Baju-baju yang hanya dipakai pada saat acara tertentu dikeluarkan Sinta dari lemari putih. Sebagian besar kaos berwarna hitam, biru, dan cokelat. Sebelumnya, Sinta keluar masuk komputer mencari tahu semua hal tentang kencan. Ajakan kencan Evan terlalu mendadak, membuat gadis manis itu memakan semua informasi yang tersedia. Sinta menelan mentah-mentah artikel bagaimana cara sukses kencan pertama, persiapannya seperti apa, hingga barang-barang apa yang harus dibawa. Ia memutuskan akan membawa dompet, handphone, dan tas selempang milik Andriani, sang mama.
Sinta masih kebingungan mau memakai baju apa. Ia gadis tomboy yang setiap hari mengenakan baju sama. Kaos polos dan celana jeans yang biasa saja. Karena yang ia lakukan sepulang sekolah adalah latihan ketat bersama ayah sampai malam. Sehingga tak punya waktu untuk melihat atau sekadar memikirkan barang-barang perempuan. Sinta terpaku di depan cermin seukuran manusia di samping lemarinya. Menatap penampilannya yang masih mengenakan kaos pendek dan celana training. Bau keringat membuatnya membenci tubuhnya sendiri.
Ia membaca salah satu artikel sekali lagi. Tanpa sengaja mengklik foto ilustrasi pasangan mesra yang sedang berkencan di pantai. Sang pria memakai kemeja kotak-kotak berwarna cerah, sementara pasangan wanitanya mengenakan gaun kuning berenda-renda. Gaun itu mirip sekali dengan gaun kesayangan Mama. Haruskah ia berpenampilan seperti wanita ilustrasi itu? Sinta meragu, hingga tak menyadari Mama membuka pintu.
"Air hangatnya sudah siap. Lho, kok, semua baju dikeluarkan dari lemari. Mau diapain?" heran Mama. Sinta gelagapan. Ia belum pernah terciduk melakukan pengurasan isi lemari seperti ini.
"I ... itu, Ma ... besok Sinta mau diajak pergi sama temen sekolah." Mama berjalan cepat untuk memastikan kenyataan yang baru saja anak gadisnya katakan.
"Serius? Ada teman yang mau mengajak kamu main?"
"Duarius. Dia sengaja jajanin Sinta di sekolah buat ngajak main."
"Sampai jajanin?! Cowok?" ulang Mama. Sinta mengiyakan.
"Namanya Evan, Ma."
"Wah!!!" Mama menabrak tubuh Sinta dan menenggelamkan kepala bidadari kecilnya di dada. "Akhirnya! Akhirnya putri kecil Mama diajak kencan!"
"Mama, kok, bisa tahu dia ngajak aku kencan?"
"Taulah. Mama, kan, lebih pengalaman dari kamu." Mama menjawil hidung Sinta. Membuat Sinta refleks menggaruknya.
"Tampan nggak?"
"Lumayan tampan, Ma. Kayaknya dia anak orang berada juga. Badannya bau parfum mahal."
"Asyik! Kebutuhan materi kamu sudah terpenuhi. Pertahankan, ya!"
"Mama, ih. Pacaran aja belum."
"Sini-sini biar Mama pilihin bajunya. Pokoknya anak cantik Mama harus seperti putri penampilannya."
Sinta membiarkan Mama memilah-milah bajunya. Membolak-baliknya dengan girang. Mama seperti kembali pada masa remajanya. Saat pertama kali berkencan dengan Haris, ayah Sinta. Kegirangan Mama hanya berlangsung sesaat. Tak ada satupun baju Sinta yang memuaskan harapannya.
"Kenapa selama ini kamu selalu minta dibeliin kaos, sih, Sayang? Lihat, kalau lagi penting begini, kan, jadi bingung mau pakai baju apa."
"Aku pakai kaos aja, ya, Ma?"
"Jangan! Oh, iya, pakai gaun kuning Mama saja. Sebentar, Mama ambilkan, ya." Mama kembali mendorong pintu kamar Sinta untuk mengambil gaun kuning kesayangannya.
Berbeda dengan kehebohan Sinta dan Mama memilih baju, di kediaman mewahnya, Evan ditemani Janu berulang kali mencoba kemeja Gucci terbaru yang Evan beli beberapa hari yang lalu. Ia sudah merencakan secara sempurna acara kencan Sinta jauh-jauh hari. Bahkan sampai membeli baju dan parfum baru. Evan sempat berminat ingin membelikan Sinta sebuah gaun, namun Janu bilang jangan dulu.
"Memangnya besok kalian mau ke mana?" tanya Janu sambil menutup lemari pakaian Evan.
"Cuma jalan-jalan cari makan saja."
"Yakin? Nggak langsung ke mall aja? Rata-rata cewek itu girang banget lho kalau diajak ke mall."
"Habis makan-makan mau langsung aku ajak dia ke sana." Evan melipat asal kemejanya. "Tolong ambilkan parfumnya, mau aku coba juga."
"Padahal yang kemarin baru aja aku beliin. Sekarang ganti lagi. Kapan kamu berhenti gonta-ganti parfum?"
"Aku cuma ingin Sinta merasa nyaman aja."
"Tapi, bau parfum yang itu kayak pepohonan, Van."
"Rumah Sinta penuh pohon dan tanaman hias. Mungkin dia suka baunya."
"Sampai segitunya. Kamu benar-benar udah bucin. Padahal jadi pacarnya aja belum resmi."
"Apa itu bucin?"
"Budak Cina!"
"Sinta bukan orang Cina."
"Terserah!" Janu berdiri hendak keluar kamar. Ia terlalu sibuk membantu Evan sampai lupa belajar. Tetapi, langkahnya terhenti di depan pintu kamar. Janu menghadap ke belakang lagi untuk memberi Evan sebuah petuah. "Jangan lupa bukakan pintu mobilnya. Jangan biarkan Sinta membukanya sendiri."
"Dimengerti." Evan mengendus pergelangan tangannya yang sudah disemprot parfum.
Bola mata elang Evan mengedip seperti kelilipan satu gelas pasir. Ia memeriksa gerbang besi dan plang nomor rumah Sinta berkali-kali. Memastikan ia tidak salah rumah karena di depan rumah itu ada seorang gadis super cantik sedang berdiri. Menunggu Evan sejak tadi. Mengenakan gaun kuning berenda dan sepatu lucu berwarna cokelat. Rambut yang biasa tergerai dikepang dua. Seperti bukan Sinta yang biasa di sekolah. Wajahnya puluhan kali lebih cantik. Bibir merah tipisnya pasti ratusan kali lebih manis. Evan menelan ludah, tidak sabar untuk mencicipi.
Melihat Sinta bergerak, Evan buru-buru melepas sabuk pengaman secara brutal. Ia teringat pesan Janu untuk membukakan pintu mobil lebih dulu. Sang Dewi menunda langkah pertamanya. Kedua manik lentik yang sudah dipasangi bulu mata oleh Mama terpaku pada tubuh tegap Evan yang menyembul dari dalam mobil. Sungguh terlihat sangat mempesona. Gadis itu menyukainya.
Sinta berkhayal menjadi seorang putri yang sedang dijemput pangeran berkuda, seperti di serial drama favoritnya. Ia menyesal tidak menuruti perkataan Mama untuk memakai sepatu dansa dan malah memakai sepatu biasa. Cara berjalan Evan juga mantab. Membuat Sinta semakin terpesona pada ketampanan Evan. Sesampainya di tempat Sinta, mereka saling menatap.
Tanpa malu, Evan memajukan tubuh tegapnya. Sinta tersipu-sipu kala Evan memegang kedua telapak tangan mungilnya. Sang raja berbisik dengan menawan, "Kamu cantik sekali hari ini, Sinta."
Evan gagal membawa Sinta ke mall. Setelah makan di restoran Hendra, Sinta minta untuk diantar ke sebuah toko pakaian. Seperti kucing bangsawan yang baru pertama kali merasakan kebebasan. Sinta melompat-lompat senang memasuki toko. Katanya, ada sesuatu yang dari dulu sangat ingin ia beli di sana. Mendengar itu, Evan ikut berjalan girang. Tidak sabar ingin membelikan semua barang yang Sinta suka. Ya, benar sekali. Evan adalah penganut bahasa cinta act of service seperti ayahnya.
Bukan ke rak baju-baju mahal. Pernak-pernik hiasan perempuan popular pun Sinta lupakan. Sepatu-sepatu glamor, dompet imut Hello Kitty, dan perintilan make up yang terbukti ampuh mengurangi jerawat tak menghentikan langkah panjang Sinta. Sinta berjalan terus tanpa melihat kiri dan kanan. Ia ingat betul lokasinya. Sinta berharap, benda itu masih ada di tempat semula. Karena ia begitu ingin memilikinya.
Langkah cepat Sinta memelan tatkala matanya menemukan papan info lokasi benda yang ia impikan. Evan ingin mengumpat karena genggaman tangan Sinta terlepas dan ia ditinggalkan begitu saja tanpa aba-aba. Namun, kata-kata umpatan lenyap dalam sekejab gara-gara lukisan pemandangan menggemaskan di depan. Sinta menggendong boneka beruang besar berpita. Memeluknya erat seperti seorang gadis kecil yang kesepian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...