Suasana malam di barak pengungsian dipenuhi percakapan tentang erupsi Gunung Merapi. Meskipun begitu, para relawan membagikan makan malam dengan baik, tertib, dan tenang. Mereka tidak keberatan menghadapi ulah seorang nenek yang menginginkan makanan lebih untuk persediaan jika suaminya tiba-tiba lapar. Para relawan juga tidak mempermasalahkan beberapa pengungsi kalangan atas yang mengkritik secara terbuka perihal rasa masakan mereka. Dalam keadaan darurat apapun harus diterima.
Janu menghabiskan menu makan malamnya bersama Anita di depan tenda kesehatan. Semenjak perbincangan mereka di belakang barak pengungsian, mereka telah resmi menjadi sahabat. Pasien dengan luka di kepala tertidur di dalam tenda bersama seorang keluarga yang setia menjaganya. Ia masih perlu dipantau, karena mendapat cukup banyak jahitan di kepala. Janu menceritakan kejadian Sivan menghilang kepada Anita untuk mengurangi beban berat yang menumpuk di hatinya. Sebelum cerita itu hampir selesai, Juno menghubunginya.
Remaja laki-laki itu mengatakan dengan nada tenang bahwa Sivan sudah ditemukan. Level kegelisahan Janu meluruh bagai tersapu angin sejuk yang menenangkan. Namun, Juno melanjutkan berkata bahwa Sivan kehilangan kesadaran dan Evan memintanya pulang membawa serta Anita ke villa untuk memeriksa keadaan putranya. Janu mempercepat mengunyah makanannya untuk segera meminta bantuan Anita.
"Juno bilang Sivan sudah ditemukan," ucap Janu menghadap tubuh berselimut kardigan cokelat Anita. Anita menghentikan kesibukannya menyatukan rambut.
"Syurkurlah, aku ikut lega mendengarnya," balas Anita. Senyum cantiknya mengembang.
"Tapi, Sivan pingsan di perjalanan dan sampai sekarang dia belum sadar."
"Ya Tuhan ... Apa di villa nggak ada persediaan obat?"
"Maaf. Tapi, kalau tidak keberatan, Evan memintaku membawa kamu ikut ke villa untuk memeriksa keadaan Sivan." Anita meninggikan pundak. Memancing kepala Janu mendongak ke langit.
"Jam tugasku di sini sudah selesai. Ayo kita ke villa Pak Evan sekarang!" ajak Anita. Janu pun menyudahi makan malamnya.
Sivan terpejam damai di atas tempat tidur Evan. Tubuhnya terbungkus selimut kelabu tebal. Juno tidak melepas genggamannya di telapak Sivan sejak diizinkan masuk ke dalam kamar Evan. Di depan Juno, Evan mengawasi dengan sangat teliti Anita melaksanakan tugasnya. Dokter nyentrik yang selalu menguncir rambutnya itu sedang menempelkan benda pipih dingin di dada Sivan. Sivan belum menunjukkan tanda-tanda hendak membuka mata. Malam itu, semua penghuni villa mengkhawatirkan keadaan harta berharga Evan.
Suara renyah Anita mengusir kesunyian ruang tamu villa. Ia menjelaskan kondisi Sivan kepada ayahnya di sana. Diagnosis sementara, Sivan kelelahan hebat. Sama seperti waktu pertama kali Evan menemukannya pingsan di pinggir jalan. Sang putra kehilangan banyak energi karena tekanan darahnya rendah. Beruntung, sesak napas tidak menyerang paru-paru Sivan. Sebelum pamit, Anita memberikan nomor telepon pribadinya. Meminta Evan untuk tetap tenang dan segera menghubunginya jika keadaan Sivan memburuk.
Evan menggantikan posisi Juno menggenggam tangan Sivan. Kedua orang tua angkat Juno menelepon. Meminta Juno untuk segera pulang. Kakak perempuan angkatnya ikut mengancam tidak akan memberikan uang saku tambahan. Juno mencoba menjelaskan keadaan Sivan kepada kedua orang tuanya dan ia sengaja tidak memperdulikan ancaman sang kakak. Mereka kekeh tidak mengizinkan Juno menginap mengingat kondisi Gunung Merapi tidak stabil. Akhirnya, Janu berinisiatif mengantar Juno pulang menggunakan jeep.
"Maafkan ayah, Sivan. Semuanya gara-gara ayah," sesal Evan, membenturkan telapak tangan Sivan ke dahinya. Meskipun Evan menangkupnya, menggosoknya berkali-kali, telapak tangan Sivan terasa dingin. Evan mengambil selimut tambahan di dalam lemari. Sambil mengatur lapisan kedua selimut di tubuh putranya, Evan menyadari sesuatu berwarna biru mendominasi pipi kanan Sivan.
Bau parfum ambre topkapi menggelitik indra penciuman Sivan. Sebelum membuka mata, ia sempatkan menutup hidung sebentar untuk mengurangi bau semerbak yang mengantri masuk ke dalam paru-parunya. Sumber utama yang menyebarkan bau itu adalah kamar mandi Evan. Evan baru saja membersihkan diri. Ia menggunakan parfum itu di dalam kamar mandi. Evan pikir bau ambre topkapi akan terkunci di dalam. Pria itu tidak juga sadar. Parfum pemberian Sinta terkenal mudah menyebar di berbagai tempat.
Evan menaruh mug hitam berisi kopi di atas meja balkon. Ia melambaikan tangan kepada Janu, Joe, dan Beton dari lantai dua. Mereka bertiga akan melanjutkan misi relawan MG tanpa Evan. Usai mobil tiga bawahan meluncur ke utara, Evan memutar badan, membetulkan maskernya, lalu masuk kembali ke dalam kamar. Pintu kaca bergeser dan senyum pucat Sivan tampak manis menyambutnya.
"Sivan, gimana keadaan kamu? Masih ada yang sakit?" Evan langsung menyerbu Sivan dengan dua pertanyaan. Tubuh yang masih lemas, membuat Sivan hanya bisa menggeleng lemah.
"Kok, aku bisa ada di villa Om Ivan lagi?" bingung Sivan.
"Karena sambungan telepon kamu terputus kemarin, Om dan Juno mencari kamu. Kamu pingsan di kedai boba, lalu om bawa kamu ke sini," singkat Evan. Sivan merasa sangat lega mendengar penuturan Evan. Untung saja Evan tidak megantarnya pulang ke rumah. Jika itu terjadi, maka urusannya bisa sepanjang rel kereta.
"Maaf ngerepotin, Om."
"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa pipi kanan kamu bisa biru kayak gini?" sahut Evan mengalihkan pertanyaan Sivan. Ia menyentuh pipi kanan Sivan hati-hati menggunakan jari telunjuknya.
"Itu ... Kemarin aku jatuh, Om. Nggak sengaja pipiku kena besi pembatas jalan," bohong Sivan.
"Lain kali hati-hati,"
"Iya, Om," Sivan menunggu Evan selesai menyentuh, memeriksa, dan memperhatikan pipinya. Evan menjauhkan lagi jari telunjuknya. Seketika jantung Sivan berpacu seperti kereta kuda.
"Om," panggil Sivan sayup-sayup.
"Iya?"
"Aku ... izin di sini sebentar, ya, Om? Beberapa hari yang lalu, Om Ivan menawariku belajar gitar sama Om Joe. Boleh nggak kalau aku belajarnya hari ini?" Evan menyadari keanehan Sivan.
"Joe dan lainnya sudah berangkat ke pengungsian."
"Oh, iya, hari ini persiapan penutupan relawan PMR Siaga Merapi, ya?" Ada nada sedih saat Sivan mengatakan itu. Ia menyesal tidak bisa mengikuti acara penutupan relawan PMR sekolahnya.
"Tidak apa-apa kalau kamu mau di sini dulu. Kebetulan om off hari ini. Kamu bisa menunggu di sini sampai Om Joe pulang. Lalu, dia akan mengajarimu bermain gitar." Evan menyusul berbohong.
"Iya. Cuma sampai Om Joe pulang aja. Aku numpang di sini sebentar sampai Om Joe pulang, ya, Om?" pinta Sivan tanpa sadar memegang kedua lengan berotot Evan.
"Kamu boleh di sini sampai keadaan kamu membaik. Om akan mengambilkan sarapan pagi. Setelah itu minum obat dan lanjutkan istirahat."
"Terima kasih, Om." Sedari tadi insting perlindungan Evan menyala. Ia ingin mengeluarkan banyak pertanyaan untuk Sivan. Menggali lebih dalam tentang masalah yang sedang menimpa putranya. Evan yakin warna biru di pipi Sivan bukanlah pembatas besi pelakunya. Evan melepas kedua tangan Sivan, menggantinya dengan elusan menenangkan di kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...