33.

505 67 5
                                    

"Layang-layang itu aku kasih buat dia. Ibu nggak perlu mengambilnya," lirih Juno.

"Wah, terima kasih, ya, Nak. Sivan sayang, lihat, Sivan dikasih layang-layang. Ayo ucapkan terima kasih," balas Nenek sibuk mengeringkan pipi basah Sivan dengan syal berwarna cokelatnya. Tangisan Sivan terjeda sementara. Pandangan kosongnya mengarah pada pipi basah Juno. Kaki Juno kembali turun untuk berlutut di depan kursi roda.

"Iya, sama-sama." Juno tersenyum mencoba memahami. Ia memegang punggung tangan Sivan. Kali ini disertai rematan ringan sebagai tanda ucapan selamat tinggal. Juno harus segera pulang.

Kakek mengamati interaksi Juno dan Sivan dengan wajah yang masih memerah. Juno berdiri segera berpamitan kepada Kakek dan Nenek. Ia membungkukkan badan kembali dengan sopan. Namun, ketika hendak melangkah, ujung bajunya seperti tertahan. Telinga Juno mendengar deru napas berat yang terdengar lemah.

Tubuh Juno hampir saja terjungkal karena sesuatu di belakang menariknya cukup kencang. Ia membalikkan badan. Memeriksa serta mencari sesuatu yang baru saja menariknya dengan cukup kencang. Nenek melepaskan telapak tangannya dari pipi Sivan. Kemarahan Kakek sepenuhnya menghilang tanpa sisa. Sivan menarik ujung baju Juno sambil setengah berdiri dari kursi roda.

"Ma ... kasih ...." Ucapan Sivan hampir tak terdengar. Nenek dan Kakek saling melempar keterkejutan. Ini pertama kalinya Sivan berbicara setelah satu tahun tak pernah berkata apa-apa. Saking terkejut sekaligus bahagia, Nenek tak kuasa menahan derai air mata. Ia kembali menggunakan syal putihnya untuk menghapus bulir-bulir di kedua matanya. Syal cokelat Nenek menjadi sangat basah. Kakek mendekati Juno, meremas pelan punggung kecilnya. Membuatnya tegap seperti prajurit tentara.

"Besok datang dan main ke sini lagi, ya," pinta Kakek melembut. Juno mengangguk kebingungan. Bergantian melihat wajah mendung Kakek dan Nenek.

Sepulang sekolah, Juno benar-benar datang. Membawa jajanan sekolah untuk Sivan. Namun, itu tidak setiap hari ia lakukan. Juno berani membawa jajanan sekolah hanya ketika Sivan dijaga Nenek dan seorang perawat. Nenek Sivan terkadang jatuh sakit otomatis penjaga Sivan akan berganti-ganti. Sivan dijaga oleh Kakek, Nenek, dan seorang perawat dari rumah sakit yang khusus menangani Sivan. Beberapa hari ini, Juno telah resmi menjadi bagian salah satu dari mereka.

Tidak banyak yang Juno lakukan. Ia hanya duduk manis di rerumputan halaman menemani Sivan melamun. Sembari duduk bersila, Juno mengajak Sivan berbicara. Menceritakan keasyikannya bersekolah dan bermain bersama teman-teman. Dua benda bulat Sivan terlihat berbinar mendengar Juno mengungkap proses pembuatan layang-layang di rumah temannya yang bernama Ibra. Setiap musim hujan, Juno dan Sivan menghabiskan sebagian besar waktu menonton film kartun di dalam rumah. Mereka berdua duduk di depan TV, minum cokelat panas super lezat buatan Nenek, dan berakhir ketiduran bersama di sofa.

Meskipun Sivan hobi melamun, Juno tak pernah merasa bosan. Ia membuat misi ingin membuat Sivan bisa bicara, tersenyum, dan tertawa. Setengah tahun tak memberinya kesempatan mewujudkannya. Hingga akhirnya, pada bulan kelahiran Sivan. Tidak sengaja, Juno tersandung bebatuan taman dan wajahnya menimpa kue ulang tahun Sivan di tangan Nenek. Sivan tidak menangis kuenya hancur. Ia melepaskan semua tawa yang sudah lama dipendamnya.

Tragedi kue ulang tahun menyebabkan Sivan berbicara lebih banyak. Ia menyahut dengan pertanyaan-pertanyaan lugu setiap Juno membagikan pengalaman menerbangkan layang-layang. Pertanyaan yang sering ditanyakan Sivan adalah cara mengatur senar. Juno pun semakin semangat untuk membantu Sivan sembuh. Sesekali, ia membantu Sivan berjalan tanpa menggunakan kursi kursi roda. Kakek dan Nenek tidak melarang Juno melakukannya. Mereka berdua memercayakan Sivan kepadanya. Kakek dan Nenek berniat menyekolahkan Sivan di sekolah yang sama dengan Juno.

Sebenarnya, Juno anak terlalu aktif yang terlanjur dicap nakal oleh orang-orang di sekitar rumah. Hobinya aneh-aneh. Membaca majalah fotografi, terkadang berkelahi, dan menerbangkan layang-layang sendirian. Entah permainan takdir atau memang kesalahan teknis, layang-layang Juno sering putus di langit. Permainan layang-layangnya selalu ditutup dengan perjuangan Juno berlari mengejar layang-layang. Setelah layangannya mendarat di rumah Sivan, Juno tak menyalahkan angin yang bertiup kencang atau senar murahan miliknya lagi.

Juno menutup buku paket Matematikanya teringat sesuatu. Buru-buru ia mengeluarkan buku biru bergambar Ultraman dari dalam tas. Juno menulis beberapa keinginannya di buku kecil itu beberapa bulan yang lalu pada saat tahun baru. Ia sering membacanya satu per satu jika hatinya dilanda sendu.

KEINGINAN-KEINGINANKU:

1. Membeli mainan Ultraman yang bisa bicara.

2. Membeli layang-layang gapangan Ultraman.

3. Mempunyai adik laki-laki.

Juno mengelus sebentar keinginan nomor tiga, mencoretnya dengan garis yang sangat panjang. Lalu, menulis kalimat baru.

3. Membuat Sivan tersenyum, tertawa, dan membantu Sivan bisa berjalan tanpa kursi roda.

"Ibu, aku nggak jadi minta adik," ucap Juno begitu mendudukkan diri di kursi makan. Kakak berhenti menyisir rambut di depan cermin kamar mandi. Spatula terlepas dari tangan Ibu menghantam lantai. Puntung rokok di mulut Bapak terlempar karena tertawa keras mendengar perkataan Juno. Selama setengah tahun ini, hampir setiap hari, Juno meminta untuk diberikan adik laki-laki ketika sarapan pagi.

Mereka bertiga syok dengan keputusan tiba-tiba Juno membatalkan keinginannya. Bapak, Ibu, dan Kakak angkat Juno segera mengerubunginya di meja makan. Seperti pasukan yang menginterogasi tawanan. Juno sudah siap merima pembullyan.

"Lho, kenapa?" Bapak menjadi penanya pertama sekaligus paling penasaran.

"Aku udah menemukan adik yang aku mau."

"Hah? Menemukan di mana? Ada-ada saja." Kakak menjadi penanya kedua.

"Dia emang nggak bisa jadi adik kandungku. Tapi, aku akan jadi kakak baik yang selalu menjaganya. Aku akan jadi pelindungnya."

"Oke-oke. Besok dibawa ke sini, ya, adiknya. Ibu ingin kenalan. Laki-laki atau perempuan?" Ibu cekikikan menimpali. Sungguh, Ibu merasa geli sekali.

"Sudah pasti laki-laki, lah, Bu. Orang dari tahun baru dia mintanya adik laki-laki." Bapak menjawab lagi. Jawaban Bapak membuat Ibu dan Kakak kompak terkikik. Juno tidak menggubris keusilan verbal ketiga anggota keluarga angkatnya. Ia serius dengan keputusannya. Bahkan Juno sudah memikirkannya sejak lama. Sejak pertama kali bertemu Sivan, Juno ingin mengubah keinginan nomor tiganya.

"Kalau dia udah sembuh aku akan mengajaknya bermain ke rumah." Jawaban Juno kali ini membuat ketiganya menghentikan tawa. Kakak berjalan lagi ke cermin depan kamar mandi untuk memakai dasi SMP-nya. Bapak melahap gorengan pura-pura tidak mendengar.

"Lho, adik yang kamu maksud sedang sakit?" tanya Ibu berwajah khawatir.

"Iya, Bu. Dia sakit sampai nggak bisa berjalan dan harus menggunakan kursi roda."

"Kasihan sekali. Memangnya dia sakit apa?"

"Namanya Sivan, Bu. Kakeknya belum mau memberitahu. Katanya, Kakek akan menceritakan semuanya kalau aku udah cukup besar."

"Kalau sudah diberitahu Kakek Sivan, jangan lupa kasih tahu ke ibu juga, ya."

"Pasti, Bu. Aku akan menceritakan semuanya ke Ibu."  

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang