Tak perlu banyak fakta untuk membuktikan alasan penjahat melakukan tindakan tidak baiknya. Penelitian-penelitian mengemukakan mereka mempunyai alasan kuat untuk melakukan. Dendam pribadi hingga masalah ekonomi yang tak pernah henti menyanjangi. Menjadi dua hal paling mendominasi para penjahat menghabiskan sebagian kehidupannya di sel tahanan ini. Orang-orang rapi nan wangi seperti Evan dan Janu termasuk golongan langka. Sementara Beton dan Joe cukup mendukung penampilannya.
Oleh karena itu Usman masih meragukan kejahatan Evan berserta Janu. Jiwa mudah dendamnya tidak merasakan sesuatu yang berbahaya pada gelagat maupun gaya bicara mereka. Pagi-pagi buta, hanya selang beberapa jam setelah mengistirahatkan mata, Usman membangunkan semua anggota baru di dalam sel tahanan yang dikuasainya. Dua anak buahnya setia membuka mata, tergesa-gesa duduk di kedua sisi tubuh kekarnya.
"Coba sebutin nama lengkap you, Van." Usman mulai menginterogasi. Janu memasang telinga penasaran. Dari nada dan intonasi bicaranya ia yakin Usman bukan orang sembarangan.
"Evan Mahaputra," jawab Evan datar. Menganggukan kepala plontos si penanya. Usman meraba janggut. Perbincangan akan memasuki lorong yang lebih serius.
"Asal?"
"Jakarta."
"Kasus?"
"Kami tidak melakukan kasus kejahatan apa pun. Kami difitnah!" Tanpa sadar Janu menyahut meloloskan segala emosi yang beberapa hari yang lalu terbendung.
"Bos kami nggak nanyain kamu, goblok!" Pria bertato harimau di sebelah kanan Usman tak terima dengan tanggapan Janu.
"Biar aku yang melanjutkan," Janu makin memberanikan diri. Jumlah mereka yang kelebihan satu orang, membuatnya menambah kepercayaan diri. Berbeda dengan Janu yang telah tersulut api. Evan diam seperti ombak tenang di tengah lautan. Ia harus mempertahan kewarasan demi Sivan.
"Umurmu 35 tahunan ke atas, kan? Dari wajahmu, kamu orangnya keras tapi penyayang. Biar kutebak, kamu baru punya anak satu?" Dereta pertanyaan serta tebakan mengandung fakta menggerakan kepala Evan ke bawah dan ke atas. Usman melanjutkan pertanyaan disertai jawaban-jawaban bak peramal. Mata Evan melebar, kedua sisi bibirnya berkedut. Terheran-heran dengan jawaban Usman yang runtut serta betul. Apakah Usman peramal yang terpaksa melakukan kejahatan karena job-nya sepi? Sembari terus menjaga kestabilan kewarasan, Evan mulai menaruh perhatian pada pria yang memiliki postur tubuh seperti ayah mertuanya.
"Lalu, apa kesalahan kalian?"
Evan menahan Janu yang hendak membuka mulut.
"Membunuh?"
"Tidak."
"Mencuri?"
"Kami tidak pernah melakukannya."
"Bermain perempuan?"
"Untuk apa kami melakukannya." Evan mengambil kesempatan untuk mengejek Janu. "Pria di sebelahku ini takut sama wanita," lanjutnya. Ledakan tawa menghabisi keheningan sel penjara.
"Ya, ya, ya. Aku percaya. Pria berpenampilan rapi seperti kalian tak mungkin tega menyakiti wanita. Selamat bergabung di sel ini, semoga kalian semua betah di sini!" sambut Usman membara.
"Yang dua ini tidak disidang juga, Pak?" Pria kurus ceking di sebelah kiri Usman menujuk Beton dan Joe yang berbaring santai menghadap dinding. Mereka mendengarkan pembicaraan sambil berusaha tidak terlihat peduli.
"Tidak usah. Aku yakin mereka semua pria setia. Kalau butuh bantuan bilang saja. Di sini kita sesama napi berusaha saling membantu," tutup Usman sebelum dirinya beranjak karena dipanggil salah satu petugas sipir lapas. Sayup-sayup Evan mendengar sang sipir menyebut nama seseorang. Begitu nama itu didengar oleh Usman, pria itu melontarkan kaki lebar-lebar.
"Berutung sekali kalian. Kalau kasus kalian berhubungan sama wanita, nyawa kalian mungkin sudah dilenyapkan Serda Usman. Keluar dari penjara kalian tinggal nama." Pria bertato melipir. Menabrakkan punggungnya pada dinginnya dinding.
"Serda Usman?" ulang Evan.
"Pria yang barusan menyidang kalian dengan beberapa pertanyaan. Yang sekarang sedang keluar karena dijenguk anaknya."
"Dia Serda Usman. Salah satu tentara anggota pasukan khusus yang sedang melakukan kewajiban menuntaskan masa hukuman."
"Tentara pasukan khusus bisa masuk penjara?" Evan baru kali ini mengetahuinya. Ia sedikit tidak percaya.
"Pantas saja kalian begitu menghormatinya," sambung Janu. Tanpa diminta pria bertato itu membongkar satu per satu.
Hampir sebagian besar manusia di lapas ini mengenal Serda Usman. Walaupun tidak secara langsung. Kisahnya telah menetap di hati masyarakat, menjadi legenda di Yogyakarta. Pengorbanan Serda Usman demi sang istri tercinta dan keluarga seperti pengorbanan seorang pahlawan. Ia rela mempertaruhkan profesi dan mengotori nama baiknya sendiri demi menghabisi empat orang preman teri yang telah melukai sang istri. Istri Serda Uman disakiti mereka dalam perjalanan pulang dinas dari rumah sakit. Para preman teri membacok punggung istri Serda Usman saat ia tengah berdiri di pinggir jalan menunggu mobil.
Para warga menemukan istri Serda Usman sudah bersimbah darah di trotoar jalan. Keadaannya sungguh parah. Napasnya sudah tidak lagi terdengar sempurna. Entah apa tujuan empat preman melakukan tindakan keji itu pada istrinya. Mereka tak saling kenal. Tak juga melempari umpatan yang memancing kemarahan. Istri Serda Usman hanyalah ibu-ibu biasa yang sedang menunggu dijemput suami sepulang kerja. Nyawa sang istri tak bisa diselamakan setelah tiga jam mendapatkan penanganan.
Serda Usman murka. Bersama empat anggota sesama pasukan khusus mengejar pembegal yang menghilangkan nyawa istri tercintanya. Tak perlu waktu lama untuk menemukan lokasi persembunyian mereka. Tengah malam ditemani langit hitam bertabur bintang, Serda Usman memantabkan diri melakukan serangan pembalasan. Dibantu empat sahabat seperjuangan yang sudah dianggap keluarga, mereka menyerang rumah kos-kosan yang menjadi tempat persembunyian empat preman begal. Memporak-porandakan salah satu isi kamar.
Sebelum melakukan aksi pembalasannya, Serda Usman benar-benar sudah memperhitungkan semuanya. Ia bergerak tengah malam di saat semua penghuni kos-kosan memejamkan mata. Berjalan mengendap-endap dan berhasil masuk ke area kos-kosan dengan senyap. Ia bertanya pada penjaga di mana kamar para preman. Penjaga kos itu langsung menjawab jujur karena ketakutan melihat senjata laras panjang yang dibawa serda Usman serta deretan peluru panjang yang menyampir di masing-masing pundaknya.
Beberapa menit setelah penjaga kos-kosan menunjukan arah, puluhan tembakan membangunkan pengungi kos-kosan dan sekitarnya.
"Serda Usman sempat bilang bahwa ia yang menembak sendiri empat preman itu. Empat teman yang dibawanya hanya menunggu dan berjaga-jaga di luar indekos."
"Berarti mereka tidak ikut dipenjara?' tanya Evan.
"Ya. Saat sidang perkara, Serda Usman mengatakan semuanya. Ia melakukannya untuk membalaskan kematian istrinya. Nyawa harus dibayar dengan nyawa adalah prinsip Serda Usman. Ia meminta keempat temannya tidak dipenjara dan bekata dia yang akan mempertanggung jawabkan semuanya."
"Dia benar-benar suami dan tentara yang luar biasa," puji Janu.
"Ah, biasa saja. Tentara, kan, juga manusia yang bisa melakukan kesalahan." Ternyata Serda Usman sudah kembali. Gaya bercerita pria bertato mirip seperti youtuber podcast horror yang asyik. Hingga mereka semua tak mendengar jeruji besi berbunyi. Menghadirkan kembali sosok Serda Usman ke dalam bui.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...