49.

252 18 0
                                    

Dering telepon sebanyak sepuluh kali. Tangis menyakitkan Sivan kecil di dalam sambungan telepon. Sirine ambulans yang tidak berhenti mengamuk selama perjalanan menuju rumah sakit. Semuanya mencabik-cabik pendengaran Kakek. Membangkitkan kembali kenangan mengerikan yang sudah sepuluh tahun ia kubur. Dua pukulan langsung Kakek layangkan di masing-masing sisi kepala Evan. Tubuh Evan terpelanting di atas lantai rumah sakit.

"Apa maksud kamu!!!" Kakek melayangkan tendangan pertama pada pinggang Evan. Kekuatannya masih sama seperti saat ia mengamuk, mendengar Sinta dinyatakan meninggal.

Untuk kesekiam kalinya Pipi Evan menghantam lantai marmer rumah sakit. Para perawat dan dokter beranjak meninggalkan lokasi pertemuan sekaligus perkelahian seorang pria dan mertua. Akibat melihat pukulan Kakek di kepala Evan, pasien berkebutuhan khusus mendadak terserang kejang. Perawat yang tadi memanggil bantuan mengulang lari ke arah selatan. Menghampiri lokasi berjaga dua satpam.

"Keparat!!! Bajingan!!! Dasar pembunuh!!!" lanjut Kakek menjejakkan kaki beringas. Evan tidak melawan. Ia sengaja mengalah. Evan membiarkan Ayah mertuanya menghabiskan kemarahannya. Juno beberapa kali mengalihkan ketakutan ke arah pintu abu-abu Ruang Anggrek. Berharap Sivan tidak keluar kamar dan melihat perkelahian ini. Kakinya gatal. Ingin rasanya ia berpindah berdiri di depan pintu.

"Belum puas kamu mengorbankan Sinta? Berani-beraninya kamu muncul lagi di depan Sivan!!!" Evan berusaha menahan pukulan bertubi-tubi dari tangan dan kaki mertuanya.

"Jangan pernah kamu menemui Sivan lagi!!! Atau ini akan menjadi terakhir kali sebelum kamu mati!!!" Satu tendangan bertenaga kuat menghentikan pernapasan Evan. Mengoyak lambung dan menjalar ke organ-organ dalam lainnya. Evan terbatuk beberapa kali. Berkat tendangan itu, keberanian Evan justru terkumpul. Ia memulai melakukan perlawanan.

"Aku sudah bersama Sivan selama satu bulan lebih dan Anda tidak tahu!" ungkap Evan. Kaki Kakek berhenti menjejal perut Evan. Kedua mata Evan memejam menahan kesakitan luar biasa yang mulai berefek pada dadanya.

"Kalau begitu, satu bulan selanjutnya, akan aku buat kamu tidak bisa bertemu Sivan selamanya!!!"

"Silakan, Ayah! Silakan! Tapi, jangan salahkan aku. Aku akan tetap menggunakan segala cara untuk membawa pulang Sivan. Dia memang cucumu, tapi Sivan adalah anakku dan Sinta!!!"

"Diam! Aku tidak pernah lagi sudi mendengar suaramu!" Kakek menginjak kaki Evan. Memelintir dengan gerakan memutar. Seketika erangan keluar dari mulutnya. Evan menggigit bibirnya kuat. Sudut bibir Evan telah mengeluarkan darah.

"Sudah sepuluh tahun. Apa tidak cukup untuk Ayah mengikhlaskan kejadian itu dan memaafkan aku? Kita semua sama-sama terluka, Ayah."

"Tutup mulutmu!!!" Kakek menunduk, mencekeram kerah jaket kulit hitam Evan. Beberapa detik berlalu dengan kekosongan. Kakek menusuk wajah penuh luka-luka Evan dengan mata penuh kemarahan dan dendam. Sementara Evan membiarkan begitu saja semua kemarahan mertua yang tidak pernah tidak dihormatinya.

Dua pukulan di dada ditambah satu tamparan mengakhiri perkelahian mereka. Perawat datang membawa dua satpam berbadan kekar. Tanpa diminta masing-masing dari mereka menarik lengan Evan. Menyeret tubuh kesakitannya menjauh ke selatan. Evan tidak berusaha melawan. Sepuluh langkah terseok kemudian, kepala Evan kembali ke belakang. Pria itu mengambil napas dalam-dalam, lalu berteriak.

"Sivan!!! Sivan!!! Tunggu ayah!!!"

Di dalam ruang inap Anggrek, Sivan terbangun. Beberapa menit kemudian mata sayunya membola seperti menyadari sesuatu. Garis-garis penanda kehidupan di layar EKG Nenek tidak lagi beraturan. Dalam sekekab berubah menjadi garis lurus panjang. Bunyi bib panjang membuat Sivan melompat dari ranjang pesakitan.

Kakek memajukan lengannya, berniat melanjutkan mengejar dan menghajar Evan. Tubuh pendek perawat terlebih dahulu menjadi penghalang.

"Mohon jangan ribut lagi, Pak. Pasien-pasien di ruangan ini sedang dalam kondisi kritis," ucap perawat. Nada ketakutan perawat membuat kepala Kakek berputar ke arah pintu ruangan sang istri dirawat.

Juno berhenti berjalan mengikuti dua satpam yang kini membawa tubuh Evan seperti penjahat. Ia melihat Kakek Sivan masuk kembali ke dalam Ruangan Anggrek. Wajah galaknya tidak berubah sama sekali. Beberapa detik setelah Kakek masuk, segerombolan dokter bersama beberapa perawat menyusul masuk ke dalam ruangan. Dengan langkah tergopoh dan wajah panik mereka menutup pintu tergesa-gesa. Juno merasakan sesuatu yang buruk sedang menghampiri mereka.

Joe menepuk-nepuk punggung Beton. Menenangkan banteng mengamuk dari dalam tubuh pria tambun itu. Hampir tiga puluh menit mereka berada di dalam ruang pertemuan. Tidak ada masalah apa pun dan tanpa penjelasan apa-apa mereka diminta menunggu. Satu jam yang lalu pejabat PMI setempat mendadak datang. Beliau merundingkan berita penting bersama Janu. Usai perundingan itu, beberapa relawan dari organisasi lain menghentikan paksa kegiatan Joe, Beton, dan anggota relawan Mahaputra Group.

Mereka memaksa Joe dan Beton masuk ke dalam ruang pertemuan dengan nada sarkas yang berhasil memunculkan tanda tanya besar. Salah satu dari mereka tega menendang punggung Beton. Membangunkan serta mengamukkan roh banteng dalam pria berlengan besar itu.

"Organisasi relawan ilegal seperti kalian tidak dibutuhkan di dunia relawan!"

"Kalau tahu dari awal kalian dari Mahaputra Group, pengusaha tengik itu. Sudah aku usir kalian dari sini!"

"Menyesal aku kenal dan kerja sama kalian! Cuih! Najis!" marah tiga orang relawan usai menutup pintu. Salah satu dari mereka meludah, sebelum mengunci pintu ruang pertemuan. Tiga kalimat itu tak lama menyadarkan Joe dan Beton. Mengarakan pikiran mereka kepada simpulan pasti. Identitas mereka sudah terbongkar. Tapi, siapa yang telah membongkar identitas mereka? Joe dan Beton saling beradu pandang. Sama-sama memikirkan dalang di balik penangkapan mereka.

Satu-satunya harapan adalah Janu. Pria itu masih mendengarkan dengan baik bentakan demi bentakan dari pejabat PMI di sudut lapangan. Dua mobil polisi masuk ke dalam lingkungan pengungsian tanpa membunyikan sirine. Meskipun begitu, para pengungsi terlanjur menerbitkan raut panik menyambut kedatangan polisi. Janu menginjak lantai berdebu ruang pertemuan menjemput Joe dan Beton. Wajah lelahnya terlihat sangat kuyu.

"Apa yang terjadi?" Joe langsung bertanya. Janu menjawab sambil mengembuskan napas yang tadi sempat tertahan. Perbincangan di sudut lapangan benar-benar menyesakkan dan membuat dadanya seperti kehilangan fungsi. Tenaganya terkuras akibat kalimat-kalimat hujatan yang tidak sepantasnya pejabat PMI katakan.

"Ya! Apa yang terjadi! Kenapa tiba-tiba kita dikurung di dalam ruangan ini?" Beton tidak sabar membongkar-bongkar fakta dari mulut Janu. Janu mengulang mengumpulkan udara. Bersiap menjelaskan semuanya.

"Kalian pasti sudah menduganya. Kita ketahuan. Identitas kita terbongkar."

"Siapa yang membongkar identitas kita?" keras Beton dengan napas memburu. Joe memukul pelan punggung Beton. Roh benteng mengamuk di tubuh Beton belum sepenuhnya tenang. Janu menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak tahu. Yang jelas bukan Evan, apalagi aku. Anggota relawan kita sudah dipaksa meninggalkan barak pengungsian. Mereka diusir relawan-relawan lain."

"Lalu?"

"Bagaimana dengan kita?"

"Kita akan ikut para pria tampan berseragam dan dibawa ke kantor polisi." Janu mengakhiri percakapan menggunakan wajah menahan bau. Lima orang polisi membuka pintu ruang pertemuan. Kilatan borgol besi bersinar dari masing-masing pinggang mereka. Tatapan mereka semua sungguh tajam. Seperti pemburu yang menemukan mangsa.

"Cih! Pria-pria tampan merepotkan," umpat Beton. 

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang