85.

319 16 0
                                    



Tubuh lemas Sivan mendadak limbung. Baru satu detik kakinya menginjak lantai rumah yang sudah sepuluh tahun tidak dilihatnya. Evan sigap menahan punggung sang putra sebelum benar-benar merosot ke bawah. Otot di tangannya menyembul, memegang kedua pundak Sivan. Melakukan tindakan penjagaan seperti biasa. Janu dan Juno membulatkan mata, terlihat lebih panik di belakang. Mereka ikut mengkhawatirkan kondisi harta berharga Evan.

"Nggak apa-apa kalau belum kuat. Jangan dipaksa," imbau Evan.

"Maaf, Yah ...," lirih Sivan sembari menyandarkan kepala di atas pundak ayahnya. Leher Evan berputar menuju sedan hitam yang diam di depan pos penjagaan. Dulu, di dalam pos itu ada satpam pribadi Evan yang selalu menyambutnya ramah. Kini, tempat itu kosong hanya terisi udara hampa.

"Besok kita ke sini lagi. Ayah janji." Gemuruh dada yang menyebabkan nyeri pada pernapasan memaksa Sivan untuk menuruti kemauan Evan. Apalagi kini tubuhnya mendadak kehilangan kekuatan. Padahal pagi tadi, Sivan merasa semuanya baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda kendala akan datang. Satu hari sebelumnya, Evan menemaninya check up di rumah sakit. Dokter tak memberikan peringatan akan sesuatu yang membahayakan.

Baru satu langkah mendekati rumah bercat abu-abu itu, Sivan diserang anak panah tak terlihat dari semua penjuru arah. Yang mampu menyakitinya dalam sekejab. Kepalanya pusing mendengar bentakan-bentakan empat pria jahat yang dulu datang ke rumah tanpa diundang. Dadanya memberat mengingat napas Sinta terakhir di penghujung maut. Sudah tak terhitung berapa butir air yang meluncur di dahi Sivan.

"Ayah, Sivan dengar suara itu lagi. Sivan lihat kejadian itu lagi ...."

"Ayah akan lindungi kamu dari mereka," berat Evan mengatakannya. Sivan menutup mata, karena bayangan-bayangan itu semakin jelas berseliweran. Mereka seperti ingin menariknya ke suatu tempat yang gelap.

"Kita ke mobil sekarang, ya." Tubuh sang putra yang kian memberat memaksanya menuntun Sivan berjalan.

Janu membukakan pintu mobil. Sementara putra angkatnya telah lebih dulu masuk ke dalam mobil untuk mengatur posisi tempat duduk Sivan. Ia membantu Evan mendudukkan Sivan dengan posisi setengah berbaring. Keadaannya terlihat memprihatinkan. Hanya dengan melihat rumah tempat kejadian tragedi perampokan beberapa detik, Sivan hampir kehilangan dunianya.

Rumah minimalis modern yang pernah merenggut nyawa sang istri dilihatnya sekali lagi. Semalam, intensitas rengekan Sivan meminta diantar ke sana berkali-kali lebih sering. Evan sempat bersikeras melarang, namun wajah merah menahan air mata Sivan meluluhkan keegoisannya. Mau Sivan versi kecil atau sudah sebesar sekarang, selamanya ia tetap menjadi kelemahan Evan.

Tak ada yang berubah dari rumah itu. Evan pernah menolak tawaran Hendra untuk melapisi dindingnya dengan cat baru. Hanya barang-barang ruang tamu saja yang Evan singkirkan. Pria itu membakar dan melenyapkan sendiri sofa tamu berlumuran darah Sinta di belakang halaman rumah. Proses pembakaran itu berlangsung tengah malam. Ditemani temaram sinar rembulan.

Taman rumah yang dipenuhi tanaman-tanaman koleksi Sinta terawat meski pot-potnya kosong. Satu-satunya yang bertahan di sana pohon bunga kamboja yang akarnya berkelana cukup jauh di dalam tanah. Hendra memperkerjakan seseorang untuk menengok rumah itu satu minggu sekali dan membersihkannya. Salah satu rekan Hendra pernah menawar rumah itu dengan harga tidak murah. Namun, Evan tak pernah mempunyai niat untuk menukarnya dengan uang. Karena rumah itu didesain khusus sesuai keinginan Sinta.

"Masih kuat tidak?" Evan memastikan lagi keadaan putranya.

"Masih, Yah. Nggak apa-apa. Cuma sedikit pusing aja."

"Pusing, kok, nggak apa-apa, sih, Siv." Juno mengomel. "Bohong dia, Om. Dari dulu kalau dia bilang pusing, kalau akhirnya nggak pingsan, ya, sakit."

"Kita putar balik aja, Nu," putus Evan.

"Jangan, Ayah. Sivan mau jenguk Mama. Sudah sepuluh tahun, aku nggak lihat makam Mama." Sivan memohon sembari menahan sesak di dada. Jari-jari dinginnya menarik ujung lengan kemeja hitam yang dikenakan Evan. Melihat wajah kesakitannya Evan merasakan sakit juga.

"Iya. Kita tetap ke sana. Kita jenguk Mama sama-sama." Evan menaruh kepala Sivan di pundaknya. Membiarkan Sivan tidur sejenak di sana. Perjalanan mereka masih panjang. Jarak rumah terakhir Sinta menuju pemakamannya memakan waktu tiga puluh menit lamanya.

Buru-buru Juno mendorong pintu mobil begitu sedan berhenti di depan sebuah tempat pemakaman. Seorang petugas kebersihan makam yang sibuk mengumpulkan dedaunan menghentikan ayunan sapu. Wajah lelahnya mengkerut, menyaksikan Juno mengeluarkan kursi roda dari bagasi mobil. Pria tua yang juga penjaga makam itu menaruh sapu melihat Sivan rubuh tak mampu berdiri dengan utuh. Denyutan di kepala Sivan belum reda. Tubuhnya tak mau diajak berjalan.

"Butuh bantuan, Pak?" tawar penjaga kebersihan dengan ramah. Evan tak menjawab apa-apa. Ia fokus membantu Sivan duduk di atas kursi roda dibantu Juno.

"Nggak apa-apa, Pak. Anaknya memang lagi nggak enak badan. Habis sakit," jawab Janu.

"Kalau butuh apa-apa panggil saya saja, Mas. Tempat saya berjaga di sebelah sana." Pria itu menunjuk sebuah bangunan penyimpanan keranda.

"Baik, Pak. Terima kasih atas tawarannya," ucap Janu kemudian.

"Jenguk makam Mamanya sebentar saja, ya? Ayah khawatir kamu kenapa-napa." Sivan tak langsung menjawab kekhawatiran ayahnya. Ia diam sekitar tiga menit untuk memastikan sendiri keadaannya benar-benar baik-baik saja.

"Ayah tenang aja. Sivan kuat." Sivan berharap ayahnya bisa melihat senyuman lebarnya dari belakang. Namun, senyumnya tak bertahan lama. Denyutan menyakitkan itu menyerang lagi. Sesampainya di depan rumah terakhir Sinta beristirahat, Sivan terisak-isak hingga kesulitan bernapas.

"Ma ...." Isakan Sivan bertambah cepat. Hingga ia tak bisa menahan semuanya. Telapak tangan kurusnya mengepal. Sivan histeris sembari memukul-mukul-mukul nisan Sinta. Berharap Sinta bisa mendengarnya dari dalam sana.

"Mama!" Sivan menjerit.

Tanpa mengucapkan apa-apa, Evan menyentuh tubuh Sivan, mengangkatnya paksa menuju mobil. Juno ikut berdiri dan bergegas melaju mengikuti Evan di belakang. Begitu juga Janu yang berjalan cepat sambil mendorong kursi roda. Penjaga kebersihan makam menghentikan lagi aktivitasnya menyaksikan tiga pria yang tadi ia tawari bantuan sama-sama meninggalkan area pemakaman.

Sivan terbangun lagi di ruangan yang selalu ia benci. Walau ruangan itu bersih dan rapi, bau-bauan obat membuatnya sakit hati. Tak ada yang menemaninya di sana, kecuali selang infus dan EKG yang tidak hidup. Hal terakhir yang Sivan ingat adalah dirinya histeris di makam Sinta. Lalu, rengkungan hangat ayahnya. Dan, semuanya berakhir gelap. Beruntung lima kilometer dari taman pemakaman ada sebuah klinik kesehatan. Sivan tak sadarkan diri hingga malam.

"Sivan," Evan terkejut setelah membuka pintu ruangan. Sivan tenang menyambutnya. Tidak histeris atau memintanya untuk langsung dibawa pulang. Ini suatu kemajuan yang akan Evan sampaikan kepada terapis baru Sivan nanti.

"Apa yang dirasain sekarang? Kepalanya masih pusing? Atau ada sakit di bagian lain?"

"Sudah nggak pusing, Yah." Saking leganya, Evan tak mampu menjawab.

"Ayah,"

"Ya?"

"Maaf karena terus-terusan inget Mama."

"Memangnya Sivan ingin melupakan Mama?" Terlihat sekali Sivan gelagapan. "Jangan pernah berpikir buat lupain Mama. Semalam Mama gentayangan lagi di mimpi Ayah." Sivan tertawa pelan. Tawa yang cukup membuat Evan merasa senang.

"Sivan, ayo kita coba berdamai sama Mama."

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang