Hentakan-hentakan keras menggema berulang kali dari dalam sebuah kamar di lantai dua. Sivan terus menambah kecepatan menggedor pintu kamarnya. Kakek mengunci pintu kamar Sivan dari luar. Bagian dalam kepala Sivan tanpa diminta mengulang-ulang ucapan Kakek beberapa saat yang lalu. Sungguh sangat mendadak, Kakek memutus izin Sivan untuk melanjutkan kegiatan relawan dua hari terakhirnya di pengungsian. Setelah berpikir beberapa saat, Sivan sampai kepada satu jawaban.
"Kakek, Sivan mohon ... bukain pintunya. Tolong bukain pintunya, Kek ...." Rintihan demi rintihan menyakitkan yang keluar dari mulut bergetar Sivan tak berhasil melembutkan nurani Kakek. Dalam keadaan marah, Kakek menjelma menjadi sosok yang benar-benar berbeda. Seperti benda keras yang tak bisa dilunakkan menggunakan apa saja.
"Pikirkan kembali kesalahanmu dan tetap di dalam kamar!" bentak Kakek sebelum meninggalkan kamar Sivan tiga puluh menit yang lalu. Tidak butuh waktu terlalu lama untuk Sivan menarik kesimpulan. Bahwa, Kakek sudah mengetahui alasan sebenarnya ia menjadi relawan PMR Siaga Merapi. Kakek tahu kebohongan Sivan. Pukulan telapak tangannya memelan di pintu kamar. Sivan merasa begitu bodoh. Ia sangat menyesali perbuatannya.
Meskipun semua ini terjadi atas rencana Juno. Sivan tidak akan pernah tega menyalahkan sahabat terbaiknya. Sivan ingin menghargai ide-ide brilliant Juno yang terkadang mengandung risiko besar. Ia tidak ingin Juno merasa menyesal telah membantunya. Tubuh Sivan merosot dramatis menuju permukaan lantai keramik yang dingin. Seluruh tubuhnya mulai lemas. Sivan menyandarkan dahinya pada badan pintu dan menangis sejadi-jadinya di sana. Menyesali semua perbuatan berbohongnya kepada Kakek demi membela kesehatannya.
Sivan seharusnya tidak melakukan kebohongan itu sejak awal. Sivan seharusnya berpikir ratusan kali untuk menerima ide yang Juno berikan. Suara menyakitkan Sinta masuk ke dalam telinganya tanpa diundang. Tangisan Sivan semakin menggila.
"Sivan ... janji sama mama ... Sivan harus ... jadi anak baik ...."
"Maaf ... maaf ... maaf ... Sivan gagal jadi anak baik. Maafin Sivan, Ma. Maafin Sivan ...." keluh Sivan mulai membentur-benturkan kepalanya.
Ada seorang pengungsi terluka di bagian kepala. Ia terkena lontaran batu panas Gunung Merapi ketika menyelamatkan diri semalam. Evan membantu mengeluarkannya dari dalam ambulans dibantu rekan-rekan Anita. Hari ini, sepertinya para relawan dokter akan sangat sibuk. Pada pukul satu pagi, Gunung Merapi erupsi lagi. Kekuatannya sangat besar dan jarak luncurnya lebih luas. Joe dan Beton telah kesulitan menghitung jumlah para pengungsi di barak pengungsian. Jumlah para pengungsi meningkat drastis hingga puluhan kali lipat. Evan bekerja sama dengan organisasi relawan lain menambah jumlah personel relawan yang bertugas.
Evan bersyukur Sivan belum sampai di barak pengungsian saat pasien dengan luka parah itu datang. Hingga beberapa menit kemudian, setelah mendapatkan penjelasan kondisi korban dari Anita, rasa bersyukur Evan menguap begitu saja. Ia melihat sepeda motor Juno masuk sendirian melewati halaman barak. Biasanya tidak lama setelah Juno masuk ke lokasi barak pengungsian, Sivan akan muncul di belakang. Juno kerap mengurangi kecepatan sepeda motornya, demi bisa menemani Sivan berjalan.
Tiga menit berlalu. Terlihat Juno berjalan menuju ke tempatnya. Batang hidung Sivan tidak kunjung terlihat memasuki area pengungsian. Ditemani kepanikan, Evan menjemput Juno yang masih dalam perjalanan menuju ke tenda kesehatan.
"Sivan di mana? Kenapa kamu datang ke pengungsian sendirian?"
"Wow, sabar-sabar, Om ...," Juno mengedipkan mata kanannya. "... Evan." Evan sedang tidak minat mempermasalahkan keusilan Juno mempermainkan namanya. Juga tidak ingin membahas perihal Juno memanggil nama aslinya.
"Sudah aku duga. Om bakal menjadi penanya pertama."
"Cepat katakan. Di mana Sivan?"
"Aku juga sedang mengkhawatirkan Sivan, Om. Ucapan selamat pagiku di WA nggak dibalas dan tadi aku telepon nggak diangkat juga. Padahal pesanku centang dua. WhatsApp Sivan terakhir dilihat satu jam yang lalu, Om," jelas Juno dengan air muka keruh.
Tangan Evan masuk ke dalam saku. Menggambil gawai dan bergerak cepat mengusap menu telepon hijau pesan WhatsApp. Ia mengirim pesan untuk Sivan. Sama seperti Juno, pesan Evan terkirim dengan tanda centang dua tanpa warna. Itu berarti data internet gawai Sivan tidak dimatikan. Evan mulai frustasi. Ia menekan tombol panggilan. Terdengar nada sambungan telepon WhatsApp. Namun, beberapa kali suara sambungan itu berbunyi, tidak ada jawaban dari sseberang sambungan. Tidak menyerah, Evan menelepon secara manual. Hasilnya tetap sama, tidak ada satu pun balasan.
"Sial!" umpat Evan.
"Om, aku khawatir Sivan kenapa-napa. Nggak biasanya dia lama membalas pesan WhatsApp," pekik Juno. Evan sangat memperdulikan kekhawatiran Juno. Selanjutnya, ia mencoba membuka menu facebook. Lagi-lagi, Sivan tidak online di sana. Bagaimana jika ucapan Juno benar. Bagaimana jika Sivan bangun kesiangan dan kecelakaan di jalan. Bagaimana jika Sivan kembali sakit. Menyuruh Joe dan Beton untuk ke rumah Sivan sekarang tidak memungkinkan. Keadaan pengungsian sedang kritis.
"Pak, lihat. Teman-teman relawan Sivan di pengungsian menelepon Sivan. Mereka pasti mengkhawatirkan keadaan Sivan." Nenek berucap dengan nada memohon, sambil menunjukkan layar gawai Sivan dipenuhi panggilan tidak terjawab. Kakek mendengarkan ucapan Nenek, namun enggan melihat ratapan iba sang istri. Ia masih sibuk membolak-balik halaman koran pagi yang sebenarnya sudah selesai dibaca.
"Jangan terlalu keras sama Sivan, Pak. Ingat, dulu Sivan pernah kamu amuk dan dia demam tinggi sampai masuk rumah sakit. Walaupun nampak sehat, Sivan itu berbeda dengan anak-anak lainnya, Pak. Dia tidak bisa mendapat tekanan dan kekerasan," imbuh Nenek semakin mengiba. Berharap ucapannya dapat melunakan pintu hati Kakek yang selalu mengeras. Kakek menggeleng singkat.
"Biarkah saja, Bu. Kali ini dia benar-benar sudah keterlaluan. Membohongi kita dengan alasan menjadi relawan PMR Gunung Merapi. Dasar cucu tidak tahu diri." Kemarahan Kakek sama sekali tidak berkurang sejak pagi.
"Sivan melakukan itu pasti ada alasannya, Pak. Dia anak yang selalu jujur dan nurut sama kita. Tinggal kita terima permintaan maafnya dan bicarakan baik-baik sama dia. Sudah itu saja. Tidak perlu memakai bentakan dan hukuman."
"Kalau kita memperlakukan Sivan terus menerus sepeti itu, dia akan menjadi manusia lemah!"
"Lebih baik aku mempunyai cucu lemah daripada cucu yang keras dan suka melawan perintah." Diam-diam Kakek menyimpan kalimat terakhir Nenek. Selama ini Kakek mempunyai alasan mendidik Sivan sangat keras dan ingin menjadikan cucu satu-satunya prajurit negara seperti dirinya.
Alasan Kakek tidak lain dan tidak bukan adalah agar Sivan menjadi kuat, berani menghadapi kejahatan. Agar apabila ia mendapatkan serangan seperti dulu bersama Sinta, Sivan bisa melawan. Agar dalam kondisi sulit, Sivan bisa tetap hidup dan bertahan. Hanya itu. Iya, hanya itu semua. Kakek tidak ingin Sivan terluka untuk yang kedua kalinya. Cukup putrinya saja yang harus pergi lebih dulu. Kakek tidak akan pernah ikhlas jika didahului juga oleh sang cucu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...