90. Sivan: After Story

193 30 2
                                    

"Ayah tahu kamu sudah menginjak dewasa dan ini sangat terlambat. Tapi, Ayah mohon tolong diterima, ya," ucap Evan memandang teduh sosok yang sibuk menyentuh satu per satu paket berisi mainan. Setelah dihitung, jumlahnya melampaui dugaan. Lebih banyak dari sepuluh buah. Sejujurnya, Sivan bingung mau diapakan semua mainan ini selain dipajang. Layang-layang gapangan pemberian ayahnya tempo lalu saja berakhir menggantung di dinding ruang kerja Evan. Di Yogya, Kakek pernah membelikan mainan tembak-tembakkan dan mobil perang.

Semua mainan di dalam paket adalah lego, robot, dan figur superhero kesukaan Sivan semasa kecil. Sivan tahu maksud ayahnya baik. Ia pun berusaha memahami. Usai mengucapkan terima kasih, Sivan tidak mengatakan apa-apa lagi. Saking bahagia karena mainan-mainan itu sesuai keinginan anaknya, Evan diserbu nostalgia. Ia ingat sering pulang kerja terburu-buru mampir ke kamar Sivan. Tanpa mandi dan melepas jas kerja, demi menemani ritual tidur putranya. Mendengarkan aneka celotehan tentang superhero favorit Sivan. Baru setelah kepergok Sinta, ia diusir dari kamar anaknya. Rasa-rasanya Evan ingin mengulang itu semua.

"Ayah, maaf. Aku bingung mau diapakan semua mainannya," ujar Sivan memasang wajah kebingungan.

"Disimpan saja, Ayah akan belikan lemari kaca khusus mainan." Evan menyahut. Dengan sabar membantu memisahkan mainan berdasarkan ukuran dari berbagai macam plastik bergelembung yang membungkus.

"Wah!" Ketakjuban Sivan menghentikan jari-jari Evan melipat kardus. Ia merasakan kehadiran Sivan kecil di tubuh anaknya.

"Ada apa?"

"Ini mainan yang dulu aku inginkan. Aku pernah melihatnya waktu menemani Mama belanja di mall. Ya ampun, ternyata masih ada sampai sekarang. Kok bisa Ayah menemukannya?" Sivan tersenyum menggetarkan hati Evan.

Sambil merasa bangga, Evan merampas pelan-pelan mainan Superman dari genggaman Sivan. Mengamatinya dengan teliti seperti seorang ilmuan terkemuka menemukan benda bersejarah langka.

"Kenapa dulu kamu tidak minta Ayah untuk membelinya?" Evan mengatakan itu berwajah tidak terima.

"Harganya mahal sekali, Yah," kelu Sivan. Pengertian sejak kecil adalah salah satu bakat terpendamnya. Evan mengambil HP lagi dan membuka toko online hijau untuk menilik ulang harganya. Kejujuran Sivan tak perlu diragukan. Harganya betul mahal dan bisa untuk membeli persediaan makan berbulan-bulan. Itu tidak menjadi masalah besar karena Evan merasa sanggup membelinya.

Ia mengembalikan figur Superman ke tangan Sivan. Anaknya melakukan hal sama, mengamati setiap sudut seperti kolektor mainan sungguhan. Terpesona setiap detail warna-warna tajamnya. Tanpa disuruh, Sivan memilih menaruhnya di meja samping ranjang.

"Karena dari kecil aku menginginkan mainan ini, jadi aku taruh di sini saja, ya." Dengan lugu putranya melakukan itu. Benar-benar jelmaan Sinta apabila mendapatkan barang baru. Ia akan menaruhnya tidak jauh-jauh supaya bisa dipandang setiap waktu. Melihat Sivan mengatur posisi miniatur sambil membungkuk di depannya, Evan tidak kuasa lagi menahan senyuman. Ia melepasnya sembari menyentuh rambut Sivan.

"Terima kasih sudah mau menerima semuanya."

Di suatu tempat, di hati dan pikiran paling dalam. Evan melihat Sivan kecil tersenyum bahagia ke arahnya. Ia berhasil menyelamatkannya dari kekecewaan panjang. Masih banyak lagi yang ingin Evan lakukan untuk sosok anak kecil di tubuh Sivan. Ia akan menjadikan pertanyaan tentang hal-hal kesukaan anaknya sebagai rutinitas, meskipun Sivan selalu menjawab tidak ada. Evan tidak akan pernah menyerah hanya gara-gara kata terlambat.

...

"Buset, mainannya banyak banget. Habis dari mana kamu, Siv?" Juno menahan diri tidak melempar tas ransel ke tempat tidur seperti biasa. Gara-gara lebih dulu melihat mainan berbaris rapi memenuhi meja belajar Sivan hingga merembet ke bawah.

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang