23.

800 102 23
                                    

Gitar yang kemarin dipasrahkan kepada Joe duduk manis di samping tenda dapur. Menunggu siapapun yang ingin memetik atau sekadar menyentuh karena penasaran. Sudut mata Sivan tak sengaja melihatnya saat istirahat. Karena sangat penasaran, ia menaruh nasi kotak jatah makan siangnya bersama Juno di atas kursi plastik. Dengan langkah perlahan, Sivan mendekati gitar yang sedari tadi duduk manis beralas kursi kayu kecil.

"Kamu suka gitar?" Evan mendekat. Menyadari Sivan mulai memegang tubuh gitar. Ia langsung menaruh juga jatah makan siangnya. Bagaimana bisa seorang ayah makan sementara putranya tidak makan.

"Suka, Om. Tapi, aku nggak bisa memainkannya," ungkap Sivan.

"Kenapa tidak belajar memainkannya?"

"Kakekku nggak suka musik. Aku pernah minta untuk dibelikan gitar, tapi Kakek malah marah-marah. Kata Kakek, musik membuat kita lemah." Evan muak mendengar kalimat itu. Meskipun ia juga tidak terlalu suka musik, namun sama sekali tidak pernah berniat menyalahkan seseorang yang suka musik. Evan melihat Joe dan Beton membantu menurunkan hewan ternak di pojok lapangan utara. Wajah menahan bau Joe menarik atensi Evan.

"Joe!" seru Evan. Yang dipanggil buru-buru berlari ke arah tenda dapur umum dengan wajah masih mengkerut efek menahan bau.

"Ada apa, Bos? Eh, Pak. Aku baru mau membantu memindahkan sapi-sapi."

"Mainkan gitar itu sebentar."

"Hah? Serius, Bos- maksudku serius sekarang, Pak?"

"Iya. Sivan kamu suka lagu apa?" Wajah Sivan terlihat malu-malu. Joe merampas gitar dan membunyikan senarnya secara acak untuk pemanasan. Ia cukup lama tidak memainkan lagu menggunakan gitar.

"Cepat, Nak. Para sapi sudah menantiku di sana," suruh Joe sambil menunjuk kesibukan Beton menggiring salah satu sapi.

"Virzha Tentang Rindu," mantab Sivan.

"Mainkan, Joe!" perintah Evan. Joe mengangguk saja lantas membunyikan nada-nada awal.

Joe memetik gitar dengan jemari yang terlihat tidak niat, namun nada yang dihasilkan sesuai dengan lagu yang Sivan inginkan. Evan tidak tahu lagu yang dimaksud Sivan. Ia sama dengan Kakek yang beranggapan jika musik bisa membuat seseorang menjadi lemah. Ketika Joe menyanyikan lirik lagu itu, Evan menyadari wajah putranya memerah. Bocah itu menahan air mata.

Pagi telah pergi

Mentari tak bersinar lagi

Entah sampai kapan

Kumengingat tentang dirimu

Kuhanya diam

Menggenggam menahan segala kerinduan

Memanggil namamu di setiap malam

Ingin engkau datang dan hadir

Di mimpiku, rindu ....

Selesai menyanyikan Tentang Rindu, Mas Jo mengoper gitar kembali kepada Sivan. Sivan menerimanya dengan tubuh sedikit kelabakan. Ternyata gitar itu cukup berat.

"Dia Joe, temanku yang paling pintar bernyanyi dan bermain alat musik. Bagaimana menurutmu?"

"Suaranya bagus sekali. Aku sampai mau menangis. Om Joe juga sangat pintar memetik gitar," ulas Sivan sembari mengucek mata, menghapus satu titik air mata.

"Tidak, bukan itu. Tapi, kamu mau belajar sama dia atau tidak?"

"Maksud, Om Ivan?"

"Kamu bisa belajar gitar sama dia. Nanti kamu latihannya di vila kami saja selesai bertugas di pengungsian."

"Tapi, jangan sampai malam, ya, Om. Saya nggak boleh pulang malam."

"Terserah kamu mau sampai kapan."

"Oke! Aku mau, Om! Pasti seru sekali." Girang Sivan memeluk gitar erat. Kedua mata elang Evan melengkung. Lalu, seperti saat pertama kali bertemu, Evan mendaratkan telapak tangannya di atas kepala Sivan. Dari jauh Beton dan Joe selesai memindahkan sapi-sapi, ikut bahagia melihat keakraban mereka.

"Selamat, Joe! Kamu mendapatkan pekerjaan baru. Akhirnya, sesuai dengan kemampuan dan bakat kamu!" hibur Beton. Ia ikut-ikutan menepuki kepala Joe, meniru adegan Evan mengelus kepala Sivan. Dengan keras, Joe menampar telapak tangan Beton yang hendak mendarat ketiga kalinya di atas kepalanya. Meskipun terlihat sebal, Joe tetap akan menjalankan tugas barunya. Apalagi tugas itu menyangkut hal paling berharga Evan.

Sivan terkejut sekaligus senang mendapati Nenek berhasil keluar kamar kembali. Seperti biasa, ditemani perawat, Nenek duduk tenang di kursi roda menghadap ke taman. Sivan tidak memeluk leher Nenek dari belakang. Ia langsung berjalan ke depan, menekuk lutut, dan menaruh dagunya di paha berselimut tebal Nenek. Perawat yang mengawasi Nenek izin untuk pulang karena Sivan sudah datang.

"Bagaimana kegiatannya? Pasti menyenangkan, kan?" tanya Nenek langsung mengelus kepala Sivan dengan kedua telapak tangan dinginnya. Sivan mengangguk. Tidak lupa tersenyum lembut.

"Nenek kemarin sakit lagi, ya?"

"Tidak."

"Nenek lama-lama suka bohong. Waktu Sivan pulang kemarin, Nenek sudah di dalam kamar. Biasanya, kan, Nenek masih di ruang tamu menunggu Sivan pulang."

"Oh, itu karena kemarin Nenek habis minum obat. Obatnya membuat efek mengantuk. Nenek langsung tidur setelah minum obat." Bohong Nenek. Nenek sama seperti Sinta. Kedua wanita itu memilih berbohong untuk menyembunyikan kesakitan dari orang-orang yang dicintainya. Sebuah kebohongan yang indah.

"Oke, Sivan percaya." Nenek tertawa lirih kemudian menangkup kedua pipi Sivan.

"Ceritakan kegiatan Sivan tadi di pengungsian. Sivan belajar apa saja?" pinta Nenek.

"Sivan belajar banyak hal, Nek." Sivan beranjak mendorong kuris roda Nenek keluar teras. Ia menceritakan semua kegiatannya menjadi relawan PMR sambil membawa kursi roda Nenek menyusuri taman. Nenek mendengarkan dengan seksama. Tangan rentanya sesekali menyentuh beberapa daun tanaman kesayangannya.

"Nenek jadi penasaran sama Om Ivan. Dari kamu diantar pulang sakit kemarin sampai sekarang, kamu cerita soal Om Ivan terus. Orangnya sepertinya baik sekali sama Sivan."

"Sivan juga heran, Nek. Baru pertama kali ini Sivan bertemu orang seperti Om Ivan. Tidak hanya namanya saja yang mirip nama ayah, wangi parfum, dan suara tertawanya juga seperti Ayah."

"Hari ini Sivan pasti tidak lima puluh persen merindukan Ayah. Nenek benar, kan?" Sivan menghentikan kursi roda Nenek. Dari dalam hati terdalamnya, ia membenarkan seratus persen ucapan Nenek.

"Sekarang Sivan sedang merindukan Ayah seratus persen, kan?" Nenek memalingkan wajah, merasa tidak kunjung mendengar suara jawaban dari Sivan. Di belakang, Sivan sudah mengiyakan ucapan Nenek dengan anggukan. Kini ia sibuk menghapus aliran air di pipinya. Sivan sampai tidak bisa menjawab kalimat Nenek. Ia sangat merindukan Evan. Sangat. Kerinduannya sudah menumpuk selama sepuluh tahun lamanya.

Anak itu selalu berharap Evan tiba-tiba datang untuk memeluknya. Namun, semua harapannya tidak pernah kunjung nyata. Nenek tidak menangis melihat cucu kesayangannya menangis. Ia justru merasa bahagia, Sivan mau mengeluarkan semua perasaannya. Tidak lagi menyembunyikan dengan senyuman palsu seperti biasanya. Dengan perlahan, Nenek bangkit dari kursi roda dan langsung memeluk tubuh menyedihkan Sivan. Sivan semakin kesulitan mengatur lajur air di kedua matanya.

"Jangan dihapus. Keluarkan saja semuanya. Nenek khawatir, Sivan tidak pernah menangis."

Dari pintu teras, Kakek melihat punggung bergetar Sivan di dalam pelukan Nenek. Jujur saja, hati Kakek terasa tercabik mendengar tangisan memilukan Sivan. Bayangan Sivan tidak berhenti menangis dulu selama pemakaan Sinta menyambar pikirannya. Pria itu hanya terus menatap nanar, tanpa berniat menghampiri sang cucu.

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang