"Evan! Evan! Pak Evan!" Serbuan teriakan Anita dari jauh menghentikan perdebatan dua orang pria berbadan besar. Pria berseragam cokelat dengan walkie talkie di pinggang ragu-ragu mempersilakan Evan memasuki lorong rumah sakit. Penampilan Evan sungguh berantakan. Basah dan dipenuhi sedikit tanah di bagian kaki. Sangat tidak mencerminkan kebersihan pengunjung rumah sakit.
Evan yang mudah emosi membentak dengan berani. Menghasilkan perdebatan kecil yang membuat Anita harus meninggalkan Juno seorang diri. Bukannya memberikan kalimat-kalimat pembelaan, ia justru sengaja memeluk tubuh dingin pria basah di depannya. Kehangatan tubuh Anita mampu menembus bajunya yang dipenuhi air hujan. Satpam itu terdiam melihat pemandangan seorang pria basah kuyup dan wanita cantik saling berpelukan.
"Akhirnya, bebas juga. Selamat datang, Pak Evan," ucap Anita sembari melepas tubuh Evan. Wajahnya memerah karena ledakan bahagia. Bibir Evan tersenyum dan sengaja membalas tatapan Anita penuh haru agar satpam penuh kecurigaan itu segera percaya.
"Dia teman saya, Pak. Putranya sedang dirawat di rumah sakit ini," terang Anita. Luncuran dua butir air mata di pipi kiri Anita membuat satpam itu melunak. Ia memiliki seorang istri yang kerap menangis di rumah. Tangisan wanita adalah kelemahan nomor satunya. Ia mengangguk, mengizinkan Evan meneruskan langkah kaki bersama Anita. Perasaan tidak nyaman menguasai hati si satpam. Sedari Anita datang, ia sudah merasa menjadi penganggu mereka berdua.
Juno menampar pipi kanan dan kirinya sendiri. Ia mencubit lengannya berulang kali. Rasa sakit sangat Juno syukuri. Ini tanda bukan mimpi. Evan yang berlari di belakang Anita bukanlah halusinasi. Juno memanggil dan melambaikan tangan menyambut kedatangan Evan. Meskipun basah kuyup dan penampilannya berantakan, Evan tetap terlihat seperti pahlawan. Evan memang sudah berjuang seperti pahlawan. Sepuluh tahun bersabar dan melakukan segala cara demi bisa memeluk Sivan.
Sambutan antusias Juno sama sekali tidak menarik atensi Evan. Begitu sampai di depan jendela ruangan khusus tempat Sivan bertahan hidup, Evan berteriak sambil memukul-mukul kaca.
"Sivan! Sivan! Ayah di sini! Ayah datang, Sivan! Sivan! Sivan!" Tidak kehilangan akal, Evan beralih menggenggam pegangan pintu ruangan khusus. Menggerakannya cepat ke atas dan ke bawah. Sia-sia saja, semua suara hanya bisa terdengar dari luar. Di salam ruangan khusus itu, Sivan tidak bisa mendengar apa-apa. Suara bib putus-putus yang setiap hari dihasilkan sebuah alat pendekteksi irama jantung pun tidak bisa menembus telinga Sivan.
"Pintunya terkunci! Bagaimana caranya aku bisa masuk ke ruangan ini?" tanya Evan kepada Anita. Anita hendak menjawab, namun bentakan pria lain dari samping membuatnya ingin menjerit seketika.
"Keparat brengsek!!!" Satu pukulan keras merobek pelipis Evan. Tubuh Evan terhempas. Mendarat tepat di depan pintu kamar rawat Sivan. Anita tidak tahan melihatnya, memundurkan langkah, menutup mata. Juno memilih memalingkan muka. Renjana dengan wajah tenang, sedang bersiap-siap bergerak jika emosi kakaknya kembali terlepas. Renjana satu-satunya orang yang tahu cara mengendalikan emosi Kakek Sivan.
Kakek beralih memukul sisi lain kepala Evan. Membenturkan kepalanya ke dinding. Lalu, berakhir menendang tubuh Evan sebanyak sepuluh kali. Tidak ada yang berani menghentikan amukan Kakek. Evan sengaja tidak melawan. Wajah datar Renjana mulai menunjukkan ekspresi. Anita duduk di kursi tunggu. Seluruh tubuhnya lemas. Baru kali ini ia melihat perkelahian dua pria secara langsung. Juno mengunci pandangan pada lantai rumah sakit.
Kecepatan berjalan Janu berkali-kali lipat bertambah menyaksikan Evan memilih pasrah menerima semua pukulan dan tendangan Kakek Sivan. Ia memberikan tatapan marah kepada sosok Renjana yang sama sekali tidak bergerak untuk menolong sahabatnya. Saat tendangan mereda, Evan memulai berlutut di depan Kakek. Hal itu dalam sekejab menghentikan kaki Janu berjalan.
"Ayah, jika Ayah tidak bisa memaafkan aku, ayah boleh membunuhku! Tapi, sebelum mati izinkan aku untuk bertemu putraku!" Untuk kesekin kalinya Evan memohon.
"Mau kamu mati dengan seribu tembakan sekalipun, Sinta tetap tidak akan bisa kembali!" Kematian Sinta telah membuat Kakek terjebak di lingkaran setan masa lalu.
"Selain restoran ayah kebakaran, aku juga diancam akan dibunuh, Ayah! Apalagi satu jam setelah sampai di Singapura, sebuah bom meledak di hotel tempatku menginap. Karena itulah, sepuluh tahun yang lalu, aku sengaja tidak mengajak Sinta dan Sivan ke Singapura!" Ungkap Evan. Kakek mengendurkan kepalan tangan yang hendak ia layangkan kembali ke wajah Evan.
"Maafkan aku, Ayah! Tolong maafkan aku!"
"Donorkan sumsum tulang belakangmu untuk Sivan! Aku beri kamu kesempatan terakhir. Setelah itu, pergilah dari sini. Jangan pernah sekalipun menemui Sivan lagi." Renjana terkejut dengan keputusan Kakek Sivan. Janu menatap horor Evan. Sang sahabat menganggukkan kepalanya.
"Aku mengerti. Terima kasih."
Kedamaian dan ketenangan yang biasanya menguasai lingkungan villa setiap malam, kini dihancurkan oleh teriakan penuh kata-kata kasar dari mulut Janu. Janu, seorang pria yang tidak pernah menggunakan kata-kata kasar kepada siapapun, tidak berhasil menahan diri di depan Evan. Emosi telah mengalahkannya. Ia ikut berjuang sepuluh tahun bersama Evan, sampai tahu dan merasakan bagaimana sedihnya kehilangan seorang putra. Namun, malam ini, dengan mudahnya Evan menyerah. Perasaan Janu hancur berantakan.
"Kamu yakin dengan keputusanmu, Van?!" Janu menampar pipi Evan sebelum mengatakan itu.
"Jadi, semudah ini kamu menyerah!" Janu menarik kerah Evan. Kedua mata mereka bersatu pandang. Janu semakin memerahkan matanya. Melihat Evan justru menampakkan wajah seperti pria putus asa.
"Lalu, apa artinya perjuangan kita sejak awal membangun relawan, Van!!!" Joe dan Beton hanya bisa mendengar pertikaian dari balik tirai dapur. Nafsu makan mereka berdua menghilang, mendengar fakta Evan menyanggupi kesempatan terakhir yang Kakek Sivan berikan dari teriakan Janu. Kesempatan yang bukan seperti emas. Melainkan kesempatan yang akan membuat Evan tetap kalah meskipun mencobanya.
"Aku tidak akan percaya dan menerimanya begitu saja, Van! Jadilah Evan seperti saat pertama kali Sivan pergi! Ingat rasa sakit yang pernah kamu alami! Bayangkan jika ternyata Sivan juga seperti itu! Dia sakit karena sudah lelah menunggumu, Van!!!"
"Aku harus bagaimana lagi, Nu?"
"Pikirkan cara lain! Gunakan otak mafiamu! Nenek Sivan sudah tidak ada, kita bisa gunakan anak-anak untuk menyerbu rumah sakit dan ayah mertuamu!
"Semakin aku memikirkannya, semakin aku sadar cara itu tidak benar, Nu ...."
"Bodoh! Dasar bodoh! Kita sudah berjuang selama sepuluh tahun! Ayah macam apa kamu ini!" Janu mendorong tubuh Evan hingga menabrak meja ruang tamu. Menghasilkan suara hantaman yang membuat Beton dan Joe menyibakkan tirai dapur. Joe masih berusaha mencerna keadaan. Melihat Janu berjalan masuk dan menghilang ke dalam ruangan utara. Sementara Beton terburu-buru membantu Evan bangun dari atas lantai.
"Tenangkan diri dulu, Bos." Beton mencoba menenangkan Evan sekaligus dirinya sendiri.
"Aku yakin Janu seperti itu karena terkejut dengan keputusanmu, Bos," sahut Joe ikut membantu Evan duduk di sofa. Aneh. Pukulan dan tendangan Kakek, ditambah tamparan Janu tidak membuatnya merasakan sakit apapun. Raga Evan seperti sudah menghilang. Kehilangan arah dan mati rasa.
"Aku harus menggunakan cara apa lagi?" tanya Evan kepada udara di sekelilingnya. Tatapan mata Evan kosong. Tidak fokus dan tidak mengarah kepada apa pun.
"Jika hanya itu satu-satunya cara, kami akan berusaha melakukannya tanpa melukai siapapun, Bos," jawab Beton mendapat anggukan setuju dari Mas Jo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...