Angin yang berembus saat itu menjadi saksi kekalahannya. Evan menyerah sementara asalkan nyawa Sivan bisa diselamatkan. Walaupun ia harus terpisah lagi dengan sang putra, walaupun ia harus kembali menunda waktu untuk memeluknya. Evan rela menukar kebahagiaan demi apapun yang Haris inginkan. Di atas meja minimalis villa berselimut warna putih tulang Evan duduk termenung melihat satu per satu foto di galeri gawainya.
Galeri foto Evan yang dulu hanya terisi kegiatan kantor, halaman rumah Jakarta, kopi hitam di dalam cangkir, dan beberapa kertas dokumen, juga tak lupa Janu, kini dikuasai foto-foto wajah manis Sivan. Dua dudut bibir pria itu naik. Namun, tetap tak mengurangi kabut sedih di binar matanya. Evan bersyukur sempat memfoto Sivan diam-diam selama mengikuti kegiatan relawan di pengungsian.
Evan bertahan di villa karena proses pemulihan pasca mendonorkan sumsum tulang belakang untuk putra satu-satunya. Dokter memberikan waktu satu minggu.
"Sarapan dulu, Van." Janu masuk ke dalam kamar tanpa senyuman. Ia sama sekali belum bisa menerima kekalahan Evan. Jujur ia sangatlah kecewa. Diam-diam, ia memberitahukan semuanya kepada Hendra.
"Aku tidak lapar," jawab Evan tanpa memutar badan menyambut wajah sahabatnya. Janu lekas membuang muka. Ia memilih lautan pohon Gunung Merapi untuk melampiaskan kekesalannya.
"Kalau kamu nggak mau makan, nanti proses pemulihan kamu akan lama. Kamu bisa sakit dan kena infeksi. Itu sangat berbahaya," Janu mengingatkan.
"Tidak apa-apa. Biarkan saja," sahut Evan lemas.
"Kamu mau mati di sini, Van!" suara Janu kian meninggi. Menghentikan beberapa detik aktivitas Joe dan Beton di garasi villa. Mereka berdua sibuk mencuci dan memanaskan kedua mobil sedan hitam tuannya.
"Aku merindukan Sinta. Sebelum Sivan dipoperasi ia datang ke mimpiku," tanpa sadar Evan mengatakan itu. Janu menyudai tatapannya pada tubuh Merapi menyadari ada yang tidak beres pada sahabatnya. Janu mendekat perlahan-lahan, duduk di sebelah tubuh membungkuk Evan. Lantas menepuk kedua punggung lebarnya.
"Sinta bilang apa di mimpimu?"
"Ia mengataiku ayah yang tidak becus. Tapi, memang kenyataannya seperti itu."
"Terus?"
"Katanya dia mau menjemput Sivan jika aku tidak berhasil menyelamatkannya. Jujur, mimpi itu sangat membuatku ketakutan."
"Jangan mati dulu sebelum bertemu Sivan." Perkataan Janu berhasil memutar kepala Evan.
"Kemarin saat aku sudah bertemu anakku sebentar di rumah sakit, dia sempat bicara kepadaku. Walaupun aku tak yakin dia benar-benar mengenaliku."
"Sivan bilang apa sama kamu?"
"Dia bilang semua ... dia bilang ... dia ... Sivan bilang ...." Evan tak kuasa melanjutkan. Ia menggantikan Janu menatap tubuh Gunung Merapi yang tenang tanpa asap membahayakan. Evan menahan kemarahanannya kuat-kuat. Ia tidak ingin Janu melihatnya meledak. Kembali Janu mendaratkan telapak tangannya di pundak Evan. Memberinya rematan kuat. Berharap itu bisa menguatkan juga semangat Evan untuk kembali memperjuangkan Sivan.
"Kamu masih perlu istirahat, Van. Nggak usah terlalu memikirkan apa-apa yang belum terjadi. Sivan juga masih dalam proses pemulihan dan Kakek sedang mengurus pengobatannya ke Jepang."
"Apa sumsum tulang belakangku masih tidak cukup membuatnya sembuh?"
"Anita bilang akan menghubungi kita apabila hasilnya sudah keluar. Sivan masih dipantu perkembangannya. Apabila ia tidak mengalami infeksi dan sumsum tulang belakangnya mampu memperoduksi sel darah merah lagi, maka itu bisa menjadi pertanda kesembuhan untuknya," ungkap Janu. Evan bungkam merasapi kalimat-kalimat penjelasan sahabatnya.
"Kamu ingin makan apa biar aku belikan," tawar Janu melangkah menuju pintu.
