31.

472 59 11
                                    

"Sumpah, aku sempat tidak percaya pada awalnya. Cara Janu bercerita ditambah air mata di kedua matanya membuatku iba. Ini hari pertamaku diterjunkan sebagai relawan. Seumur hidup aku belum pernah mengalaminya. Sungguh mengagetkan ...." Ucapan Anita terputus. Telapak tangan kasar melilit pergelangan putihnya.

"Tolong jangan beritahu Sivan," ucap Evan menghunuskan panah tak kasat mata. Menembus dua bola mata bening Anita dan menggetarkannya.

"Aku ada di pihak kalian," gugup sang dokter.

"Terima kasih."

"Tapi, boleh aku meminta syarat."

"Apa syaratnya?" Evan tak menyangka Anita berani mengatakannya.

"Nomor telepon saja sudah cukup," imbuhnya. Disusul kesibukan Evan menggali saku.

"Habiskan saja dulu nasi kotaknya. Aku akan menunggu."

Pria itu menurut, menghentikan sementara proses penggalian gawai di dalam saku. Anita terkekeh untuk memuji kecepatan Evan bertindak. Beruntung sekali menjadi Sivan. Ia mempunyai seorang ayah idaman. Idaman banyak anak yang tumbuh kurang kasih sayang ayah seperti dirinya.

"Aku minta nomor kamu ada maksud lain juga sebenarnya. Temanku sudah memberitahu dan menjelaskan kepadaku tentang kondisi Sivan di ambulans. Aku sedikit curiga ada gejala-gejala penyakit lain di dalam tubuhnya. Tapi, semoga saja tidak benar," ungkap Anita yang sontak menghentikan proses Evan mengunyah.

"Apa dia harus melakukan pemeriksaan lanjutan?"

"Untuk saat ini aku rasa aman. Kalau dia pingsan lagi, aku sarankan langsung dibawa ke rumah sakit untuk cek lebih lanjut."

"Oke."

"Kenapa kamu tidak langsung menemui Sivan saja? Kenapa kamu harus menyamar menjadi relawan? Kasihan dia. Kata Janu, kalian sudah sepuluh tahun berpisah, kan? Kalau aku menjadi Sivan, mungkin aku sudah gila."

"Tidak semudah itu melakukannya. Ada banyak hambatan terjal yang harus aku singkirkan dulu satu per satu."

Anita menahan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya. Dari dulu, apabila ia tertarik kepada seseorang, sisi lain dalam dirinya akan mencari tahu informasi mengenai orang itu secara membabi buta. Mungkin sifat ingin tahu berlebihan itu bisa membantunya menjadi dokter sukses seperti sekarang. Namun, tak pernah dianggap baik jika dipakai untuk bersosialisasi dengan orang biasa. Anita terlalu ingin tahu. Terbukti suara Evan mulai memberat. Ia khawatir pria di depannya tidak menyukai obrolan mereka.

Satu hari terasa aneh tanpa Sivan. Apalagi Juno sedang berada di tempat lain yang jarang didatangi bersama sang sahabat. Juno tak menyukai suasana ketika Sivan menghilang sementara. Hal itu membuatnya merasa tidak pernah tenang. Terasa seperti suasana minggu sore atau sore hari setelah lebaran. Ia merasa dirinya menjadi berbeda tanpa Sivan. Ingatan kejadian kemarin di belakang barak mengganggu kinerjanya di pengungsian. Sebisa mungkin dirinya menjaga jarak dengan Janu. Tak melempar sapa ramah dan pertanyaan random seperti hari-hari biasa. Janu pun tak butuh waktu lama untuk menyadarinya.

Remaja yang biasanya ceria dan banyak tingkah adalah salah satu manusia yang mudah ditebak isi hatinya. Ketika mendadak menjadi pendiam, maka pasti ada sesuatu yang remaja itu sembunyikan. Janu membawa Juno kembali ke tempat rindang bekas anak-anak perempuan membuat kue tanah. Kue-kue yang telah mengering tak pernah berpindah tempat dari sana.

"Kalau ada masalah cerita. Jangan malah menjauh."

"Nggak ada masalah apa-apa, Om."

"Bohong. Om suka membaca buku-buku psikologi dan pernah beberapa kali mengikuti seminar psikologi untuk membantu Evan di perusahaan."

"Dih, apa hubungannya sama aku?"

"Om bisa baca ekspresi wajah kamu."

"Emang Om Janu psikolog?" Sial, Juno secerdas Evan rupanya.

"Aku cuma kecapean aja dan Sivan juga izin nggak berangkat. Sepi banget kalau nggak ada dia."

"Masa? Padahal, kan, Sivan kalem anaknya."

"Aku udah sering banget sama dia dari kecil. Kami kemana-mana selalu bersama. Jadi, ada yang kurang aja kalau dia nggak ada."

"Oh, begitu."

"Udah, ya, Om. Aku mau bantu yang lainnya bakar sampah."

Janu melepas kepergian Juno hingga punggung anak itu dirangkul salah satu relawan PMR lainnya. Mereka berdua mendapat jatah membakar sampah yang lumayan menumpuk di tempat pembuangan sampah. Wajah anak itu memilah satu per satu sampah membuatnya semakin mantab untuk meluncurkan rencana tidak masuk akal yang beberapa hari ini meneror hati dan pikirannya. Mumpung alamat Juno sudah ada digenggaman, Janu tak akan menyia-nyiakan waktu yang tersedia.

Gerakan memilah-milah sampah terhenti. Kedua alis Juno menukik melihat bungkus susu kotak bergambar kartun sapi. Itu minuman susu kotak kesukaan Sivan yang kerap Juno minum juga ketika bermain ke rumahnya. Juno mengambil sampah susu kotak itu. Bibirnya mengukir senyuman. Sudah lama sekali ia tidak meminumnya bersama Sivan. Semenjak boba meledak di jalanan, minuman kotak itu seolah terlupakan. Padahal kehadirannya tetap ada di pasaran. Gambar sapi kesukaan Sivan pun lebih rapi dan rasanya lebih manis.

Senyuman lebar nan lucu kartun sapi itu justru membangkitkan kenyataan pedih yang harus Juno dengar sepuluh tahun yang lalu.

Juno menerbangkan mainan Superman di depan mata Sivan ke kanan dan ke kiri. Sivan mengikuti pergerakan tangannya, namun tak mampu mengatakan apa-apa. Tersenyum pun tidak bisa. Wajahnya pucat dan bibirnya datar. Nenek masih di dapur membersihkan sisa makan siang Sivan. Ia diminta menunggu di taman menjaga Sivan yang duduk tenang di kursi roda. Juno tidak berhenti mengajak Sivan bermain walau anak itu tetap diam.

"Makasih, ya, udah nemenin Sivan. Sekarang, Sivan mau bobok siang dulu. Nanti sore mau bertemu dokter lagi buat diperiksa. Juno nggak apa-apa, kan, kalau bermain sendirian?" kata Nenek memegang pipi gembul Juno.

"Nggak apa-apa. Juno mau pulang aja, takut ujan."

"Nanti nenek minta Pak Noto anter Juno pakai sepeda motor, ya."

Juno mengangguk lucu menemani Nenek mendorong kursi roda Sivan menuju ke dalam rumah. Di dalam, Juno tak berani ikut masuk ke dalam kamar Sivan. Ia pernah ditegur Haris menggunakan tatapan tajam. Pria itu telah lama membuat aturan, tidak ada yang boleh masuk ke dalam kamar kecuali pihak kelurga saja. Pemberhentian mendadak Juno di depan kamar menghentikan juga aktivitass Haris membaca buku di meja tamu.

"Hei, No. Kemari." Tanpa takut Juno berjalan mendekati Haris. "Ini susu kotak kamu. Temani Kakek di sini," pinta Haris sembari memberikan satu kotak susu bergambar kartun sapi.

"Baik, Kek."

"Kamu penasaran nggak kenapa Sivan sakit?" tiba-tiba Haris bertanya.

"I-iya, Kek. Dari dulu Juno ingin tanya tapi takut."

"Hahahaha." Haris mengacak lembut rambut-rambut Juno. Mendengar Haris tertawa, Juno menjadi lebih berani.

"Sivan sakit karena Evan. Dia ayah Sivan." Detik itu juga rasa penasaran Juno mencapai puncak.

"Ayahku nggak pernah jahat sama aku, padahal aku bukan anak kandungnya. Kok, ayah Sivan bisa bikin Sivan sakit, Kek?"

"Dia membunuh Mama Sivan." Aliran-aliran listrik merayap di kedua tubuh mereka. Baru kali ini Juno merasakan ketakutan luar biasa. Jari-jarinya berpegangan pada lengan kursi, berusaha menahan tangis. Wajah anak delapan tahun itu memucat menatap senyuman seekor sapi pada kotak susu. Kakek menunduk, tak menyesali sedikitpun atas kebohongan yang sengaja ia keluarkan. Juno tak pernah bertanya apapun lagi sejak hari itu. Menjaga Sivan dan membuatnya selalu tersenyum sudah cukup. 

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang