24.

647 94 7
                                    

Merangkak malam, jumlah pengungsi kian meningkat. Warga-warga usia produktif berdatangan. Menyusul keluarganya mengungsi di barak pengungsian. Tidur di dalam rumah dalam kondisi Merapi siaga sangat tidak nyenyak. Remaja dan ayah ibu sibuk mencari kakek dan nenek mereka di setiap bilik yang dibuat oleh para relawan. Ada salah satu warga rentan sebatang kara terlihat tidur meringkuk sendirian. Beberapa pengungsi bercengkerama di depan bilik sambil menyelesaikan makan malam mereka.

Punggung Janu beberapa kali ia garuk. Sensasi rasa gatal karena gigitan nyamuk tidak kunjung hilang. Di sampingnya, Evan sedang berdiri tegap menghadap arah utara. Selain bayangan gelap Gunung Merapi, tidak ada lagi yang dilihatnya. Masker hitam pekat sudah tidak membungkus mulut Evan. Tepat jam empat sore tadi, tim relawan PMR sekolah Sivan berpamitan pulang. Evan mengambil napas dalam. Menampung udara beberapa detik di dada. Ia masih kecewa gagal mengantar putranya pulang.

Suasana di barak pengungsian berangsur hening. Dalam keheningan itu Joe keluar tenda istirahat membawa gitar akustik. Ia berjalan menuju sekumpulan relawan lain yang duduk mengelilingi api unggun kecil. Joe berniat menyumbangkan suara merdunya untuk menghibur mereka. Untuk kedua kalinya, Joe membunyikan suara indah di barak pengungsian. Ia menyanyikan lagu Virzha kembali. Suara merdu Joe memutus pandangan Evan pada tubuh berselimut malam Gunung Merapi.

"Judulnya Tentang Rindu. Penyanyinya Virzha," celetuk Janu. Tanpa diminta ia selalu memberitahu.

"Sudah tahu," angguk Evan.

"Aku kasih tahu lagi." Janu mendengkus.

"Masih ada CD atau albumnya tidak?"

"Evan, Evan. Zaman sekarang mana ada begituan. Mungkin masih ada, sih, tapi sedikit sekali. Anak-anak muda zaman sekarang lebih suka mendengarkan lagu via internet."

"Oh, begitu."

"Untung aku kasih tahu. Pasti mau membelikan untuk Sivan, kan?"

"Iya. Dulu, Sinta pernah minta, aku harus sering membelikan hadiah untuk anakku," ungkap Evan.

Janu mengelap bibir lantas menghidupkan layar gawai yang ia genggam sedari tadi. Evan menduga Janu kembali berkirim pesan Whatsapp dengan Juno. Beberapa saat yang lalu, Evan baru saja selesai menunggu Sivan online di facebook. Sayang, Sivan tidak kunjung online.

"Juno update status Whatsapp tidak?"

"Tadi dia update, tapi nggak sama Sivan." Terdengar helaaan lesu dari samping tubuh Janu. Janu tidak membuka menu pesan Whatsapp. Ia masuk ke aplikasi pemutar lagu Spotify untuk mencari lagu yang masih Joe mainkan untuk mengibur para relawan yang kelelahan. Tidak tanggung-tanggung, Janu pun men-download sekaligus satu album. Kurang baik apa lagi si Janu.

"Nih, sudah aku download lagunya. Aku kirim ke kamu sekarang. Cepat buka." Perintah Janu pada Evan. Evan tergesa mengeluarkan gawainya dari dalam saku. Janu terkekeh melihat sahabatnya bertingkah lucu. Kedua mata Evan berbinar-binar menanti proses download selesai. Janu mengeluarkan earphone tidak berkabel untuk Evan. Evan menerimanya, namun hanya melihat. Tidak tahu cara memakainya. Sama seperti Kakek, Evan gagap jika berurusan dengan perintilan lagu.

"Makannya sekali-kali dengerin lagu. Jangan cuma mikirin Mahaputra Group melulu." Janu merebut kembali earphone dari telapak Evan dan memasukannya di masing-masing lubang telinga Evan. Ia juga membantu Evan memutar lagu Virzha melalui gawainya. Hanya beberapa detik, Evan bisa mendengar suara asli sosok Virzha. Penyanyi yang berhasil memukau hati putranya. Ternyata suara asli penyanyinya lebih menyedihkan.

"Katanya, itu lagu yang dibuat Virzha untuk ayahnya." Evan mengangguk sedikit masih bisa mendengar suara Janu.

"Mungkin Sivan menyalurkan kerinduannya kepadamu melalui lagu itu." Anggukan Evan berhenti. Ia membenarkan ucapan Janu. Siang tadi, sewaktu Joe memainkan lagu itu, terlihat jelas wajah Sivan seperti menahan sesuatu. Pipi bagian atas memerah, berusaha menahan bulir bening yang menggenang di pelupuk mata. Setelah lagu itu selesai, bocah itu mengucek kedua matanya. Berkata bohong kelilipan tiba-tiba. Evan terlanjur melihat tetesan pertamanya.

Selesai mengerjakan kuis pengetahuan militer dari Kakek, Sivan menjatuhkan tubuhnya dengan keras di atas kasur tidur. Ia berniat membuka menu facebook. Membalas pesan inbox Om Orang Merapi yang beberapa minggu ini menjadi tempatnya mencurahkan isi hati. Namun, hati Sivan sedang tidak mau diajak berselancar di facebook. Sivan memilih mengunjungi aplikasi musik dan memutar lagu kesukaannya, Tentang Rindu.

Selagi lagu itu memulai lirik-lirik awal, Sivan bangkit dari tempat tidur. Tubuh kurusnya berhenti di bawah meja belajar. Sivan mengeluarkan kotak sepatu untuk mengambil foto kecil nan usang yang menampilkan Evan menyungging dirinya. Sang ayah tertsenyum lebar memakai kostum pahlawan Superman. Dulu, pengambil foto itu adalah Sinta. Tepat satu minggu sebelum Tuhan menjemputnya. Sivan kembali berjalan ke tempat tidur dan duduk di samping gawainya.

Ketika lagu sampai pada lirik dengan kata mimpi, Sivan mengelus wajah bahagia Evan pada permukaan foto.

"Sudah lama sekali Ayah nggak datang ke mimpi Sivan. Malam ini, Ayah harus datang, ya. Ada banyak hal yang ingin Sivan ceritakan sama Ayah. Sivan rindu Ayah ...." Lagu selesai diputar. Sivan meluruhkan lebernya di atas bantal. Ia menaruh kertas foto usang itu di atas dadanya. Berharap dengan begitu pikirannya akan menciptakan bayangan Evan. Dan, ia akan berusaha membuat bayangan itu hidup sampai ke alam mimpinya.

Pagi-pagi sekali barak pengungsian dipenuhi kabut. Kabut putih tebal yang terasa dingin bila terhirup. Gunung Merapi tidak kelihatan badannya. Tenda dapur menjadi satu-satunya tempat yang paling sibuk. Beberapa relawan yang dijadwalkan memasak, sudah menjalankan tugas sejak pukul empat pagi. Anak-anak terbangun karena mengirup bau masakan yang harum. Tanpa diminta, para ibu muda dan pemudi satu per satu menyibak tenda untuk membantu.

Beton dan Joe melanjutkan tidur pulas di tenda khusus relawan. Beton mengorok keras, sementara kaki Joe menumpangi perut Beton. Mereka kelelahan begadang semalaman di depan api unggun. Janu keluar tenda sambil menguap. Ia menyaksikan dengan mata mengantuk Evan memanaskan mobil jeep-nya. Jangan-jangan Evan ingin menjemput Sivan. Memikirkan itu, membuat kaki Janu tancap gas menghampiri Evan.

"Tenang-tenang. Tahan dulu. Jangan emosi. Aku tidak akan menjemput Sivan."

"Mau kemana? Ini masih setengah enam pagi," tanya Janu sembari membetulkan jaketnya.

"Ayo ikut aku ke pasar."

"Perasaan kemarin dua truk bantuan stok makanan sudah datang."

"Siapa bilang kita akan membeli makanan?"

"Lalu, kita akan membeli apa?"

Sesampainya di pasar, Janu tidak tahan untuk mengumpat.

"Demi suara merdunya Joe! Membeli layang-layang? Ya Tuhan ... ini masih terlalu pagi, Van. Belum ada toko mainan yang buka." Evan membiarkan ocehan Janu tertinggal di belakang. Ia terus berjalan membelah keramaian pasar untuk mencari pedagang layang-layang. Untung saja sekarang sedang musim menerbangkan layang-layang. Jadi, kesempatan mendapatkan layang-layang terbuka lebar. Janu mengikuti perjalanan Evan dengan langkah terpaksa.

Pukul tujuh pagi, mereka selesai mengelilingi pasar. Layang-layang incaran Evan belum juga ditemukan. Evan mempunyai kriteria layang-layang khusus sejak pertama kali menginjakkan kaki di Yogya. Ia ingin membeli layang-layang seperti yang dibagikan Sivan di beranda facebook. Sekali lagi Janu mendapatkan cobaan. Bukan Janu namanya jika tidak mendukung. Meskipun bermuka kusut, Janu tetap menajamkan telinga. Menanti suara-suara pedagang mainan masuk ke dalam lubang pendengarannya.

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang