75.

298 21 0
                                    

Dengan menjadi sarjana apakah benar kedua orangtua angkat Juno akan bangga padanya. Bertahun-tahun merawatnya, mereka hampir tak pernah membahas perihal itu bersamanya. Juno tak menyangka jika diam-diam Ayah dan Ibu menginginkan dia melanjutkan kuliah. Mereka tak pernah menanyakan. Membahas seputar dunia perkuliahan atau sekadar menanyakan pendaftaran mahasiswa baru pun tidak. Kakak angkat perempuan yang begitu update seputar dunia pendidikan via media sosial pasif mengabarinya.

Janu manusia yang semula asing dan tiba-tiba menjadi dekat karena membimbingnya selama melaksanakan tugas relawan PMR. Walau mereka sukses mengakrabkan diri, Juno merasa masih ada dinding tinggi yang menghalangi. Perasaan utang budi yang membuat Juno ingin membalas kebaikan pada orang tua angkatnya. Janu lupa jika Juno adalah remaja yang dewasa sebelum waktunya.

Selimut yang menutupi bagian perut ditariknya hingga menyembunyikan seluruh tubuh. Juno tidak bergerak di atas tempat tidur, tetapi pikirannya masih berada di kedai boba. Ada Janu juga di sana.

"Waktu kami di Yogya tinggal sebentar. Jika tidak ada perubahan pada Sivan, Evan akan melanjutkan pengobatannya di Jakarta. Kata Dokter Retnosari PTSD-nya juga kambuh. Aku beri waktu kamu untuk memutuskan," ungkap Janu.

"Kenapa Om Janu yakin ingin menangkatku menjadi anak?" sergah Juno.

"Karena aku merasa kita ada kecocokkan. Sifat dan karakter kita hampir sama. Frekuensi kita juga nyambung." Janu mengatakan itu dengan jujur. Remaja yang duduk di seberang merasakannya.

"Om Janu nggak berniat menikah saja dan mempunyai anak sendiri?"

"Aku sudah mencoba menjalin hubungan serius dengan beberapa wanita, tapi selalu gagal."

"Kok, bisa gagal? Om Janu, kan, punya banyak uang?"

"Ada pepatah yang mengatakan uang tidak bisa membeli cinta, kan. Lagipula aku punya kekurangan." Janu menjeda obrolan untuk memesan dua gelas boba. Ia lupa bertanya Juno menginginkan rasa apa. Pria itu memesan rasa cokelat semua dan menaruh uang lima puluh ribu di meja kasir.

"Ada kejadian pahit yang bikin aku takut sama perempuan. Itu terjadi saat aku masih kelas enam SD. Kalau tidak salah wanita yang aku temui pada waktu itu umurnya sekitar tiga puluh tahunan. Kami sama-sama menunggu hujan reda di sebuah halte bus dan dia beberapa kali mengajakku bicara dengan lembut. Suaranya terdengar seperti wanita baik-baik meskipun penampilannya begitu mencolok. Tiba-tiba dia semakin mendekatkan tubuhnya kepadaku. Memegang bagian bawah celanaku. Dan, kejadian mengerikan itu terjadi."

"Serem sekali, Om." Bulu kuduk Juno mendadak berdiri. "Aku pikir yang mengalami hal seperti itu kebanyakan perempuan saja."

"Wanita itu termasuk pedofil, No. Gara-gara itu aku menjadi takut sama perempuan yang bermake up tebal sampai sekarang dan aku tak pernah berani memegang perempuan. Karena itu mereka tak pernah betah berhubungan denganku."

"Om Janu udah coba berobat ke psikolog atau psikiater sama seperti Sivan?"

"Belum. Selama hal itu tidak mengganggu kesehatan dan kegiatanku sehari-hari aku masih bisa mengatasinya."

Juno memutar-mutar sedotan di dalam gelas boba yang telah habis. Ia merasa sedikit kasihan kepada Janu. Di usianya yang sekarang, seharusnya pria itu sudah hidup bahagia bersama istri dan mempunyai putra seumuran Sivan. Lagi-lagi masa lalu menyakitkan selalu menjadi penghalang utama manusia mencapai kebahagiaan.

"Kalau misalnya kamu tetap tidak mau, aku nggak akan maksa. Evan juga tetap memberikanmu imbalan karena menjadi sahabat terbaik yang selalu menjaga Sivan."

"Om Evan juga yang menyuruh Om Janu menemui orangtuaku?"

"Kalau itu atas inisiatifku sendiri."

Pagi-pagi sekali, Sivan dibangunkan oleh rasa pening. Tetapi, itu tak menghalangi bibir pucatnya menerbitkan senyuman manis. Di atas meja belajar yang beberapa hari ini kosong dan hanya dipenuhi debu kini terlihat bersih seperti baru. Lima tumpuk buku novel yang masih tersegel plastik berada di sebelah kanan. Paling dekat dengan lampu meja belajar. Di sebelah kiri, Evan sengaja menaruh parfum ruangan wangi kopi kesukaan Sivan. Semua benda itu Evan dapatkan hanya dalam waktu satu hari. Terakhir, benda yang berdiri di tengah-tengah sukses memanjangkan senyum Sivan,

Foto kesayangan masa kecil satu-satunya yang ia punya dan telah menguning, kini terbungkus bingkai foto bagus yang membuatnya tampak seperti foto bernuansa vintage. Sivan rindu memegang foto itu. Punggungnya bangun meninggalkan tumpukan bantal penyangga yang dibuatkan Evan.

"Bagus banget," Sivan memuji bingkai baru yang dibeli Evan di toko dekat rumah. "Kok, bisa ada bingkai sebagus ini dijual di sekitar Gunung Merapi." Ia mulai meraba ukiran-ukiran berwarna emasnya.

"Dari dulu aku mencari bingkai foto yang seperti ini nggak pernah nemu."

"Padahal ada di toko mungil tidak jauh dari sini," Evan hadir di tengah-tengah pintu sembari membawa nampan berisi bubur yang masih mengepul. Senyuman di bibir Sivan kian melengkung. Evan menaruh nampan di meja nakas lalu beranjak mensyusul Sivan di meja belajar.

"Kamu sudah kuat jalan?" tanya Evan. Mata setajam elangnya memincing untuk memastikan.

"Aku udah sehat, Ayah." Sivan menolak uluran bantuan lengan Evan. Namun, Evan tetap melanjutkan aksinya. Khawatir kondisi Sivan tiba-tiba drop seperti semalam.

"Nggak apa-apa." Ulang Sivan menyingkirian tangan Evan yang hendak memegang kedua bahunya. "Ayah khawatirnya lebay banget."

"Ayah nggak mau kamu kenapa-kenapa lagi."

"Harga bingkai kecilnya berapa, Yah? Bagus banget." Pengalihan topik mulai Sivan lakukan. Putranya masih terkesima pada bingkai foto yang tak sengaja dibelinya.

"Berapa, ya. Kayaknya nggak sampai tiga puluh ribuan."

"Kayak bingkai yang dulu pernah dibeli Mama."

"Tadi malam kamu mimpiin Mama lagi?"

"Nggak. Dulu, seingatku setiap kita belanja, Mama, kan, suka banget ngelihat-lihat rak bingkai foto. Mama pernah bilang ke Sivan suka model bingkai foto yang banyak ukirannya kayak gini." Bingkai foto cantik itu terlepas dari genggaman Sivan. Jatuh dan rubuh di atas meja belajar. Beruntung kacanya mampu bertahan dari benturan. Lengan Evan dengan cepat meraih kepala sang putra agar tak membentur pinggiran meja. Ia mendekap lengan kurusnya, lalu membopong tubuh lemas putranya menuju ke pembaringan.

"Sivan, Sivan dengar Ayah? Sivan ...." Evan menepuk pelan wajah Sivan dengan kedua mata yang telah memejam.

"Yah ... Ayah ...." Sivan mencoba merespon walau tenaganya tak mendukung pergerakannya.

"Kepala Sivan pusing?"

Anak itu masih mampu mengangguk.

"Selain kepala ada lagi yang sakit?"

"Nggak ...."

"Ayah panggil dokter, ya."

"Sivan cuma pusing aja. Nanti habis minum obat pasti sembuh. Ayah di sini."

"Ayah takut itu ada hubungannya sama pemulihan operasi kamu."

"Sivan nggak butuh dokter. Sivan butuhnya Ayah ...." Kedua mata Sivan menutup sempurna. Tak membuka lagi sekeras apapun Evan menepuk pipinya.

Kepanikan hebat membuatnya merengkuh tubuh sang putra kembali. Dielapnya keringat yang mulai membanjiri pelipis Sivan. Evan menyadari ada sesuatu yang janggal pada putranya. Hawa sangat panas Evan rasakan begitu punggung tangannya tak sengaja menyentuh kening putranya. Ia menggendong Sivan cepat-cepat. Meninggalkan bantal dan selimut yang berantakan.

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang