Anita meninggalkan rumah membawa perlengkapan kedokteraan lebih lengkap. Atas permohonan Haris, ia pun menyertakan satu orang perawat untuk mengambil darah Sivan. Semenjak diminta mampir memeriksanya kedua kali di villa Evan, kecurigaan dokter itu kian menajam. Sivan tidak hanya kelelahan hebat. Dehidrasi bukanlah satu-satunya penyebab ia pingsan. Dan, sudah dua kali pula Anita mendapati tekanan darah Sivan sangat rendah.
Berhari-hari berbagai penyakit darah bertarung di dalam pikiran Anita. Namun, sang dokter belum ingin memenangkan salah satu di antara mereka. Sivan selalu tertutup mengenai kondisi kesehatannya. Bocah itu memalingkan wajah dan berkata baik-baik saja setiap kali ditanya. Hari ini Anita ingin memaksa kejujuran Sivan mengatakan semuanya. Agar ia bisa memberitahu diagnosis penyakit Sivan secepatnya kepada Evan.
Juno menyambut kedatangan Anita dengan wajah panik yang hampir kehilangan warna. Tubuh bagian dada dan perutnya didominasi warna merah. Saking paniknya melihat Sivan mimisan, ia tidak sempat berganti pakaian. Penampilan Juno seperti korban penusukan. Perawat di samping Anita sigap mengulurkan tangan. Mengira jika Juno lah yang sedang membutuhkan pertolongan.
"Tidak. Bukan dia pasiennya," ujar Anita kepada perawat yang terlanjur berwajah tegang. Perawat itu mengangguk tanpa mengurangi kesiapsiagaannya.
"Juno, di mana Sivan?" Anita berpaling ke Juno.
"Sivan di dalam kamar, Dok. Tadi, dia mimisan banyak sekali," terang Juno gugup. Ia bergegas memutar badan. Lupa mempersilakan Anita dan perawatnya masuk. Anita bersama perawat berjalan mengikuti bayangan Juno. Wajah cantiknya terlihat khawatir menginjak satu per satu anak tangga menuju kamar di lantai dua. Di depan kamar Sivan, barulah Juno mempersilakan Anita dan perawat itu masuk dengan sopan.
Sang dokter tidak menahan diri terlalu lama untuk memeluk Sivan. Beberapa hari mereka berpisah, penampilan Sivan berubah mengerikan. Seperti siang beralih ke malam. Wajah putih yang semakin kehilangan warna dan rona, lingkaran hitam samar mengelilingi bagian bawah mata, tubuh Sivan mengecil kehilangan banyak nutrisi badan.
Selagi Anita memeriksa Sivan dan mendengarkan cerita Juno, perawat sibuk mempersiapkan alat dan perlengkapan flebotomi di atas meja belajar Sivan. Ia masuk ke dalam kamar mandi dan keluar menggunakan sarung tangan. Melihat Anita memeluk Sivan, perawat itu mengurungkan niat mengajukan pertanyaan seputar identitas Sivan. Bingkai foto berisi gambar Evan menyungging Sivan merayu pandangannya. Ia menghapus debu-debu tipis di sudut bingkai.
Perawat memasang tourniquet sesuai prosedur. Tourniquet dipasang selama satu menit untuk mempermudah menemukan vena sebagai lokasi pengambilan darah. Ia menggunakan jarum steril yang masih baru dikeluarkan dari kemasannya. Lantas membersikan kulit pada area pengambilan darah menggunakan alkohol dengan arah spiral. Jarum berhasil memasuki kulit Sivan dengan kemiringan 30 derajat. Wajah Juno ikutan pucat.
Terlihat Sivan menarik napas saat jarum itu menembus permukaan kulitnya. Setelah tabung terisi darah, jarum perlahan dilepaskan. Bekas pengambilan darah ditutup perawat dengan kasa dan plester steril untuk mencegah pendarahan. Sivan belum mengembuskan napas, merasakan sensasi nyeri yang tercipta saat jarum itu terlepas. Anita menggunakan telapak tangannya mengurai rambut yang menutupi dahi Sivan.
"Good job, Sivan. Aku janji, kamu akan baik-baik saja setelah ini," bisik Anita tepat di telinga Sivan. Sivan mengedip lambat. Kelopaknya tetap layu, meskipun lengannya tersakiti jarum.
"Berapa lama hasilnya keluar, Dok?" tanya Juno melihat perawat itu mememasukkan darah Sivan ke dalam tas khusus.
"Paling lambat besok siang. Kalau sudah keluar, hasilnya akan langsung aku beritahukan ke Pak Evan." Nada Anita menjawab sangat tegas. Seperti sedang memutuskan sebuah penyakit bersama rekan sesama dokter.
"Aku baru mau bilang itu ke Dokter. Om Evan berhak tahu lebih dulu tentang keadaan Sivan. Dia ayahnya," balas Juno.
"Aku sudah tahu semuanya. Ngomong-ngomong kenapa identitas Pak Evan dan relawan-relawannya bisa sampai ketahuan?" bisik Anita bertanya.
"Dokter nggak perlu berbisik. Sivan ... nggak akan memahaminya. Dia sedang menjadi Sivan kecil sekarang," sendu Juno.
"Maksud kamu?" Anita beringsut memeriksa sekali lagi tubuh Sivan. Memperhatikan dengan lebih teliti wajah putra Evan. Pertama, Anita memanggil namanya. Tidak ada respons apa-apa. Mengedip lambat pun tidak lagi Sivan lakukan. Kedua, Anita memanggil Sivan sambil menggoncangkan bahunya. Lagi-lagi, Sivan tetap diam. Anita ingin mencubit tipis lengan Sivan, namun tidak tega.
"Sejak kapan Sivan menjadi diam terus seperti ini?"
"Sejak Nenek Sivan dimakamkan. Sampai hari ini dia nggak mau bicara. Dulu, waktu aku pertama kali bertemu Sivan, keadaan dia seperti ini, Dok."
"Aku akan menghubungi temanku. Dia seorang psikiater," tawar Anita sambil merogoh tas hendak mengambil gawai di sana.
"Nggak usah, Dok. Kakek Sivan sedang dalam perjalanan membawa Dokter Retnosari ke sini. Dia psikiater yang menangani Sivan dari kecil," timpal Juno.
"Baik. Kabari aku terus soal ini, ya."
"Iya, Dok. Tentang pertanyaan Dokter Anita tadi, Kakek Sivan yang melaporkan Om Evan dan lainnya ke polisi. Kemarin setelah Nenek, dikebumikan aku nggak sengaja mendengar Kakek dan beberapa polisi membahas itu di ruang tamu," bongkar Juno.
"Aku nggak bisa membayangkan kalau berada di posisi Pak Evan. Hidupnya penuh dengan cobaan. Dikejar-kejar penjahat, disalahkan, dan difitnah mertua sendiri karena kesalahpahaman. Kehilangan istri dan putra tercintanya." Anita mengelus dada.
"Dokter nggak perlu khawatir. Kata Om Janu, Om Evan itu perpaduan singa dan serigala. Ia nggak akan nyerah sampai darahnya habis. Apalagi sosok yang diperjuangkannya Sivan. Anak laki-laki kesayangan satu-satunya." Juno mengatakan itu dengan sangat yakin.
Menangkap kata putra, timbul rasa penasaran lain di dalam benak Anita. Bukankah selain putra, Pak Evan juga sudah mempunyai istri. Janu tidak menceritakan secara detil kehidupan Evan bersama Sinta sebelum maut memisahkan keduanya. Meskipun sang istri telah meninggalkan dunia, tidak mungkin bisa terlupakan bergitu saja. Butuh waktu tiga menit untuk Anita mengeluarkan pertanyaan itu dari bibir merahnya.
"Juno ...," panggil Anita.
"Iya, Dok?" balas Juno.
"Menurutmu, Pak Evan sudah ikhlas melepas almarhum istrinya belum?"
"Kenapa dokter menanyakan itu ke aku?"
"Nggak. Kamu, kan, anak muda. Feeling kamu masih kuat soal cint ...,"
"Dokter Anita suka, ya, sama Om Evan?" potong Juno.
"Tidak! Tidak! Tidak! Bukan ke situ arahnya," elak Anita.
"Cie.... Kalau soal itu aku nggak tahu. Kalian justru yang lebih dewasa dan berpengalaman daripada aku. Seharusnya kalian yang lebih tahu."
"Aku hanya khawatir kalau Pak Evan merasa semua ini salahnya. Padahal semua itu bukan murni kesalahannya."
"Kalau aku jadi Om Evan, mungkin aku sudah masuk rumah sakit jiwa."
"Oke. Sudah-sudah. Cukup. Intinya hasil pemeriksaan Sivan keluar besok. Berdoa saja semoga dugaan-dugaanku tidak benar."
"Besok, tolong tunggu aku pulang sekolah, Dok. Aku ingin ikut Dokter Anita ke lapas. Aku juga mau melihat keadaan Om Janu."
"Oke. Kita ke sana sama-sama."
Juno mengangguk lalu membetulkan selimut Sivan. Deru gas mobil berhenti di bawah membuat Anita dan perawat meninggalkan kamar Sivan. Percakapan pun berakhir sementara waktu. Juno tak berminat mendengarkan penjelasan Anita bersama Kakek di ruang tamu. Tidak ada lagi yang remaja itu inginkan selain mendengar Sivan bicara lagi dan melihat sahabatnya tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...