamu!" bentak Kakek. 

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang