Cara Renjana memoles roti tawar menggiring atensi Haris dari barisan-barisan kalimat di koran. Sebagai seorang kepala chef berpengalaman, seharusnya tak menyulitkan pria itu hanya sekadar memoles roti untuk menjadikannya sebuah sandwich siap makan. Sendok yang dipakai Renjana mengelus permukaan roti tak rapi. Gerakan maju mundurnya pun tak enak dilihat. Haris meletakkan koran paginya di sebelah gelas berisi susu putih yang masih mengepulkan asap tipis.
"Kau kenapa?" telusur Haris. Ia belum pernah melihat Renjana berlagak seperti ini semenjak kedua orang tua mereka meninggal karena kecelakaan pesawat terbang. Pria yang sebentar lagi memasuki usia senja itu kini mengiris kedua roti tawar putih yang telah terisi telur dan keju menjadi dua bagian. Lagi-lagi dengan gerakan sangat lamban.
"Tidak apa-apa," jawab Renjana ala kadarnya.
"Kau sudah tak tertarik dengan dunia makanan?" sambung Haris.
"Sama sekali tidak." Renjana menaruh dua potong sandwich di dua piring.
"Lalu, kenapa cara memotong rotimu menjadi jelek seperti itu?"
"Aku cuma terharu saja. Ini sandwich pertama kita setelah beberapa tahun berpisah. Dulu, waktu kita masih muda aku sering membuatkanmu sandwich buat sarapan, kan?"
"Ya, karena hanya itu yang kau bisa."
"Hahaha. Tapi, aku tahu kakak menyukainya. Kakak selalu menghabiskan sandwich buatanku."
Haris tahu Renjana mengalihkan suasana. Segeralah ia menyerang balik menggunakan pertanyaan utama. "Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu akhir-akhir ini?"
"Tentu saja ada. Banyak malah. Manusia, kan, punya pikiran."
"Apa yang sedang kau pikirkan? Kau bukan terharu, kau gugup."
Renjana kesulitan menelan ludah. Hampir tersedak ia dan kehilangan kepercayaan diri tiba-tiba. Dari dulu Renjana memang tak pandai menyembunyikan rahasia. Ia melupakan fakta bahwa sang kakak mantan prajurit hebat yang instingnya terlatih kuat. Tubuh yang bugar menjaga kemampuan prajuritnya tetap sempurna.
"Sejujurnya, aku berencana membuka restoran Jepang di sini. Tapi, aku masih ragu." Terpaksa Renjana memaparkan rencana B apabila Haris berhasil membuat paspor. Berpura-pura hendak membuka restoran Jepang di Yogyakarta dengan meminta banyak bantuan kakaknya.
"Kau tidak menyembunyikan sesuatu dariku, kan?"
"Tidak, Kak. Bagaimana urusan akta kelahirannya? Sudah beres?"
"Aku tidak jadi ke Dukcapil Sleman. Tadi langsung ke rumah salah satu senior temanku dulu bertugas. Rumahnya di dekat Candi Prambanan. Ia akan membantu membereskan semuanya. Aku diminta tinggal menunggu saja. Ia memberitahuku maksimal 3 hari."
Sial. Renjana melupakan fakta lain bahwa Haris memiliki banyak relasi di dunia pertahanan. Khusus yang ini Renjana tak bisa merancang rencana cadangan. Ia tahu betul semua relasi Haris bukan orang-orang sembarangan. Kini hanya surat rujukan rumah sakit satu-satunya harapan yang bisa menolong rencana Janu dan kawan-kawan. Ia harus segera menghubungi Anita.
Sebuah ide terlintas di kepala Renjana. Ia mulai memegang perutnya. Kedua alis sengaja ia runtuhkan ke bawah. Matanya ia tutup rapat-rapat sampai ia sendiri benar-benar merasa kesakitan.
"Kau kenapa?"
"Perutku tiba-tiba sakit." Sebelah mata Renjana menyipit menyaksikan sang kakak berdiri mengarah ke kotak obat.
"Bisa antarkan aku ke klinik terdekat dari sini? Tolong ini sakit sekali ...." Renjana meluruhkan kedua lutut lantas berlagak sesak napas. Terdengar langkah cepat sepatu mendekat. Sebuah tangan kekar menarik kedua lengannya. Membantunya bangun lantas mengajaknya berjalan meninggalkan dapur. Kaki yang tertatih-tatih dan erangan Renjana berhasil meyakinkan Haris bahwa pria itu benar-benar diserang sakit.
"Kita ke Klinik Kartika saja," putus Haris.
Pemandangan Evan yang sedang memanaskan mobil jeep membuat Janu diserbu dejavu. Ia pernah memergokinya memanaskan mobil sepagi ini. Begitu mengucek bola mata sebanyak empat kali dan menyingkirkan kabut di kedua matanya pergi, Janu memekik tinggi.
"Ngapain manasin mobil sepagi ini? Mau ke mana kamu?" Selidik Janu berwajah mengantuk.
"Cuci muka dulu sebelum mengajakku bicara," Evan tak suka melihat mata Janu yang baru terbuka satu.
"Jangan ke mana-mana. Kita akan ke rumah Kakek Sivan lagi pukul sembilan. Kata Opa Jana, Kakek akan pergi mengurus dokumen rujukan rumah sakit Sivan."
"Aku tahu. Makannya aku sengaja mau pergi sepagi ini."
"Pergi ke mana?"
"Ke rumah Ibra, teman Juno dan Sivan. Dia mahasiswa yang ikut membantu kita di pengungsian."
"Mau ngapain kamu ke sana? Ada urusan apa?" Sebelah mata Janu yang menutup akhirnya terbuka juga.
"Katanya, dia ahli membuat layang-layang."
"Kamu ingin membelikan Sivan layang-layang lagi? Yang pesanan gapangan dulu bukannya sudah jadi?"
"Beberapa minggu yang lalu aku sudah menghubungi toko yang memesankan gapangan. Tapi, sampai sekarang tidak ada balasan."
"Kenapa kita tidak datang ke tokonya?"
"Ke Ibra saja. Sivan dan Juno sering bermain bersamanya. Berarti layang-layang buatan Ibra sesuai dengan keinginan Sivan."
"Oke kalau begitu. Aku ikut. Tunggu aku mau mandi dulu." Janu berbalik sembari mengusap gawai yang sedari tadi ia genggam. Di belakang punggung lebarnya, Evan lebih dulu mendekatkan benda persegi di daun telinga. Hendra memberitahu dengan suara menyesal bahwa ia gagal terbang karena ada rekan bisnis dari luar negeri yang datang ke rumah Jakarta. Evan hanya menjawab tidak apa-apa lalu memutuskan sambungan telepon begitu saja.
Sesuai dugaannya, Hendra ahli urusan uang tapi tidak dengan keluarga. Ia selalu menomorduakan kegiatan anak-anaknya. Tepukan pelan pada punggung memaksanya ke belakang. Namun, bukan pintu masuk villa yang ia dapatkan. Melainkan satu pesan cukup panjang di dalam layar gawai Janu.
Opa Renjana: [Hari ini Kakek Sivan tidak pergi mengurus berkas lagi. Aku pura-pura sakit dan sekarang sedang dalam perjalanan ke klinik tempat Anita bekerja. Juno sudah datang untuk menjaga Sivan. Sebaiknya kalian cepat ke sini. Aku akan menghubungi kalian lagi.]
Anita terserang panik. Ia lebih dulu menerima dan membaca WA pemberitahuan dari Renjana. Memintanya untuk tetap serius memeriksa kepura-puraan sakitnya setibanya Renjana di Klinik Kartika tempatnya bekerja. Akan tetapi, ini pertama kalinya dokter umum itu harus beradu akting. Ia tak mempunyai pengalaman itu seumur hidupnya. Alhasil, begitu Renjana masuk ke dalam ruangan pemeriksaan wajah Anita panas dingin. Dahi mulusnya pun lebih banyak mengeluarkan keringat.
"Apa perlu dirujuk ke rumah sakit?" Haris bertanya tanpa memanggil menyebut jabatan profesi Anita. Ia mulai terbiasa berbicara dengannya semenjak Anita memberikan saran berbagai pengobatan untuk Sivan.
"Sepertinya tidak terlalu parah. Hanya maag biasa ...." Jawab Anita yang langsung mendapatkan tatapan sinis Renjana. Ia berdeham memberi pria itu isyarat bahwa masih ada kalimat yang akan ia lanjutkan.
"Tapi, tunggu sampai obatnya bereaksi dulu, ya, Opa. Kalau nyeri di perutnya mereda, Opa saya izinkan pulang," lanjut Anita sopan.
"Katanya hanya maag biasa?" sergah Haris. Anita dan Renjana saling membulatkan mata. Sang dokter menyingkirkan poni yang mulai dibasahi keringat.
"Tadi waktu saya periksa, detak jantung Opa sangat cepat. Saya khawatir nyerinya menjalar ke jantung." Di hadapan Haris Anita merasa seperti kembali menjadi mahasiswa koas. Tatapan dingin dan wajah galaknya mengingatkannya pada konsulen killer yang membimbingnya di salah satu rumah sakit tempatnya dulu magang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...