Denyutan-denyutan nyeri sedikit berkurang setelah Sivan meminum obat sakit kepala yang diberikan salah satu relawan. Ia lantas menyusul Juno menuju teras samping barak pengungsian. Di sana beberapa anak yang sudah selesai diperiksa akan mendapatkan trauma healing oleh dua orang psikolog. Semua relawan PMR diminta mendampingi kegiatan trauma healing mereka. Anak-anak baru saja selesai menyanyi lagu Pelangi-Pelangi ketika Sivan sampai di sana. Juno melambaikan tangan memintanya lebih mendekat.
Lantai penuh darah menyambar penglihatan Sivan saat salah satu psikolog mengeluarkan topeng badut dari dalam tas. Tak lama, bayangan Sinta tergeletak di sofa dikelilingi aliran darah membuat kepala Sivan kembali diterjang ratusan jarum. Suara empat tembakan menyebabkan sekujur tubuh kurusnya bergerak gelisah. Sivan berusaha mengingat cara psikiaternya dulu mengajarinya mengatur napas. Ia tidak bisa melakukannya dengan baik karena panik.
"Sivan, kamu kenapa?" Juno bertanya khawatir. Sivan menggelengkan kepala. Rasanya semua tenaganya menghilang entah dibawa apa. Tidak menyerah, Juno memegang punggung tangan Sivan. Terasa dingin dan ada begitu banyak keringat di sana.
"Kamu berkeringat dingin, Siv!" teriak Juno makin gelisah. Ia pernah merasakan tangan dingin Sivan seperti itu. Dulu, sewaktu Sivan masih sakit dan harus memakai kursi roda setiap hari. Juno tidak ingin itu sampai terulang lagi. Juno mengarahkan tubuh Sivan agar bersandar di pundaknya.
"Tenang ... tenang ... ambil napas panjang. Keluarkan pelan-pelan. Kamu pasti bisa ...."
Selagi berusaha menenangkan Sivan, Juno memikirkan cara-cara lain yang akan dia lakukan jika Sivan tidak kunjung tenang. Juno menjadi sahabat terbaik Sivan sejak kecil. Ia sangat memahami kondisi Sivan di saat-saat seperti ini. Bahkan, psikiater Sivan dulu mengajarinya beberapa tips untuk mengatasi Sivan ketika traumanya kambuh seperti sekarang.
Terlalu panik, membuat pikiran Juno sedikit tersendat. Juno mencoba meraih pundak Sivan. Tubuh Sivan sepenuhnya bertumpu pada Juno. Keadaannya semakin memburuk di sana.
"Nggak apa-apa, Siv. Semua yang kamu lihat dan dengar itu nggak nyata. Kejadian itu udah berlalu. Kamu aman sekarang. Topeng badut itu nggak akan melukai kamu. Ada aku, Siv. Ada aku. Aku akan melindungi kamu." Juno memberikan sugesti dengan bisikan yang tersengar serak. Ia sudah lama tidak menyaksikan Sivan kambuh sampai seperti ini.
"Sakit ... No ... sakit ...." Tiga kata terakhir Sivan ucapkan sebelum kepalanya jatuh mengenai dagu Juno. Sivan kehilangan sementara dunianya.
"Sivan!!!"
Kaki Evan dan Janu terpaksa menghentikan langkah. Seorang anak kecil yang tadi ditenangkan Sivan tiba-tiba berlari menuju ke arah mereka. Tubuh anak itu sampai menabrak perut Evan saking paniknya. Evan menunjukkan wajah tidak terima, namun pertanyaan yang keluar dari bibir bocah itu menghidupkan insting perlindungannya.
"Om yang sering sama Kak Sivan, kan?" Beni menatap bergantian wajah Evan dan Janu dengan ekspresi panik yang kentara.
"Iya, ada apa, Dek?" tanya Janu ramah. Bocah itu menarik kuat lengan Evan lebih dulu.
"Kak Sivan pingsan, Om!"
Teras barak pengungsian dikuasai gema kepanikan anak-anak. Dua psikolog yang bertugas untuk melakukan trauma healing terlihat kepayahan. Mereka tidak bisa mengendalikan keriuhan. Salah seorang dari dua psikolog mengenakan topeng badut berwarna putih menghentikan gerakan pantomimnya. Tanpa membuka topeng, ia mencoba membantu Juno menyadarkan Sivan. Baru beberapa detik duduk di samping Juno, punggung psikolog itu ditarik Evan sangat kuat hingga terjungkal ke belakang.
"Sivan!!!" Sangat panik, Evan merebut tubuh Sivan dari dekapan Juno. Kepala Sivan terkulai lemah di lengannya. Evan menepuk-nepuk pelan pipi tak berona sang putra. Berusaha mengembalikan kesadarannya yang terenggut paksa.
"Sivan ... Sivan ...."
"Apa yang terjadi sama Sivan? Kenapa Sivan pingsan?" Janu menyusul kepanikan sang sahabat. Juno tidak kunjung menjawab, ia masih kaget dengan kejadian barusan.
Lima belas menit trauma healing berjalan tanpa kendala. Hingga salah seorang psikolog mengeluarkan topeng badut dari dalam tas. Ia menggunakan hobi pentomimnya, bermaksud untuk menghibur anak-anak. Semua anak-anak tertawa riang, kecuali Sivan dan Juno. Juno sudah mempunyai perasaan tidak enak sejak pertama kali psikolog itu memakai topeng badut. Ia bergegas mendekati Sivan.
Juno sempat bertanya apa ia baik-baik saja, sebelum bocah itu mengeluh sakit kepala hebat dan tubuhnya kehilangan tenaga. Dalam hitungan detik, Sivan melemas. Kesadarannya menghilang.
"Mas, tolong buka topeng badutnya. Teman saya phobia sama topeng badut!" Juno berusaha menjelaskan. Psikolog itu buru-buru melepas topeng yang membungkus wajahnya.
"Sivan! Sivan dengar suara Om? Sivan!!!" Evan menepuk kedua pipi Sivan beberapa kali. Tidak ada reaksi apapun dari Sivan. Tidak menyerah, Evan mencoba meraba dahi putra satu-satunya. Ia tersentak merasakan suhu panas pada permukaan dahi putranya.
Telapak Juno menepuk pungung Evan pelan, "Om, sebaiknya kita bawa Sivan ke tenda kesehatan. Biasanya setelah pingsan, Sivan sering sesak napas, Om," imbau Juno dengan napas memburu.
Janu lebih dulu berlari menuju tenda kesehatan untuk menanyakan ketersediaan oksigen darurat. Salah satu dokter relawan medis langsung mengeluarkan tabung oksigen darurat dari dalam ambulan. Janu lantas keluar tenda dan memberikan Evan aba-aba untuk membawa Sivan. Evan menaruh tubuh lemas putranya di atas punggung lalu menggendongnya menuju tenda kesehatan. Kedua matanya memerah, dipenuhi kekalutan.
Sembari membuka tirai tenda, Janu tak tega melihat ketegangan petugas medis yang menangani Sivan. Wajahnya memucat. Kedua tangannya kerkeringat deras. Evan mengalami kepanikan lebih parah. Ia berlari membawa Sivan sambil berteriak memanggil petugas medis dengan terikkan yang terdengar menyakitkan. Sudah lama, Janu tidak melihat Evan sepanik itu. Wajah panik Evan melihat putranya pingsan, sama mengerikannya ketika mendengar kabar Sinta terbunuh sepuluh tahun yang lalu.
Anita dalam perjalanan menuju tenda kesehatan. Berjalan sambil melinting lengan kemeja relawan dokternya. Suara teriakan Evan membuatnya seketika menghentikan suntikan pada salah satu lengan pengungsi yang mengeluh demam. Begitu Anita menengok ke depan. Ia melihat seorang pria bermasker hitam menggendong anak laki-laki yang tidak sadarkan diri. Anita mempercepat proses penyuntikannya untuk berpindah ke tenda kesehatan sebelah utara.
"Ada apa? Apa ada pengungsi yang terluka?" tanya Anita sambil mengamati kepanikan Janu. Napas Janu tercekat mendengar suara Anita.
"Ti-tidak ada pengungsi yang terluka. Tadi salah satu anggota relawan PMR pingsan. Sudah ada beberapa petugas yang menanganinya di dalam," jawab Janu mencoba terlihat tenang.
"Kalau begitu aku akan ikut membantu memeriksanya."
"Tidak usah. Tidak perlu."
"Aku relawan dokter di sini. Sudah menjadi tugasku untuk menolong setiap orang yang terluka dan sakit."
"Anak itu tidak terluka, dia hanya pingsan." Dokter Anita tetap tidak percaya. Ia menangkis semua pergerakan Janu yang menghalanginya untuk masuk ke dalam tenda. Anita berhasil melewati Janu, namun tangan kirinya mendapatkan tarikan kencang dari pria itu. Janu menyeret lengan Anita. Terpaksa membawa Anita sampai ke belakang barak pengungsian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...