"Semur telur." Jawaban Evan menjeda rematan jari yang hendak memutar kenop pintu itu.
"Oke. Tunggu, ya. Akan aku bawakan semur telur paling enak buat kamu."
"Thanks, Nu." Setelah kepergian Janu, Evan kembali menyambar gawai di atas meja. Kali ini ia menyentuh menu Facebook dan langsung masuk ke menu pesan. Satu bulan lebih ia dan Sivan tak berkirim kabar di sana. Terakhir dilihat Sivan pun tak pernah berubah. Evan menarik layar ke atas. Terus ke atas hingga sampai di pesan paling atas. Ia ingin melepas rindu dengan membaca ulang percakapannya bersama Sivan.
Tanpa sepengetahuan Evan, diam-diam Janu melakukan pertemuan rahasia. Usai mendapatkan semur telur idaman di sebuah warung makan dan meletakkannya ke dalam kamar Evan, ia memacu mobil jeep ke selatan. Membawa salah satu pegawai setiap Evan agar tidak membuatnya curiga. Dari klinik tempatnya bekerja, Anita hampir terpeleset di parkiran. Menjemput mobil silver kesayangannya. Juno tak langsung pulang begitu bel sekolah berbunyi sebanyak lima kali. Ia meninggalkan gerbang segera setelah melihat wajah Anita di dalam mobil.
"Keadaan Sivan gimana, Dok?" tanya Juno sembari memasang sabuk pengamanan.
"Aku nggak mau spoiler dulu."
"Tolong katakan saja baik atau buruk." Anita menghidupkan mesin mobil tak menghiraukan Juno yang mulai merengek.
Warung Kopi Klotok menjadi lokasi pertemuan rahasia mereka. Ini kedua kalinya bagi Juno, Janu, dan Joe mendudukkan diri di sana Sementara ini pertama kalinya Anita mengunjungi watung makan itu. Kepadatan kegiatan kuliah tak memberinya kesempatan untuk sekadar mampir mencicipi watung yang terkenal dengan kopi klotok dan kelezatan pisang goreng yang tak ada duanya.
Mereka kompak memesan kopi semua dan pisang goreng saja karena pertemuan harus diakhiri secara cepat.
"Aku tahu apa yang akan kalian tanyakan dulu," sambut Anita. Ketiga pria lain di depannya memandang wajahnya semua. "Alhamdulillah, Sivan tidak demam. Itu pertanda operasinya tidak menimbulkan infeksi. Namun, dokter masih memantau organ-organ Sivan yang lain. Sumsum tulang belakang Sivan masih belum bisa bekerja sempurna untuk memproduksi sel darah merah."
"Ada pertanyaan lain?"
"Sudah cukup, terima kasih penjelasannya," Janu mewakili.
"Kalau keadaan Om Evan gimana, Om?" Juno nenjadi penanya pertama. Tak seperti Anita yang mau menjelaskan semuanya secara gamblang, Janu justru menahan diri untuk bercerita. Ia tidak tega menceritakan kepada Juno dan Anita bahwa Evan telah kehilangan semangat hidupnya. Evan benar-benar putus asa seutuhnya. Joe yang sudah tahu memilih diam saja.
"Dia jadi jarang makan. Tapi, tadi dia minta dibelikan semur telur. Sivan suka semur telur, aku yakin Evan mau memakannya."
"Kasihan Evan, ia pasti sangat merindukan putranya."
"Karena itu aku mengajak kalian bertemu di sini. Aku ingin membahas itu."
"Lanjutkan,"
"Aku pasti akan ikut membantu, Om."
"Aku butuh pertolongan kalian. Aku tidak tahu harus minta tolong siapa lagi. Anita, kira-kira kapan Sivan diperbolehkan keluar dari rumah sakit?"
"Untuk pasien operasi maksimal satu minggu. Kalau untuk kasus Sivan kemungkinan bisa sampai dua minggu baru boleh pulang. Tergantung kondisinya."
"Berarti kita masih punya cukup kesempatan."
"Kalian mau jemput paksa Sivan diam-diam? Kalau itu beneran, aku setuju."
"Rencananya begitu. Tapi, aku masih membujuk Evan. Jika Evan ingin terus berdiam diri, kita akan menjadi pihak ketiga yang akan mempertemukan mereka."
"Kalau begitu lakukan saja sekarang, Om."
"Jangan sekarang. Kakek Sivan berencanaa membawa Sivan berobat ke Jepang. Untuk ke sana pasti ia akan disibukkan membuat paspor dan mengurus dokumen rumah sakit untuk melanjutkan proses pengobatan Sivan. Kita harus mengambil waktu yang tepat untuk mempertemukan mereka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...